0


Bulan Agustus, tahun  2004

Alam terkembang menjadi guru, melingsirkan matahari dan rembulan bergantian, menggantikan bintang-gemintang dengan rekahan fajar dan kabut pagi.
Ya, demikianlah sentuhan keajaiban berjalan. Detak waktu bagai malaikat yang menyentuhi seluruh kehidupan di muka bumi. Kecil menjadi besar, yang semula terkuncup kini mekar merekah. Tak ada kehidupan yang diam, semuanya bergerak, dan segalanya berubah. Serupa ribuan krisan Chrysanthimum Grandiflorum  yang kini penuh mengembang. Warna kelopak bunganya yang ungu tua, melukis kecantikan yang dingin, anggun, juga elegan. Bunga-bunga krisan itu tertanam rapi berderet memanjang, menyuguh keindahan eksotik yang teramat jarang dijumpai ketika bermekaran di padang luas, yaitu kebun-kebun bunga yang membentang luas di alam bebas.
Ribuan krisan beraneka warna itu hanyalah sebagian kecil penghuni tempat ini, tempat dengan hamparan kebun-kebun bunga dan ribuan kembang hias. Ada petak kebun yang dipenuhi kembang mawar, juntaian cemara udang, liukan cemara gunung, tanaman bambu air, aneka jenis palmae, bahkan puluhan tanaman hias dari jenis Anthurium.
Tak cuma itu, di punggung-punggung lembah yang tak jauh berbarislah pepohonan apel yang semampai tak tinggi.  Pohon-pohon itu berjajar rapi sempurna menjulurkan dahan yang ramping, daun yang menyirip kecil, sekaligus jutaan putik bunga yang bermekaran bersama sama. Warnanya yang putih, mungil, sekaligus wangi menyajikan ornamen kecantikan yang sedehana. Bagai sebuah lukisan elegan yang digores tangan yang Mahasempurna. Semuanya seimbang, semua  nampak tak punya cela.
Alam membuat semuanya serasa sempurna, di sebelah barat merupakan lanskap gugusan bukit berhutan pinus yang hampir seragam tinggi puncaknya. Lanskap itu terbentuk dari terrain dataran tinggi 1000 meter di atas permukaan laut. Gugusan bukit itu perlahan melandai ke sisi timur, membentuk paparan luas yang kemudian dihuni oleh jutaan manusia.
Sementara di ujung selatan terdapat gugusan pegunungan Kawi. Pegunungan itu memanjang dengan ketinggian rata-rata 2300 meter di atas permukaan air laut. Pegunungan Kawi terbujur dari utara ke selatan –membentuk sketsa kasar seorang puteri yang sedang tidur terlentang. Tubuh sang Puteri rebah memanjang dari selatan ke utara,  dan kemudian berujung dengan puncak Panderman sebagai sketsa tonjolan kakinya.
Ya, demikianlah tempat ini. Dataran yang dikelilingi gugusan bukit berhutan pinus, paparan yang diapit dua pegunungan besar, yaitu Pegunungan Kawi dan Pegunungan Arjuno-Welirang. Sekaligus areal yang ditampaki panorama rangkaian pegunungan Bromo-Tengger-Semeru disisi timur. Rangkaian pegunungan itu meliuk membentuk kurva-kurva panjang, Liukan kurva kemudian diakhiri dengan bentuk strato sempurna gunung Mahameru yang terus mengepulkan debu vulkanik secara berkala.
Pagi ini mentari memang belum terbit, namun seluruh cakupan lazuardi beserta cerat merah sang fajar membuat langit terlihat terang. Warna biru tua Gunung Panderman 2000 m DPL seakan menjadi ikon panorama. Puncaknya yang patah, membentuk kerucut sempurna namun terpancung. Pagi ini punggung Panderman tertutupi uraian awan putih comulus yang berarak laksana bulu domba. Awan-awan itu bergerak perlahan serupa sekawanan domba yang sedang merumput di padang savana.

***
“An ! bangun. Sholat subuh sana. Kamu sudah kesiangan ! “, Perempuan paruh baya dengan setengah kesal berteriak di depan pintu kamar. Diketoknya pintu berulang-ulang. Ia masih berdiri di depan pintu karena penghuni kamar hingga saat ini belum juga bangun.
“Andro  !,  bangun An !, subuh hampir lewat. habis sholat bantu adikmu. Makanya jangan nonton bola terus ! dibilang jangan tidur malam-malam !“, perempuan itu masih menunggu di depan pintu.
“Iyaaa  Maaa !” , “uaahhh ! “, Andro seketika menggeliat dan menguap. Namun inderanya  masih sukar menerima respon lantaran rasa kantuknya yang menghebat.                                                                  
“Buruan An, sholat subuh ! adikmu hari ini daftar ulang”, Mamanya kembali berteriak. diketok lagi pintu kamar lebih dari tiga kali, dan kemudian  perempuan itu pun berlalu menuju dapur.

