0

08.00

Matahari bersinar cerah. Sinarnya membelai dedaunan hutan kampus Keprabuan. Tinggal sedikit saja sinar yang jatuh ke tanah. Sinar itu berbentuk bulat dan menerangi coklat tanah yang sedikit ditutupi dedaunan kering. Dan pagi ini, seakan dedaunan melambai pelan tertiup angin.

Ribuan Civitas Akademika berkumpul di jalan utama kampus. Jaket  almamater menandakan  identitas yang tak bisa ditawar. Warnanya membiru menghiasi jalanan yang dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi Universitas Keprabuan. Mereka bergerak atas nama kewajiban moral dan harga diri. Mereka memilih melawan.

Hari ini civitas akademika turun ke jalan demi sebuah aksi yang menjadi garis penentu perlawanan. Koordinasi sudah dilakukan, rencana demi rencana sudah dimatangkan. Dan kini semua tinggal melaksanakannya sesuai dengan plot plan strategi yang telah  disepakati.

Konflik pembangunan Bentos seakan menjadi simbol bertarungnya dua kubu yang saling klaim kebenaran. Perang opini di koran-media semakin memanas. Antara kepentingan ekonomi, kelestarian lingkungan, pendidikan, juga sosial budaya. Pertarungan itu seolah demi memperebutkan posisi paling penting, yaitu memenangkan opini publik atas pembangunan BENEFIT TOWN SQUARE.

Di pihak Mahasiswa, mereka telah melakukan koordinasi antar elemen. Tak hanya dari universitas Keprabuan, di depan rektorat Universitas Keguruan dan Institut Teknologi Rekayasa, para civitas akademika masing-masing kampus telah menyiapkan aksi. Hari ini sesuai rencana, mereka akan bergabung dan menggelar aksi tunggal untuk menyerukan peninjauan ulang kebijakan pembangunan Bentos.

Zweta teringat masa awal dulu, masa ketika dirinya memasuki semester pertama di Universitas Keprabuan. Tak pernah dirinya faham arti perlawanan, atau wacana idealisme yang begitu gigih diteriakkan.  

“idealisme itu semacam alarm keseimbangan, Ta. Parameternya nurani. Kalau sesuatu sudah keluar dari orbitnya, semestinya fitrah di dalam diri kita berteriak keras memprotes. Namun seperti itulah tipikal manusia, ada yang alarmnya peka, ada yang kurang peka, ada pula yang masih peka namun sengaja disumpal kuat-kuat hingga tak terdengar suaranya. Tetapi pada hakekatnya, tak ada manusia yang mampu mengingkari hati nurani,“ begitulah obrolan Zweta dengan Anggun di saat awal-awal dulu mengenai makna idealisme.  
***

“Ran, Drey, kita akan menjadi saksi,” Zweta memandang kedua kawan akrabnya dengan mata berbinar, denyut jantungnya berdegub lebih kencang.
“ya, kita menjadi bagian dari sejarah,” Rania menyungging senyum melati. Sementara Audrey memperlihatkan semangat yang menggebu pula.
“itu Kompar bukan ?” Audrey penasaran dengan sosok lelaki yang sedang duduk melamun di tepi jalan utama
“ya, itu Kompar” Zweta mengiyakan.
“tumben ngikut. Kemarin kandia ngedukung Bentos,”
“ceritanya panjang Drey, warungnya digulung Tramtib. Rugi besar dia. Makanya dia sekarang getol mengutuk segala hal yang berbau Bentos,”
“oh, ya ? kasihan banget,” mata Audrey berbinar kegirangan. Maklum saja, tempo hari Audrey merasa geram dengan sikap Kompar yang menyeberang dari opini kebanyakan.

“kawan-kawan yang lain ?”
“mereka berkumpul bawah pohon palem. Tuh !” Rania menunjuk kerumunan kawan-kawannya.
“yuk kesana !”  Rania menyentuh pelan lengan Audrey.
***
Sementara persis di depan Rektorat, Anggun sedang berkoordinasi dengan para pentolan aktivis. Dan betapa minggu-minggu terakhirnya di kampus Keprabuan akan dihabiskan untuk turun ke jalan. Ya. minggu ini semestinya Anggun sudah menanggalkan kesibukannya lantaran ujian skripsi yang cuma terpaut satu bulan dari sekarang. Namun, entah mengapa perempuan itu seakan lebih memilih turun ke jalan daripada menyiapkan materi ujiannya.

Senada  dengan Anggun, Andro pun demikian. Ia turun ke jalan bersama elemen fakultas hukum, menggabungkan diri bersama barisan pengurus LSM dan LBH yang seringkali berkunjung ke Fakultasnya. Dari jauh, rambut gondrong Andro yang cuma sekali terpangkas menjadi ciri khasnya, sehingga mudah dikenali walaupun sedang berada di antara kerumunan massa

Sejak rumah singgahnya di Jalan Pahlawan digulung Tramtib, kegeraman Andro semakin berlipat-lipat. Tindak pembersihan warung-warung tak ayal turut merobohkan rumah singgahnya. Dan ia yakin kalau penggusuran rumah singgahnya lebih karena dipicu faktor politis daripada hukum. Ia merasa yakin kalau pihak Penguasa telah kegerahan dengan kerasnya suara perlawanan. Dan kini seakan Penguasa dan Pemodal bergandengan tangan menghadang gerak langkah elemen anti Bentos. Mereka berupaya mengail di air keruh.

“Seno, Kawan-kawan dari Eksekutif Mahasiswa sudah fix. Bersiaplah !! kita tinggal menunggu perwakilan mahasiswa yang masih berkoordinasi dengan Pihak Rektorat,” sosok aktivis fakultas perikanan memberitahu kondisi terakhir koordinasi.

“kalau kawan-kawan dari Universitas lain ?” setengah berteriak Seno bertanya.
“masing-masing sudah berkonsolidasi. Mereka bergabung langsung di lapangan”

‘oke-oke ! dari kami sudah siap. Kita tinggal ngikut koordinasi kalian” Seno menjawab tenang. Di kanan-kirinya nampak beberapa koordinator mengangguk-angguk.    


Sementara di ujung barat Jalan Pahlawan, tiga buah tenda berjajar di tengah boulevard. Beberapa mahasiswa mendirikan tenda persis di samping perempatan jalan Gajahmada. Ya. mereka bersiap melakukan aksi mogok makan. Di sekeliling tenda, spanduk-spanduk penolakan terbentangkan. Spanduk-spanduk itu melengkung linglung lantaran tertopang bambu yang tak kokoh. Sementara di depan tenda, terbentang kain putih memanjang yang berisi ribuan tanda tangan penolakan Bentos. 

Aksi kali ini merupakan aksi moral yang diharapkan mampu menekan Penguasa, agar meninjau ulang kebijakan pembangunan Bentos. Setidaknya tiang-pancang belum ditancapkan, setidaknya kaki-kaki kokoh nan sombong bangunan Mall belum berdiri di atas areal paru-paru kota

Para mahasiswa yang menjadi center aksi juga dipusatkan di tiga tenda. Beberapa dari mereka bersibuk diri berkomunikasi dengan pimpinan lapangan yang berada di sektor lain.

“rekan-rekan !!! ketahuilah !!! kita akan melakukan mogok makan, tepat ketika tiang pancang ditancapkan !!!” pimpinan aksi mogok makan menyampaikan keputusannya. Dari daftar yang didapat, terdapat empat mahasiswa dan dua mahasiswi yang bersedia menjadi martir dalam aksi mogok makan.

***

“Rektor dan Senat Universitas sudah berjalan !” Anggun berkata tegas menggunakan HT. Ia berjalan di belakang Rektor dan para Guru Besar yang kebanyakan sudah uzur usianya.  

“Oke Ang !” koordinator lapangan menyahuti kata-kata Anggun. Wajahnya sedikit tegang.

“kawan-kawan, kami dari Keprabuan sudah bergerak !”  lelaki itu kemudian berkoordinasi dengan koordinator di tempat lain.
“oke-oke ! kita bergerak mengikuti,“ Seno menyahut dan memberikan instruksi barisannya untuk bergerak menyusul.

“Tolak Pembangunan Bentos !”
“Tolak penggusuran kawasan hijau !”

Barisan civitas akademika mulai berjalan teratur. Mereka meneriakkan kata-kata penolakan terhadap rencana pembangunan Mall di kawasan pendidikan. Langkah mereka tegap, spanduk-spanduk yang terbentang bergoyang pelan.

Tak lama kemudian barisan pengunjuk rasa mulai keluar dari kampus. Lalu lintas di Jalan Pahlawan mulai macet karena sebagian jalur dilalui pengunjuk rasa. Sementara berpuluh wartawan media terlihat beberapa kali mengambil gambar.

Di seberang jalan Pahlawan, tiga tukang becak melongo keheranan menyaksikan iring-iringan panjang pengunjuk rasa, mereka bangkit dari kursi becak setelah cukup lama nangkring menunggu penumpang. Wajah mereka dilamun keheranan.