Andro enggan mengomentari kalimat terakhir Mamanya. Ia bergegas membuka selimut tebal sambil mengusap mata yang  kemerahan. Selimut bergambar beruang-kutub, dicampakkannya begitu saja. Bergegas ia memakai sendal dan membuka pintu kamar sambil terhuyung seperti zombie dalam film Resident Evil. Hawa kamar tidur yang empuk dibawa pula bersama seokan langkah ke kamar mandi.
“waduh Pangeran gondrong baru bangun. Mentang-mentang habis nonton bola kini bawa kotoran mata segedhe bola,”  ledek Zweta yang berpapasan di ruang keluarga
“cerewet !!!” Andro menjawab sekenanya. Dirasa suara adeknya seperti sapu lidi yang menyodok-nyodok telinga.
“gitu aja marah, pantesan Kak Amalia nggak betah !” Zweta seketika berkacak pinggang menunggu reaksi Andro
“eh –eh apa kamu bilang ??!“ Andro sewot dan segera mendekati adiknya. Jari tengah diregangkan dan ingin secepatnya dijentikkan di telinga Zweta.
“Mamaaa . . “ Zweta bersijingkat menghindar. Ia meminta perlindungan.
“kalian ini sudah besar masih seperti anak kecil. Andro ! buruan  wudhu terus sholat !, dan kamu Adik, perlengkapan kamu sudah beres apa belum ?” Mama  memandang mereka dengan wajah kesal. Ditariknya nafas dalam-dalam.
“Nah tuh kapok dimarahi, kacian deh lu ! hihihi ..” Zweta tersenyum sambil telunjuknya melukis liukan di depan wajah Andro. Dengan kelakuan adiknya itu, Andro merasakan dongkol tak berbalas.
“Adik . .  kamu kok gitu juga. Buruan siapkan semua. Nanti telat !”
“Oke deh, Ma“
Zweta bergegas menuju kamar ketika Andro beringsut ke kamar mandi. Ia merapikan dokumen yang harus dibawa untuk melakukan registrasi ulang. Ya, Zweta diterima SPMB di jurusan Teknik Sipil Universitas Keprabuan, salah satu universitas ternama yang menjadi pilihannya.

Musim baru saja berganti. Tak seperti bulan lalu yang berangin kencang, bulan ini adalah bulan yang membawa hawa dingin luar biasa. Gigitan suhu 12 derajat celcius terasa seperti tusukan benda tajam di sendi tubuh. Di punggung-punggung bukit, pepohonan pinus -Pinus merkusii telah berhenti menari. Liukan pohon pinus yang sebulan lalu seakan mampu mencerabut akar-akarnya yang kokoh, kini tenang kembali. Memang, tiga puluh hari yang lalu di tempat ini masih bisa merasakan hembusan angin yang begitu kuat, hingga hembusan yang mengalir di sela dedaunan pinus terdengar seperti desau harmoni serentak. ’ssswwshhs... sswwwss .... ssrrrrrrrkkk’. Penduduk desa menamai masa datangnya angin dengan ”mangsa pratondo”,  yaitu masa yang memberi petunjuk bahwa musim hujan telah berlalu. Dan setelah ”mangsa pratondo” lewat, bulan berikutnya pastilah diikuti musim dingin yang penduduk desa biasa menyebutnya ”mangsa bediding” –awal dari datangnya musim kemarau kering.
Namun seperti tahun-tahun sebelumnya, pergantian musim takkan mempengaruhi sendi kehidupan masyarakat desa. Roda kehidupan penghuninya telah menggeliat sejak sebelum subuh. Mobil pickup lalu-lalang mengangkuti hasil bumi ke kota. Di salah satu sudut desa, beberapa perempuan muda terlihat menyapu halaman. Sambil bersemangat, ikatan  lidi disapukan ke kiri dan ke kanan. Arah ayunan semakin lama semakin menuju ke satu arah, dan ketika telah terkumpul, mereka memunguti sampah menggunakan tangan dan kemudian  memasukkannya ke dalam keranjang sampah dari anyaman bambu. Sejurus kemudian mereka membersihkan patahan ranting sambil sesekali merapikan bunga hias yang terpajang rapi di halaman. Turis domestik maupun mancanegara biasanya ramai berkunjung di akhir pekan. Mereka ber-agrowisata dan membeli oleh-oleh tanaman hias yang memang harganya paling murah dibanding tempat lain. Di halaman rumah penduduk desa, bunga-bunga pot tertebar bermekaran. Berbagai jenis bunga tumbuh dengan indahnya. Mahkota bunga sepanjang tahun bebas merekah mengelopak warna-warni.
Sementara itu, di dahan pohon sirsat yang tak seberapa tinggi, tiga ekor kupu-kupu bersayap lembayung belum juga terbangun. Mereka berdiam di atas dahan yang dingin akibat hawa malam. Pohon Sirsat itu tumbuh dan menjadi naungan bagi berbagai jenis serangga yang hidup di sekitarnya.

 Mawar Putih, begitulah nama sebuah tempat yang terletak di paparan plateau pegunungan Arjuno-Welirang dan gugusan pegunungan Kawi ini.  Sebuah desa yang dikelilingi gugusan bukit setinggi 1500 meter di atas permukaan air laut. Di sebelah utara, bukit Sumber Brantas mengadiahkan umbulan mata-air yang memancarkan aliran kehidupan sepanjang waktu. Kumpulan mataair yang memancar dari sela-sela tebing merupakan arboretum dari sungai Brantas. Nantinya, aliran sungai itu semakin besar hingga melingkar dan membelah kota-kota besar di Jawa Timur.
Lembah-bukit di sekitar Sumber Brantas masih dirimbuni belantara pepohonan. Kawasan dengan suhu rata-rata 10° celsius ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan hutan lindung. Tak jauh dari Bukit Brantas, mata air panas menyembul di lereng Gunung Welirang –dari sebuah taman hutan raya yang dikenal sebagai kawasan Cangar  atau Taman Hutan Raya Raden Suryo.  Dari Tahura Raden Suryo, panorama gunung dan gugusan kebun sayur memenuhi mata siapapun yang mencari keteduhan. Tegak gunung Welirang dengan ketinggian 3100 meter DPL menjadi panorama yang memukau. Asap belerang yang sepanjang waktu terkepul dari kawah seakan menghiasi puncaknya yang berbentuk seperti perahu tertelangkup. 