“eh Pak No ! bukannya pasti rame kalau Pasar Besar itu jadi dibangun. Kan enak toh sebenernya, mereka nggak jauh-jauh belanjanya,” pembecak bergigi tongos memberikan komentar singkat.
”lah iyo toh. Kok bisa ditentang. . aku yo heran”
“soale bukan masalah rame ato ndak Pak No. Pasar itu kan dibangun persis di depan sekolahan. Lha kalau nanti anak sampeyan kluyuran masuk sana dan mbolos sekolah ? gimana hayo ?” salah seorang lagi menanggapi sambil matanya tak lepas memandangi barisan pengunjuk rasa.
“yo aku tabok kalau anakku ngluyur disono !! biar aku tukang becak ! anakku kudu pinter,”
“lha makanya itu. Arek-arek mahasiswa itu kuatir kejadian nantinya seperti itu. Anak sampeyan ngluyur dan maen Ding-Dong disana ! ”
“Ooo . .  ngono yo,“ lelaki yang bernama Pak No manggut-manggut seperti kambing mengunyah rumput.

Analisis sederhana dari pemikiran paling sederhana. Tak perlu banyak variabel dan parameter. Para tukang becak akhirnya memilih nangkring lagi di bangku becaknya.

Sementara sopir mini bus yang bertrayek di jalan Pahlawan mulai terjajah kegusaran. Kemacetan yang ditimbulkan aksi unjuk rasa menyebabkan mobilnya merayap pelan. Para penumpang kegerahan hingga turut pula memancing rasa stress di dalam otak.


Di depan lokasi Bentos, aksi tandingan telah menunggu. Ratusan orang berjaga-jaga mempersiapkan diri melawan aksi penolakan Bentos. Spanduk-spanduk dukungan tak lupa mereka bawa, namun mereka masih terlihat santai tak terbebani. Beberapa dari mereka malah duduk nangkring sambil sesekali meneriakkan kata-kata umpatan. Sementara beberapa lelaki kekar terlihat berjalan mondar-mandir. Rokok yang masih menyala di bibir terkepul-kepul, mereka memang menunggu sesuatu. Seakan detik penantian tergambar lewat tajam mata yang menghujam ke arah barat. Dan, hisapan kuat batang rokok menemani perasaan was-was yang seakan berjalan pelan mengendap-endap.  

“KAMI BANGGA PUNYA MALL BESAR”
“PEMUDA KAMPUNG PENGGING MENDUKUNG PENUH BENTOS”
“LANJUTKAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI SEGALA BIDANG”

Demikian aksara yang tertulis jelas di bentangan spanduk.

Aksi tandingan dipisahkan limapeleton Petugas. Helm dan tameng pengendali huru-hara rapat melindungi tubuh. Mereka berjaga-jaga di antara kedua massayang akan segera berhadapan di depan areal Bentos. Raut wajah  membeku waspada, namun beberapa diantaranya terlihat bercakap meredakan ketegangan.  

Massa dari Universitas Keprabuan akhirnya bertemu dengan civitas akademika Institut Teknologi Rekayasa. Mereka berkerumun di sekeliling  tenda yang ditetapkan menjadi center aksi. Dan mereka kemudian menemui para martir yang bersiap melaksanakan aksi mogok makan.

“tabahlah kawan-kawan !, kita perjuangkan lingkungan kita agar terbebas dari pengacau tata kota!” Rektor Institut Teknologi Rekayasa berteriak di depan para martir aksi mogok makan. Tubuh tinggi besar dan kumisnya yang lebat menambah kewibawaan dirinya. Sementara rektor Keprabuan berada persis di sampingnya. Ia mengangguk pelan sambil mendekap tangan di depan dada. 

Wajah-wajah tegang mengelilingi tenda seakan tak terusik keramaian sekitarnya. Bahkan saat ini, lalu lintas Jalan Pahlawan sudah tak mungkin lagi dilewati. Polisi lalu lintas segera mengalihkan arus kendaraan yang menuju Jalan Pahlawan. Namun kesmrawutan lalu lintas malah memicu senyum lelaki culas yang berdiri menyendiri di seberang jalan.

“sebentar lagi ...” senyum licik pak Misto menghiasi wajahnya. Teriakan semangat dari civitas akademika terdengar menggelikan di telinganya. Lelaki itu berdiri sedikit mencondongkan tubuh laksana Patih Sengkuni menanti kereta perang.


“hidup mahasiswa!” teriak mahasiswa yang kepalanya memakai ikat kain putih.
“hidup rakyaaaat !” teriaknya lagi
“hidup rakyaaat !”
“hidup mahasiswa !” berganti ganti kalimat pengobar semangat diteriakkan.

Gabungan massacivitas akademika akhirnya bergerak rapi menuju timur. Langkah mereka pelan dan tegap. Koordinator aksi terlihat tegang. Mereka saling berkoordinasi mengatur jalannya aksi.

“Seno ! masuk !, segera koordinasikan dengan mahasiswa Keguruan,” teriak salah seorang koordinator lapangan
“oke !!. Mereka telah berangkat keluar gerbang,” Seno ganti berteriak.

Barisan unjuk rasa makin mendekati areal Bentos. Mereka berjalan pelan seakan merayap. Para guru besar, rektor, dan pentolan mahasiswa berada di barisan terdepan. Tangan kiri mereka berkali-kali meninju ke angkasa. Sebuah sikap terhormat, sebuah tanggung jawab moral yang menuntun mereka turun menyuarakan hati nurani. Sementara spanduk-spanduk bertuliskan penolakan Bentos melambai-lambai berguncangan.

Terlihat di barisan paling depan, Anggun berteriak-teriak mengepalkan tangan ke angkasa. Ia persis berada di samping Profesor Catur yang terus berteriak walau suaranya telah serak parau. Profesor tua itu berjalan limbung, persis resi yang memilih turun gunung ketika melihat ketidakberesan.

“Tolak Pembangunan Bentos ! Tolak Pembangunan Bentos !!!” Rania mengikuti komando teriakan dari barisan terdepan. Keningnya berpeluh. Hawa panas yang melingkupi barisan mulai mengaliri tubuhnya, termasuk juga Audrey dan Zweta yang berada di kanan-kirinya.

Sementara massadari Institut Keguruan telah sampai di gerbang Universitas. Dan kini barisan mereka mulai memenuhi jalan Pahlawan.  

“Pembangunan Bentos adalah keputusan dagelan !!!”,
“birokrat-birokrat kita adalah makelar” Presiden Mahasiswa Universitas Keguruan berteriak-teriak menggunakan mikrofon yang memekakkan. Suara itu keras. Teramat keras. Dan membuat gatal lubang telinga. Ia berteriak sejadi-jadinya persis kerasukan. Sementara Rektor Institut keguruan berjalan pelan di barisan depan. Ia berwajah dingin dan tegas. Kepalan tangannya mengepal kaku ke angkasa.

Kemacetan dari kedua sisi akhirnya tak terelakkan. Lalu lintas lumpuh. Para petugas lalu lintas meniup peluit seperti kesetanan. Mereka mengambil keputusan memindah arus kendaraan. Ya. kali ini jalan Pahlawan lumpuh total. Seluruh kendaraan harus dialihkan.  Dan para sopir menggebrak setirnya marah-marah.

“Sodara-sodara ! birokrat kotakita sudah dikuasai mafia ! kita harus berani menentang agar mereka tidak semakin ngawur !” Presiden Mahasiswa Institut Keguruan masih lantang berteriak. Suaranya melengking dan terdengar makin menggatalkan telinga. Langkah kaki mereka akhirnya memutar di U-turn Boulevard. Massa Universitas Keguruan akhirnya bertemu dengan barisan dari civitas akademika yang bergerak dari barat.

Massa semakin menyeruak deras. Terlebih ketika rombongan aktivis lingkungan bergabung dengan barisan. Abah, Kang Diman, dan seniman-budayawan berteriak menjadi-jadi. Kedatangan mereka tak disangka-sangka. Mereka datang dari segala penjuru. Bagai pasukan pilih tanding yang memberikan suntikan moral, mereka berhamburan dan menyatu dengan barisan. Mereka memakai pakaian kebesaran sendiri. Bukan jaket almamater, bukan pula baju seragam.  Mereka memakai pakaian khasnya masing-masing. Ada yang memakai baju lurik, baju-celana berwarna hitam, malah Kang Diman memakai Jins robek dan kaos oblong buntung tanpa lengan. Hanya Abah yang berpakaian rapi. Ia mengenakan celana kargo dan berbaju batik.

Senyum Abah seketika mengembang dan langsung memeluk Profesor Catur. Ia tertawa-tawa sebentar. Setelahnya ia menyalami para Rektor yang berada di barisan terdepan.

“Suhu Catur akhirnya Turun !!!” Abah setengah berteriak di tepi telinga professor Catur. Ia tersenyum menggoda.
“hahaha ! tanggung jawab intelektual, Abah !” Profesor Tua itu menjawab bangga. Mereka berdua kemudian berjalan berdampingan.
“urusan dengan Dewan Legislasi sudah beres ?” Profesor Catur meminta konfirmasi langsung dari pelaku sejarah –walau ia sendiri sebenarnya telah mengetahui dari suratkabar kalau Dewan Legislasi tak berani lagi merevisi Perda.  

“hahaha, mereka akhirnya ketakutan dan tak jadi,” Abah bersemangat menceritakan.
“baguslah, Bah  .. untuk mengatasi degradasi moral para pemegang amanat, yang harus pertama diberdayakan adalah fungsi kontrol masyarakat yang siap mengawal jalannya hukum dan peraturan .. ah ... andai saja fungsi kontrol di negara kita kuat  ..”
“hehehe .. bagaimana lagi, Prof .. mereka lebih takut barisan pengunjuk rasa daripada Tuhan yang setiap hari diagung-agungkan .. jadilah rakyat kecil seperti kita memaki-maki pejabat di setiap obrolan sehari-hari ..”  Abah mengomentari sambil melucu ironi.
“hehehhehe .. bisa saja, Bah”
“kalau preman yang memukul apa sudah tertangkap ?” lanjut profesor Catur.
“dua orang sudah ditahan. Tapi sayangnya mereka cuma pion, bukan panglima,” Wajah Abah nampak serius kala berkata.