***
“Ma, fotoku kok nggak ada,“ Zweta keluar dari kamar dengan wajah penasaran. Ia berjalan menuju  Mamanya yang sedang mempersiapkan sarapan pagi. Kali ini Zweta terlihat rapi dengan celana cargo-nya yang dipadu kemeja warna hijau.
“foto kamu yang di danau ?”, 
“iya, Ma. Foto yang di danau,” Zweta menatap lembut Mamanya
 “foto itu sudah Mama masukkan ke daypack kamu yang kecil,” Mamanya menjawab sambil tersenyum
“Pantesan nggak ketemu,” pikirnya dalam hati.
“sudah lengkap semua, Sayang ? jangan ada yang tertinggal,”
“sudah, Ma. Sudah semua ..”Zweta menjawab sambil berlalu.
 
Zweta kemudian memasuki kamar dan memutar MP3 instrument berjudul Felitsa, sebuah lagu yang diciptakan Yiannis Hrysomallis, Yanni  untuk ibunya.
“aku tak bisa membayangkan keharuan Felitsa saat mendengarnya,“ Zweta menyimpan kekaguman.
Alunan musik menggambar penghormatan yang agung kepada sosok perempuan bernama Felitsa. Tiap elemen musik berpadu menyusun sebuah simfoni yang harmoni. Dan kemudian intuisi Zweta mengalir mengikuti alunan musik yang kini memanja batinnya. Ditariknya kursi kayu di belakang meja belajar, dan ia pun duduk tenang sambil meraih secarik kertas dan bolpoin di pojok meja. Ia kemudian menulis kata demi kata hasil intuisinya pagi ini.
“Tuhan,
kulukis cintaMu padaku
atas wajah perempuan agungku.
Yang katanya, lembutnya, senyumnya  :
Adalah nyata gambaran surga.

Labirin  takjubku bergetar
 kala kening kecilku terkecup bibir perempuan itu.

Yang dalam pendar matanya,
Aku melihat teduhjiwa

Yang dalam belai halusnya,
kurasa buaian tak terkata

Yang dalam langkahnya,
Aku menafsir tegarjiwa

Tuhan,
Sedemikianlah aku menggambar rasa cintaMu padaku,
atas wajah perempuan agungku.
Yang cintanya, tawanya, ikhlasnya  :
Adalah nyata gambaran surga. Untukku”

Zweta menekan pangkal bolpoin di dagunya ketika berhenti menulis. Kata demi kata adalah kekasihnya, sementara suara musik  masih tetap mengalun mengiringi intuisinya berbicara.

***

“Adik, sudah beres semua ?, kalau sudah selesai, buruan sarapan. Nanti keburu siang daftar ulangnya”, 
Perempuan paruh baya setengah berteriak sambil menata sarapan di atas meja. Ditatanya bakul nasi –lauk –dan sayur membentuk lingkaran yang rapi. Perempuan itu kemudian menyiapkan tiga piring nasi agar tidak terlalu panas ketika disuap. Kepulan uap nasi yang masih panas seketika menebar aroma harum ke seluruh penjuru ruangan.   
”Sudah siap semua, Ma” Zweta menyahut sambil menenteng tas punggung dari kamar. Dan ketika Zweta sudah sampai di meja makan, diletakkannya tas itu di tepi meja.
“Sang Jagoan juga sudah siap tuh jadi bodyguard,“ perempuan paruh baya tersenyum bangga melihat putri kesayangannya mulai beranjak dewasa.
”jangan ada dokumen yang tertinggal”, Mama melanjutkan lagi.
“sudah semua kok, Ma”, Zweta membalas senyum Mamanya.

Sementara dari Kamar Andro, seketika terdengar musik rock klasik yang diputar kencang-kencang.   
”mulai lagi, Dik,”
”kumat, Ma”, Zweta menggelengkan kepala. Dan Mamanya menanggapi komentar Zweta dengan senyum tak percaya. Zweta bergegas menuju kamar Andro,

Raungan Andro yang jauh dari keindahan berpadu dengan lengkingan Ian Gillan, sang vokalis Deep Purple. Ia berusaha keras mengimbangi lirik lagu Black Night sambil berlagak layaknya rockstar di depan kaca. Tangannya sesekali mengepal ke udara persis petugas Koramil menjumpai pedagang petasan, terkibas-kibas membentuk putaran aneh mirip bebek kebelet kawin, bahkan terkadang menunjuk –nunjuk bayangannya sendiri di depan cermin. Ia menirukan tingkah polah sang rockstar seolah dirinya sedang show di atas pentas dangdut malam agutusan. Bahkan ketika suara gitar terdengar dominan, spontan jari tangannya menirukan aksi gerakan Ritchie Blackmore, sang gitaris legendaris Deep Purple.