Anggun tersenyum kagum mendengar percakapan Abah dan Profesor Catur. Betapa dilihatnya dua sosok manusia yang terus teguh memegang prinsip hidup walau umur keduanya telah senja.


“Tolak Bentosss ! Tolak Bentossss !” suara parau menggelora.
Ternyata Kang Diman mengambil posisi terdepan. Bagai seorang mayoret, ia mengangkat kepalan tangan ke angkasa. Sesekali teriakannya diiringi loncatan tubuh yang ringan. Gerakannya lincah, rambutnya yang gimbal berayun-ayun tertiup angin. Giwangnya yang besar berpantulan di cuping telinga, tingkahnya yang eksentrik serta suaranya yang parau semakin menambah keeksotisan lelaki itu. Ia bagai seorang pimpinan komando. Ia berjalan di barisan paling depan. Ya, Kang Diman bertingkah seolah memimpin seluruh barisan.


Massa semakin bergegas mendekati areal Bentos. Petugas kemanan mulai bergerak dan membuat barikade. Jarak mereka dari lokasi Bentos masih sekitar 200 meter. Mereka membuat tiga lapis pagar betis yang memisahkan kedua massa yang pro dan kontra Bentos. Helm-helm masih belum diturunkan menutupi wajah. Tameng anti huru-hara masih belumlah tergenggam erat.

Melihat gerakan petugas, Abah mempercepat langkah dan segera keluar dari barisan. Lelaki tua itu berniat menemui pimpinan petugas keamanan dan bernegoisasi. Melihat gerakan cepat langkah Abah, Kang Diman berjalan mengekor di sampingnya. Langkah keduanya semakin cepat mendahului barisan pengunjuk rasa.

***

Akhirnya massaberhenti sejarak sepuluh meter dari Abah yang masih bernegoisasi dengan pimpinan petugas keamanan. Tak lama kemudian lelaki itu telah kembali bersama Kang Diman.

“kita diperbolehkan mendekati lokasi Bentos, tapi harus ada jaminan tak ada tindakan anarkis. Dan saya telah menjamin hal itu,” Abah berbicara santun dengan Rektor, Guru Besar, dan para aktivis Mahasiswa. Semua  mengangguk pelan. Kualitas reputasi Abah sudah tak terbantahkan. Kesantunan dan keteguhan lelaki tua itu mampu menyihir para Rektor dan Guru Besar. Sementara Polisi mulai mengendurkan barisan. Mereka memilih mundur ke belakang.

Mendengar kata-kata Abah, para koordinator aksi semakin memperkuat konsolidasi agar tak kecolongan. Seno terlihat semakin tegang, begitu juga dengan para koordinator yang lain.  

Barisan civitas akademika kemudian berjalan lagi. Paramahasiswi mulai saling menautkan tangan. Terlihat sekali kesolidan dan kekompakan. Mereka akhirnya berhenti tepat 50 meter di depan areal Bentos setelah berhadap-hadapan dengan barikade Petugas keamanan.  

Abah dan para petinggi Kampus mulai menyiapkan aksi . Mikrofon-mikrofon berkumpul. Sementara para koordinator nampak tegang memantau keadaan.

Massa dari civitas akademika semakin menyemut. Mereka berkumpul melingkar bagaikan lebah madu yang mengelilingi ratunya. Sementara di ujung timur Bentos, terdengar pula teriakan massapendukung Bentos yang mengumpat-ngumpat tak karuan. Merekapun berhadapan langsung dengan barikade petugas keamanan.


“sodara-sodara ! siapa yang tak bangga melihat Mall besar ! kita semua juga pasti bangga ! tetapi perusakan tata kota sudah tak bisa ditoleransi lagi ! ini semua harus dihentikan ! harus diakhiri !!” Rektor Keprabuan menyampaikan orasinya dengan tegas. Suara yang berat itu terdengar keras hingga ke barisan pendukung Bentos.

“tahu apa mereka,” seorang pemuda Pengging di bawah pohon berkata kepada kawan di sampingnya.
“bagi kita yang penting uang dan pekerjaan. Bukan bualan,” seseorang lagi berkata menggarami
“rasa-rasanya telingaku sudah gatal disumpahi !” mereka mulai terseret emosi

Sementara di bawah kerindangan sebuah pohon Angsana tepi trotoar, dua lelaki muda memisahkan diri dari barisan pro Bentos.