”dasar gila !” Zweta berteriak tatkala menyaksikan tingkah kakaknya yang kacau di depan cermin. Namun Andro tak peduli. Kaki kanannya bergerak ritmis menghentak-hentak.
Black night  .. is not right  ... I don’t feel ... so bright ..”
 ”woi ! buruaaannn !!”, Zweta berteriak jengkel sambil memukul-mukul daun pintu.
I don’t care  ... to sit tight ..” Andro tak mempedulikan Zweta. Tangannya kembali mengepal persis hansip memergoki maling jemuran.
”duhhhhh ..nggak lucu  !! ” Zweta protes namun pasrah. Ia tahu aksi Andro dilakukan untuk memancing emosinya. Zweta akhirnya memilih menyingkir.
Dan benar saja, sepeninggal Zweta, aksi rocker jadi-jadian  perlahan-lahan mengendur,  Andro kemudian menyisir rambut gondrongnya diiringi lengkingan suara Ian Gillan yang makin meradang. Dan di depan cermin, ia berkaca sambil sesekali nyengir tanpa maksud. Mungkin untuk menemukan ekspresi sintesis hingga dirasanya lebih macho dan lebih jantan.
Sementara di dinding kamar Andro terpajang foto-foto kala ia melakukan ekspedisi pendakian. Namun foto yang terasa mencolok adalah foto yang paling besar, sebuah foto tatkala dirinya berpose mengepalkan tangan di puncak gunung Rinjani. Namun di atas itu semua, di atas meja belajarnya, terdapat foto close up sosok perempuan berwajah lembut yang tersenyum manis sambil memegang setangkai mawar.

Zweta menghempaskan tubuh di kursi makan. Dan tak lama kemudian, Andro pun menyusul dan langsung duduk di depan Zweta. Bibir Andro menyungging senyum puas tatkala melihat Zweta menahan jengkel, sementara lamat-lamat terdengar Ian Gillan menyanyikan lagu  Smoke on the water.

Anthuriumyang kamu tanam itu kayaknya bermasalah, Dik. Pertumbuhan daunnya nggak begitu bagus,”  Mama yang membawa lauk memecah kedongkolan Zweta.  
“kenapa bisa begitu, Ma ?. mending nanya Kak Amalia saja, Zweta menoleh menyahut”
“eh itu si Amalia nggak pernah kamu ajak kesini lagi, An,” Mama berkata datar kepada Andro. Diingatnya perempuan kawan Andro yang bernama Amalia. Seorang mahasiswi jurusan Pemuliaan Tanaman di kampus yang sama dengan Andro.   
“yah Mama, jelas saja. Mana tahan Kak Amalia sama si Gondrong dari Gua Buntu ini. Sudah galak, nggak ada perhatian sedikitpun. Punya cewek satu aja malah dicuekin. Kalo begitu caranya sih mending pelihara monyet dan taruh di punggung. Nggak akan protes kalo dicuekin. Paling-paling minta jatah pisang,” kata-kata Zweta spontan meluncur seperti air terjun yang secara natural turun akibat gravitasi. Setelah menyelesaikan kata-katanya, dilihatnya wajah sang kakak sambil tersenyum nakal.
 “mulai lagi  . .  kumat rese nya ! berangkat sana sendirian !” Andro kumat sewotnya. Baginya kata-kata Zweta terdengar seperti tabuhan genderang perang.
“Adek, kamu jangan terus-terusan ganggu Kakakmu. Lagi sensitif,“ intonasi suara Mama seakan turut menggoda.
“Biar saja, Ma ! Rasain,” Zweta cekikikan di atas angin sementara Andro semakin bersungut sungut. Ia berhasil membalas
“sudah-sudah, sekarang waktunya makan !, stop berantemnya ! peace treaty dulu. Dasar kalian ini,” sela Mama Zweta, dihelanya nafas panjang sambil menggeleng perlahan.
Mendengar kata-kata Mamanya, Andro menancapkan sendok hingga terlihat tegak di atas piring yang telah terisi nasi. Diperlihatkannya wajah bersungut-sungut, sementara Zweta terus tersenyum mengekalkan kemenangan.
“sudah Sayang, saatnya makan, berdoa dulu “
Zweta dan Andro kali ini lebih serius mendengar kalimat Mamanya.
”siapa giliran mimpin doa ?,” perempuan paruh baya lembut bertanya
”Mama dong, kemarin kan aku,” Zweta protes.
”ah iya, Mama lupa .. ”
“Bismillahhirrahmanirrahim. Tuhan yang Maha Baik, terima kasih atas karunia yang Kau berikan kepada kami di masa lalu, sekarang, dan masa depan. Jadikan kami teguh menghadapi semuanya. dan berikan kami kemudahan untuk memahami petunjukMu dalam menjalani kehidupan yang akan datang. Amin”
“Amin”, Zweta dan Andro serentak mengamini.                                   
Setelah doa selesai dipanjatkan, Andro langsung menyerbu masakan yang sudah terhidang di depannya. Ia  lahap sekali  menyantap sayur bening dan sambel tempe kesukaannya. Zweta juga demikian,
***
Andro mulai menyalakan motor tua dan mencium tangan sang Mama, demikian juga dengan Zweta. Dan perempuan paruh baya itu kemudian mencium kening putrinya dengan penuh cinta.
”Hati-hati, An”, ”Hati-hati, Sayang,” Perempuan itu menatap dalam-dalam wajah kedua buah hatinya.
”beres, Ma” Andro menyahut cengingisan. Sementara Zweta melempar pandangan sambil tersenyum kecil.
Sementara dari belakang, terlihat seorang lelaki tua berbadan tipis –bersarung dan berpeci haji melangkahkan kaki. Suara terompahnya menetak aspal, dan goyangan tubuhnya yang khas serupa batang padi yang meliuk tertiup angin.
”Zweta,” lelaki tipis itu berteriak dengan suara yang serak, senyumnya seketika menghiasi gurat keriput wajahnya
”Kakek ..”, ”Bapak”, Zweta dan Mamanya menoleh ke belakang hampir bersamaan.
”Kek, Zweta berangkat ke kampus hari ini,” Zweta tersenyum lembut dan mencium tangan lelaki tua itu. Sementara Mama dan Andro tersenyum hormat.
”Hati-hati di jalan,”  lelaki tua itu berkata lembut kepada Zweta. Dirogohnya saku baju, dan tangannya kini menyodorkan selembar uang limapuluh ribuan.
”nggak usah, Kek,” Zweta menolak lembut uluran tangan lelaki itu. Ia malah merangkul lelaki tua dan memeluknya.
”ya sudah. Hati-hati di jalan. Jangan lupa berdoa,” lelaki tipis itu akhirnya menyerah.
endro! jangan ngebut !” lelaki tua itu memperingatkan Andro. Mendengar itu Andro hanya cengar-cengir sambil mengucap salam. 