“lihatlah Parto, Min. Ngakunya preman tulen, tapi kelakuannya mirip bayi penyakitan. Kemarin operasi di diskotik sampai malam, eeehh paginya masuk angin ! coba saja kau lihat punggungnya ! banyak garis merah bekas kerokan. Aku kalau dekat dia saja mual, Min. Sepertinya habis mandi minyak angin !!!”
“pantes wae lesu, Mo ! ngakunya ke Kang Degar belum makan ! pake wajahnya memelas seperti maling jemuran ketangkep hansip”
“hahaha !! kalau memelas memang jago dia ! Mending menggelesot dan memelas di lampu merah daripada jadi preman, hasilnya pasti lebih banyak lantaran muka melasnya ... ”
“Sudah lihat tato baru di lengan kanannya ?”
“ya. Dia tunjukkan tadi. Gambar daun ganja, Mo”
“ngawur ! coba saja kau lihat lagi ! malah lebih mirip daun singkong daripada daun ganja”
“memang goblok itu anak ! tak bisa membedakan daun ganja dan daun singkong”


“To ! Parto ! sini To !”
“Opo, Cak ?!!” sosok preman yang dipanggil Parto menyahut dari kejauhan. Ia pun berangsur datang mendekat.
“mana tato barumu ?”
“iki, Cak “ preman lugu bernama Parto menyingkap lengan bajunya cepat-cepat.
“gambar apa iku, To ?”
 “Daun singkong, Cak !” wajah Parto terlihat bangga mengucapkannya.

“dasar goblok !”
“kau ini preman, To ! bukan penjual tape !! bikinlah tato yang bagus ! gambar Naga  terbang ! Macan Ngamuk ! Kuda Kencing sambil meringkik ! Mawar  dan Pistol ! masih pantes. Kau ini hahahahha ! goblok ! kenapa nggak sekalian saja kau bikin tato bebek mencret di punggungmu,”
“wua ha wua ha wua hahahhahahhahahha”
“Daun singkong itu simbol kemakmuran, Cak”
“makmur-makmur !  makmur Mbahmu kingkong  ??!!!”,
“wua ha wua ha wua hahahhahahhahahha”


***
Dada lelaki bertubuh kekar mulai naik turun. Telinganya makin gatal mendengar macam teriakan yang baginya tak lebih dari sekedar sumpah serapah. Rokok yang menempel di bibir segera tersapu jari tangannya.
“Jancok !!!” ia mengumpat dan membanting rokok. Langkahnya sudah tak stabil, dadanya mulai panas. Lelaki itu berjalan menemui pemimpinnya yang masih dengan tenang memegang erat tongkat bambu sebesar lengan tangan.

“bagaimana Kang Degar ? kapan ?” lelaki itu setengah berteriak. Digaruknya rambut lusuh tak tersentuh air barang tiga hari. Matanya menatap sosok lelaki ramping di depannya.
“tunggulah, Jo. sebentar lagi,“ lelaki bernama Degar tak banyak bicara. Wajahnya dingin membeku. Matanya menyala serupa api yang bersiap membakar siapapun di depannya. Disemburkannya sisa asap rokok dari hidung dan bibir bersamaan. ia memukulkan tongkat bambu berirama.

“lingkungan dan pembangunan harus diperhatikan kelangsungannya. Penguasa telah bertindak semena-mena tanpa melibatkan partisipasi rakyat”
Suara penolakan  Bentos terdengar sayup-sayup di telinga Degar. Ia masih berekpresi dingin.

“sodara-sodara ! jangan biarkan kota kita dikuasai preman-preman bayaran !” lagi-lagi sumpah serapah terdengar makin memuakkan.

 “bajjjingaaaan !” hatinya mulai berontak. Ia bangkit dari duduk. Tangannya menggenggam lebih erat pangkal bambu. Gigi gerahamnya gemeretak berdesakan.

“Tejo !! panggilkan yang lain !” ia berteriak tegas sambil mengacungkan bambu ke arah lelaki kekar yang ternyata bernama Tejo. Suaranya yang berwibawa laksana magnet yang otomatis menyeret satu-persatu tubuh anak buahnya.

“hoi ! sini semua !” terdengar suara lebih keras dari Tejo. Lelaki kekar berambut lusuh mewakili tiap kata-kata Degar. Ia berteriak sambil celingukan mencari-cari.

Tiga lelaki di bawah pohon dadap tersentak seketika. Mereka bergegas secepatnya bergabung menemui lelaki yang dipanggilnya Kang Degar.

“sudah saatnya,” tegas Degar berbisik ketika seluruh anak buahnya telah melingkari tubuhnya.
“beres , Kang !”
“pancing saja mereka ! tapi ingat ! jangan sampai kacau hari ini !” ia mewanti-wanti tegas. Sorot matanya tajam mengoyak pendirian anak buahnya.

“Tejo ! ambil jalan memutar. Dan .. hati-hati ..”

“siap, Kang !” Tejo menyambut tatapan mata Degar.

Tanpa banyak dikomando, anak buah Degar segera menempati posisi masing-masing. Beberapa dari mereka berjalan melingkar. Sementara tiga lelaki yang sebelumnya berada di bawah pohon Angsana kebagian menata para pemuda Pengging berunjuk rasa. Mereka meneriakkan dan mencampur bumbu kata-kata pancingan. Mereka menggerak-gerakkan spanduk dan meneriakkan slogan-slogan pro pembangunan Bentos.

“sukseskan pemerataan pembangunan”
“sukseskan Pembangunan Bentos”

Teriakan-demi teriakan berpilinan tak tentu arah. Bunyi gegap gempita tepuk tangan penentang Bentos kala berorasi, berhadapan dengan kalimat cacian dari corong pengeras suara massapro Bentos. Aksi kali ini menggambarkan puncak pertentangan antara akademisi dan birokrat kapiran. Pertentangan para pemodal melawan para aktivis yang berupaya mempertahankan hak-hak publik.

Sementara orasi dari banyak pihak bergantian diteriakkan. Seluruh rektor telah menyampaikan sikapnya, begitu pula dengan Abah, dan juga Kang Diman. Kalimat-kalimat himbauan bahkan kutukan tertuju atas rencana pembangunan Bentos. Bahkan kini areal sekeliling hutan kota telah dipagari seng gelombang. Namun penentang Bentos takkan menyerah. Mereka menyisakan harapan.  Aksi damai kali ini semoga mampu mengetuk pintu hati para pemangku kebijakan.

Dalam orasi berikutnya, ternyata hadir pula guru dari taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Maklum saja secara geografis, letak Bentos teramat mengganggu kelangsungan belajar mengajar di kedua sekolah itu. Taman kanak-kanak berjarak 30 meter di sisi kanan hutan kota, sementara sebuah Sekolah Dasar tepat berhadap-hadapan dengan rencana bangunan Bentos.

Sementara suara pengunjuk rasa semakin keras menyatakan penolakan. Namun beberapa lelaki berjalan bergantian memasuki lorong dan gang-gang sempit. Mereka memilih menyelinap. Mengambil jalan memutar dan berjalan cepat tanpa suara. Sementara Tejo, lelaki bertubuh kekar itu berjalan paling depan. Wajahnya membeku tanpa ekspresi.  

Gerombolan itu akhirnya keluar dari sebuah gang di sisi barat. Mereka bergerak makin cepat ke tiga buah tenda di taman boulevard.  Dingin. Wajah mereka makin dingin. Serupa sikap sekawanan singa yang mengendap-endap ketika berburu antelope di padangafrika, langkah kaki mereka semakin cepat tak memijak tanah.


“dan kami atas nama Gabungan Civitas Akademika mengeluarkan pernyataan sikap bersama-sama yaitu : 
  1. Menolak rencana pembangunan BENTOS karena melanggar Perda  Rencana Tata Ruang Wilayah !
  2. Menolak pembangunan kawasan pendidikan untuk dijadikan kawasan perdagangan dan mengembalikannya pada fungsi semula;
  3. Menolak pembangunan BENTOS karena membawa dampak kerusakan terhadap lingkungan pendidikan yang harmonis, tenang dan kondusif !
  4. Menuntut penghentian rencana pembangunan BENTOS selambat-lambatnya 4 Minggu  sejak pernyataan ini dibacakan,  atau pemindahan lokasi yang sesuai peruntukannya.
  5. Meminta DEWAN LEGISLASI menghentikan pembahasan Revisi Perda mengenai Rencana Tata Ruang dan Wilayah, karena tidak berpihak kepada kepentingan bersama.”

“hidup rakyat ! hidup mahasiswa !”

Di depan areal Bentos, Rektor universitas Keguruan akhirnya membacakan pernyataan sikap seluruh elemen anti Bentos. Massa bertepuk tangan menyambut, dan mereka terus-terusan meneriakkan slogan anti pembangunan Bentos di kawasan pendidikan.   

Sementara para pemburu berita terus-terusan mengabadikan momen penting. Abah sebagai tokoh aktivis lingkungan diwawancarai. Sedangkan presiden mahasiswa terlihat berbincang akrab dengan kepala pengamanan.

Namun tak ada yang tahu apa yang terjadi di sekitar tenda.

“keparat !!”
“WOI WOI WOI !”
“Anjing kalian !!”
“astaghfirullah !”
Teriakan demi teriakan terdengar
Seketika wajah Seno menegang. Ia berlari secepatnya. Telunjuknya mengarah lurus ke arah barat. Dilihatnya di arah kejauhan sosok kecil berjaket almamater jatuh terlempar di atas aspal.  