Motor Andro segera melaju membelah hawa dingin dan kabut pagi. Asap yang terkepul dari knalpot berhamburan mencari ruang, roda-roda melaju kikuk di antara mobil pengangkut sayuran yang berjalan merambat karena overload.
Sementara itu tiga ekor kupu-kupu bersayap lembayung mulai terbangun dan berkepak pelan. Dan di dahan pohon sirsat yang terlindung,  binatang-binatang itu menyisakan rasa terima kasih atas naungan yang nyaman sepanjang malam. Lima ekor kelelawar yang sedari tadi berkelebatan sudah mengantung di dahan pohon jambu yang banyak tumbuh di halaman rumah. Dan bukit-bukit di sekitar Gunung Panderman mulai terbelai matahari pagi, pepohonan cemara dan pinus mulai nampak terang. Sementara cahaya yang semula biru tua perlahan-lahan mulai memucat. Dengan diiringi cahaya matahari pagi, perempuan-perempuan desa mulai  turun ke kebun-kebun bunga.

Motor Andro terus melaju dengan kecepatan tinggi. Asap putih yang terkepul dari knalpot serupa cerobong pabrik yang tak henti-hentinya berproduksi. Motor yang berumur hampir sama dengan Andro itu masih terlihat tangguh di jalanan. Bodi tipisnya meliuk lincah di sela-sela kendaraan laksana kuda para  ksatria yang berlari lincah di medan pertempuran.
Andro mengendarai motor tuanya sambil bernyanyi, ia menggoyangkan kepala mengikuti irama lagu Deep Purple yang keluar dari headset ponselnya. Suaranya yang kacau seakan beradu dengan raungan motor tua yang lebih cerewet dari ratusan bebek kurang makan. Tapi ia terus cekatan meliukkan motor sambil terus bernyanyi, seolah saja perasaannya mengatakan jikalau dirinya telah menjadi lelaki paling keren di muka bumi.
”Kak !! pelan-pelan, dong !” Zweta berteriak geram. Dipukulnya helm Andro berkali-kali ketika motor Andro mendadak mengerem ataupun mendadak tancap gas, tingkah Andro yang menyetir motor layaknya koboi jalanan membuat kepala Zweta pening berdenyut-denyut. Andro yang tak bisa membalas kelakuan Adiknya hanya bisa mengumpat pasrah.
Setelah empat puluh menit membelah jalan raya, motor Andro dihentikan lampu merah di pertigaan jalan Gajahmada. Kendaraan makin menumpuk, namun Andro terus bernyanyi menggoyangkan kepala.

”there once was a woman, a strange kind of woman .. her name was a nancy ..”, Andro bernyanyi kencang. Suaranya melengking persis monyet berebut pisang. Ia tak sadar.
”Kak !!” Zweta berbisik di samping telinga Andro lantaran malu. Namun lelaki gondrong itu masih tak sadar.
”KAK !!”,
Zweta jengkel dan memukul helm Kakaknya. Namun Andro semakin tak peduli, ia terus menggoyangkan kepala.
Seketika tangan Zweta bergerak melepas headsetyang menempel di telinga Andro.  
Zzzzzzzzzztttttttttttt  !!!
”aaah aahh sshhsshh hhha ...”,
mulut Andro masih terbuka saat berusaha mengikuti lirik lagu Deep purple. Nyanyiannya seketika berhenti, ia memasuki dunia nyata saat menyaksikan suara merdunya tiba-tiba lenyap menguap. Seluruh tatapan pengendara motor mengarah menghakiminya, sementara Zweta berusaha menahan tawa.
”dasar gila !! rasain !!”, Zweta tak kuasa menahan geli saat melihat Kakaknya celingukan kanan-kiri persis pedagang kakilima disidak Tramtib.
”ressssek !!”, Andro geram bersungut-sungut. Wajahnya seketika kaku tak lumer persis permen karet yang dikunyah terus-terusan selama tujuh hari tujuh malam.
”yeee .. sapa suruh teriak-teriak di jalan .. suara mirip gentong pecah masih saja nggak ngrasa ..  ”, Zweta berusaha menahan tawa