Seno berlari semakin cepat, beberapa koordinator menyusul pula di belakang. Seno berusaha mengejar lelaki yang lari ke dalam gang. Sementara mahasiswa Gondrong terlihat kuwalahan melawan dua penyerangnya. Seno menyeruak, maju, dan menolong mahasiswa yang berkali-kali kena pukulan itu.

Kini kedudukan mulai seimbang. Dua penyerang memilih melarikan diri lantaran para mahasiswa mulai berdatangan, namun Seno segera bertidak. Dijegalnya salah seorang lelaki itu hingga tersungkur. Lelaki itu terjengkang, kedua tangannya meraba-raba tak imbang. Seno segera mengunci telapak lelaki kekar yang berusaha keras memberontak. Lelaki itu menguik-nguik persis babi kesakitan. Mahasiswa Gondrong yang sedari tadi dikeroyok seketika memuntahkan kemarahan dan memukuli wajah lelaki itu.

“cukup, Kawan ! cukup !” teriak Seno yang sedikit kuwalahan mengunci lantaran tenaga lelaki kekar itu luar biasa kuatnya.
“sesekali cara preman dibalas cara preman,” Andro mengusap bibirnya yang terasa nyeri. Sementara beberapa mahasiswa datang menyusul. Mereka seketika mengamuk dan bergantian menyarangkan pukulan di wajah dan perut lelaki itu.
“cukup ! cukup !” Andro akhirnya menyuruh kawan-kawannya berhenti.

Lelaki itu sedikit babak belur. Andro berjalan pelan dan mengerang perih.

“bawa ke petugas !” Seno dan kawan-kawannya segera menyeret lelaki penyerang yang masih berusaha keras memberontak.

“kau tak apa-apa, kawan !” Seno menoleh ke belakang. Sementara Andro hanya meringis kesakitan, bibirnya terasa asin.
“bawalah bajingan itu .. muak aku melihatnya !!!” Andro berteriak keras. Matanya menyala menatap wajah penyerangnya.

Sementara sambil mengusap bibirnya yang terasa pecah,  Andro pun akhirnya menenangkan diri di tepi trotoar. Ia menghela nafas panjang. Ia masih terkaget tak percaya setelah empat kali pukulan mengenai di pelipis dan rahangnya. Dan,

Titittt tittttt ....
Hp butut Andro berbunyi sumbang. 

1 message received

An, hari ini aku berangkat. Sebenarnya kemarin2 aku ingin kamu datang menemaniku. Cuma aku tahu kamu takkan bisa. Maafkan aku. Dan, segeralah lulus. Damaya Amalia.

“Amalia..,” Andro berbisik sedih. Jiwanya pun terasa pedih.

***

Klinik Pinggir Kali,
15.30

 “kamu seharusnya tak nekad seperti itu, An.” Granadamembersihkan luka Andro dan mengompresnya. Terlihat jelas memar biru di pelipis dan rahang Andro. Sementara bibir bawahnya sedikit bengkak lantaran pecah.

“dasar anak muda !! untunglah kamu tak apa-apa,” Dr. Almany Respaty tertawa-tawa. Tak ada rasa khawatir dalam kata-katanya. Ia hanya menggeleng kepala.

“kejadiannya seperti apa, Kak ?” Zweta gelisah melihat kakaknya.
“biarkan istirahat dulu,Ta” Rania lembut menimpali
“kayaknya memang disengaja, Ran” Audrey mengernyit berfikir

“ketika aksi terkonsentrasi di sekitar Bentos, kawan-kawan lupa dengan tenda,” Andro berusaha menjelaskan sambil menahan perih.
“mereka menyusup dari lorong-lorong kecil,” lanjut Andro
“masuk ke tenda ?” Zweta bertanya lagi. Sementara Andro menggeleng.
“mereka memprovokasi kita. Spanduk-spanduk dan kain dukungan dirobohkan,” Andro menceritakan sepotong-sepotong. Sesekali wajahnya mengerih lantaran tangan Granadamenyeka lukanya.

Ternyata Andro berusaha mengejar lelaki yang melarikan diri setelah merobohkan spanduk di sekitar tenda. Untunglah Seno datang menolong. Dan kini, sentuhan lembut Granadamengobati perih dan sakitnya. Adarasa sejuk dan damai. Ada perasaan nyaman berada di dekat Granada. Mata Andro sayu menatap wajah ayu Granada, ia teringat Amalia.


“Ta,” Andro tiba-tiba memanggil Zweta.
“ya, Kak ..” Zweta menyahut cepat.
“Jangan beritahu Mama,”


***

Posting Komentar

 
Top