Karena rasa malu tak tertahankan, Andro seketika tancap gas saat lampu hijau menyala. Raungan motornya teramat keras hingga terdengar mirip ratusan bebek cerewet yang mengamuk lantaran cacingan tujuh turunan.
Kini motor Andro melaju lurus membelah Jalan Gajahmada. Dan tak lama lagi mereka akan sampai di gerbang kampus Universitas Keprabuan yang terletak di ujung jalan Pahlawan sebelah barat. Dan sesampai di sebuah perempatan, motor itu membelok ke kiri dan mulai memasuki ruas Jalan Pahlawan.
”Kak, sudah sampai ?” Zweta bertanya berteriak.
”Yoai choooyyyyy   ... ”,
Dan mata Zweta berbinar menyaksikan taman boulevard yang ditutupi rumput dan bunga-bunga. Pot-pot bunga berukuran besar berada di tengah boulevard, sementara pepohonan di tepi trotoar teduh menaung. Jalan Pahlawan sangat terkenal dan menjadi ikon kota karena mempunyai jalur kendaraan yang dipisahkan oleh boulevard-boulvard besar berisikan taman-taman kota. Boulevard itu berbentuk lonjong memanjang yang menyediakan U-turnuntuk memutar kendaraan yang berganti arah.

Tersebarlah puluhan institusi pendidikan di sepanjang jalan Pahlawan. Kampus Universitas Keprabuan, Universitas Keguruan, Universitas Terbuka, sejumlah Sekolah Dasar, Inkubator Bisnis, SMP, SMU, bahkan Taman Kanak-Kanak. Dan di seberang jalan Pahlawan terdapat kampus Institut Teknologi  Rekayasa. Kawasan yang sejuk dan nyaman membuat Jalan Pahlawan menjadi tempat yang kondusif untuk menuntut ilmu. Terlebih dengan kehadiran hutan kota yang rindang, teduh, dan menjadi paru-paru kota.

Motor Andro kini memasuki kampus Keprabuan. Motor renta itu melaju lurus di jalan utama kampus yang lebar dan dibatasi pedestrian di kanan kiri. Di sebuah areal yang cukup luas, hutan kampus menyajikan pemandangan yang teduh. Mata Zweta sesekali tersita saat menyaksikan kelepak burung gereja –passer montanus yang melesat dari pohon ke pohon.
Tak lama kemudian motor Andro melintas di bundaran air-mancur yang dihiasi ornamen tugu di tengahnya. Tugu itu berwarna hitam dan  kemudian melancip ke atas setinggi tujuh meter. Di bagian puncak tugu terdapat mahkota yang berbentuk buku terbuka, mahkota itu menjadi simbol keangkuhan ilmu yang akan dipelajari para mahasiswa. Dan dari bundaran ini, gedung tusuk sate rektorat berdiri megah menggambarkan kegagahan arsitekturnya.  Dari bundaran air-mancur, Andro kemudian membelokkan motor menuju Fakultas Hukum dan Tata Negara –tempat dirinya menghabiskan empat semester terakhir menempuh Jurusan Hukum.  
***
Di hari yang sama,
Bangku Pedestrian Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, 08.03
Pagi masih menyimpan sepi. Hanya burung-burung yang bersuara dan menari di atas dahan. Pada sebuah bangku permanen di pinggir taman –seorang perempuan berambut mayang, berkemeja panjang warna hijau, dan bercelana casual –sedang duduk dan terbatuk. Ia kibaskan telapak tangan ke kiri dan ke kanan sambil menampakkan kekesalan yang sangat. Ia merasa terganggu dengan asap rokok yang sedari tadi mengepul meracuni pernafasannya. Ya, ia geram dengan kelakuan tiga lelaki yang tiba-tiba duduk tiga meter di sampingnya –dan seenaknya menghembuskan asap nikotin tanpa merasa bersalah. Telah lima menit kejadian berlangsung, namun ketiga lelaki itu terus saja berdiskusi sambil mengepulkan asap rokok tanpa henti.
Sementara tak nampak manusia yang lalu lalang, dan memang masa libur akhir semester bagi mahasiswa lama masih berlangsung.
Kesabaran perempuan itu semakin tipis. Ia seketika bangkit dan merampas batang rokok yang masih terjepit di bibir lelaki ceking.
Pakkk !
Perempuan itu membantingnya kuat –kuat ke tanah.
Sontak lelaki bertubuh ceking kaget tak percaya, raut mukanya mendadak berubah, apalagi saat menyaksikan perempuan yang dengan tanpa ekspresi menginjak batang rokok yang masih berasap menggunakan sepatunya. Sementara kedua kawan lelaki ceking yang juga urun andil mengasapi perempuan itu menatap heran. Mereka kini menjumpai cewek yang sedikit kurang ajar di mata mereka. Namun mereka nampak kaku dan kikuk menyaksikan kejadian yang baru saja berlangsung.  

”gimana ? jadi kita beraksi ?” salah seorang kawan lelaki ceking pura-pura tak menanggapi. Ia berkata seakan berbisik dan berusaha mengalihkan kejengkelan si Ceking.  
”harus .. kita harus dapat,” lelaki ceking beralih menatap wajah kawannya. Dan ia mengeluarkan lagi sebatang rokok dari saku baju.  Wajahnya sedikit menegang.
Sementara sesekali lirikan mata perempuan berambut mayang jatuh di antara mereka. Ia menunggu sesuatu. Dan ketika kepulan asap nikotin lagi-lagi mengganggunya, perempuan itu lagi-lagi bangkit dan merampas batang rokok yang masih menyala di bibir mereka.
”hei. maksudnya apa  !! ”,
Lelaki ceking berteriak terluka. Tetapi teriakannya hanya berbalas tatapan tajam saat perempuan itu menginjak kuat-kuat batang rokoknya.
Namun semua yang terjadi seolah dinaungi kebebalan hati. Lelaki ceking seolah menantang dan mengambil lagi sebatang rokok. Ia nyalakan korek api yang dengan cepat merantak membakari serat tembakau. Dihisapnya kuat-kuat batang rokok hingga bergemeretak dan kemudian menghembuskannya hingga asap yang keluar dari bibirnya serupa asap putih dari terkepul dari cerobong pabrik. Tak dipedulikan kejadian yang baru saja berlangsung, ia merasa tertantang dengan kelakuan perempuan itu.
”sudahlah ! fokus saja !” kawan lelaki ceking itu berusaha menenangkan.
”hari ini kita harus dapat satu,” kawannya lagi-lagi menyahuti
Sementara perempuan berambut mayang masih terdiam dan menatap lelaki ceking sambil berkedip pelan. Dua lelaki yang rokoknya terbuang, kini mengikuti jejak lelaki ceking menyalakan lagi batang rokoknya.  
”dasar kurang ajar ..”
Perempuan berambut mayang mulai habis kesabaran, seketika ia bangkit  mendekati ketiga lelaki itu. Dengan sigap dirampasnya rokok dari bibir ketiga lelaki itu dan membantingnya kuat-kuat.
”Sinting ! ”,
lelaki ceking mulai memberontak dan marah. Ia berdiri mendekati perempuan itu namun seketika langkahnya terhenti lantaran ego kelelakiannya berteriak keras, bahwa ia tak mungkin menyakiti seorang perempuan.
”kalian yang sopanlah sedikit. hormati paru-paru orang lain, jangan menyebar penyakit seenaknya. Sedari tadi dibiarkan malah nggak tau adat,” perempuan itu berkata dengan intonasi yang tegas dan kuat. Sementara keadaan di sekitar taman masih terlihat sepi.
”makanya kalau ada asap jangan dihirup, Neng” kawan si ceking  berkomentar retoris sambil tertawa kecil.
”kalo alergi rokok, tempatnya di hutan. Lagian ini kan taman,” kawan satunya ikutan nimbrung berkomentar.
”baiklah. Kalau begitu jangan merokok disini. Aku butuh udara bersih,” perempuan itu kembali berbicara dengan intonasi tenang.

”oke deh, maaf ... ” lelaki itu akhirnya berkata dengan nada meremehkan, namun si ceking masih memperlihatkan wajah tak terima.
”cabut !!! kita cari target !!”  kawan lelaki ceking berbisik sambil menepuk pundak  si ceking.
Namun si ceking masih tetap berdiri dan menyimpan kegeraman atas kejadian yang baru saja dialami. Bibirnya masih terasa panas akibat terkena cakaran perempuan itu. Ia sadar sebenarnya posisinya salah, namun kesuntukan mencari target motor curian membuat daya nalarnya seolah buntu.  
”tunggu”, ia berkata sangat pelan, kemudian ia  keluarkan lagi sebatang rokok dari bungkusnya yang sedari tadi belum sempat dimasukkan ke dalam saku. Diselipkannya batang rokok kretek ke bibirnya yang kecoklatan.
”kamu mau merokok lagi ?”, perempuan berambut mayang perlahan bangkit dan berkata tegas.
Rupanya lelaki itu sangat penasaran, gerangan apa yang akan dilakukan perempuan di depannya. Ia nyalakan lagi batang rokok dengan tatapan menantang sambil berjalan pelan menghampiri perempuan kurang ajar itu. Lelaki ceking sempat sekali menghembuskan asap rokok lewat mulutnya. Dan,
 Ssplakkkkkkkk !!!
”pheehhhh”,                                     
Lelaki ceking terhuyung lantaran sepatu bersama tungkai kaki mendarat di bibirnya.
***
Gedung Auditorium Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, 08.24
Gedung Auditorium dipenuhi MABA yang melakukan proses registrasi. Beberapa dari mereka menunggu dan bergerombol di depan pintu –sementara yang lain mulai memasuki aula.  Deretan kursi ditata berjajar, disediakan bagi MABA yang menunggu antrian registrasi sesuai jurusan masing-masing.

Dan di deretan kursi bagi mahasiswa Jurusan Sipil, telah duduk dua perempuan cantik berwajah mirip. Salah satu dari mereka memegang selembar map berisi dokumen registrasi, sementara yang satunya sedang sibuk menarikan jari– ia mengetik pesan singkat menggunakan ponselnya. Andro dan kemudian Zweta yang memasuki Aula langsung duduk berdampingan di samping kedua perempuan itu. Zweta yang berada di samping kursi kosong langsung membuka tas punggung menyiapkan seluruh dokumen, sementara Andro memandang sekilas  perempuan di sampingnya yang masih terus bersibuk diri menarikan jari-jemari di atas ponselnya.    

Tiba-tiba dari arah pintu Aula, perempuan berambut mayang berjalan mendekat dengan langkah yang cepat. Ia datang membawa tas punggung yang nampak penuh –persis seperti tas punggung milik Zweta. Baju perempuan itu acak-acakan, namun yang lebih mengherankan adalah bilur merah yang menghiasi leher putihnya. Perempuan itu seketika menghempaskan tubuh di samping Zweta. Wajahnya tegang, ia menarik nafas dalam-dalam.
Sementara dari pintu Aula seorang satpam berjalan cepat mendekati perempuan itu. Langkah kakinya tegas menapak, wajahnya diselimuti aura kecemasan.  
”kamu tak apa-apa ?” satpam itu menampakkan mimik muka menegang. Pandang matanya menyirat kekhawatiran.
”saya tak apa-apa Pak, terima kasih,” Perempuan itu menjawab dengan suara bergetar. Masih tergambar sisa emosi dari getar suaranya.
”baiklah. Kalau ada apa-apa lagi, kamu bisa menghubungi saya,” Satpam itu berkata tegas dan kemudian pergi meninggalkan bunyi sepatu bot yang menetap-netap berat.
”perempuan ini pasti seangkatan denganku,” Zweta menduga dalam hati. Andro juga berpikir bahwa perempuan itu pasti baru saja mengalami kejadian yang berat.

Perempuan itu kemudian memandang Zweta dengan simpul senyum yang masih berselimut ketegangan.  
”Zweta”, dengan cepat Zweta mengulurkan tangan kanannya
”Audrey”, perempuan itu membalas uluran tangan Zweta dengan jabatan kuat. Ada perasaan lega tergurat dari wajahnya. Sementara Andro masih saja bertanya-tanya, gerangan apa yang baru terjadi dengan perempuan berambut mayang.
”maba sipil ?”, perempuan berambut mayang yang bernama Audrey akhirnya bertanya ke Zweta. ”kamu juga?”, pandangan Audrey beralih ke Andro yang sedari tadi memperhatikannya.
”ya, aku maba sipil. Tapi kalau dia kakakku”,   Zweta menjawab sambil menunjuk Andro
’Audrey”, perempuan berambut mayang itu mengulurkan tangan
”Andromeda Radikalismo !”, Andro menjabat tangan Audrey. Muncul penasaran dalam diri Andro tentang perempuan yang kini menjadi kawan baru adiknya.
”kamu kelihatan gugup sekali ?”, Zweta berusaha meredakan ketegangan Audrey.
bad day... Tapi lumayanlah, ternyata kakiku masih cukup lincah buat mendarat di mulut orang”, Audrey menjawab sekenanya.
Andro dan Zweta terkejut mendengar jawaban Audrey. Walau di hatinya masih menyimpan penasaran, setidaknya bilur merah di leher Audrey telah menjelaskan peristiwa yang baru saja terjadi.
Sementara gedung berornamen mewah makin dipenuhi maba FTSP. Beberapa dari mereka  mengagumi corak arsitektural auditorium almamater mereka.
Sedari tadi ternyata dua perempuan di samping Andro menampakkan keingintahuan.  Keduanya berbisik-bisik ketika Audrey dan Zweta berbincang-bincang.
”maba sipil juga ?”,  Audrey bertanya ke Zweta sambil pandangannya mengarah dua perempuan berwajah mirip.
”sepertinya begitu ..  aku belum kenal. Aku juga baru tiba disini”,  
”oh ..”
***
Andromeda Radikalismo”, Andro mengulurkan tangannya. Perempuan yang duduk di sampingnya membalas dengan jabatan tangan yang lembut. Ia baru saja selesai mengirimkan pesan singkat menggunakan ponselnya.
”Kamu Maba sipil ?”,  Perempuan itu tak menyebut nama sama sekali.
”ah bercanda ! memang masih pantes jadi maba ?”, Andro nyengir sekenanya.
”pantes dong. Kan di seluruh universitas cuman ada dua tipe mahasiswa. Namun keduanya sama-sama punya sebutan MABA”
”baru tahu  . . ”, Andro nyengir dan menarik kembali tangannya. Ia merasa terpecundangi
”lah iya. Kalo seperti dia, Maba kependekan dari mahasiswa baru”, perempuan itu menunjuk mahasiswa yang sedang melakukan proses verifikasi data.
”kalo MABA satunya ?”,
”Mahasiswa Basi”, perempuan itu menjawab cepat.
”ah ada ada saja !  ... tapi ada satu lagi selain dua itu ”, Andro cengar-cengir
”apaan ?”
”mahasiswa Bau !”, Andro menjawab penuh semangat.
”kalau itu sih kamu”,
Jruott !!! Andro serasa kejatuhan tahi burung gagak dari langit. Perkataan perempuan itu mampu membikin wajahnya seketika membeku setelah cengar-cengir bahagia. Ia nampak salah tingkah. Persis seperti pelawak jayus ditinggal audience. Dalam hatinya ia merasa menyesal tidak mendengarkan nasehat Mamanya agar keramas secara teratur.
Agaknya perempuan itu menyadari kalau secara tak sengaja telah membuat Andro merasa tak nyaman. Begitu ia mengucapkan ”itu sih kamu !”, tubuh Andro seketika ke belakang dan tak lagi lumer. Untuk itu ia ulurkan tangannya di depan Andro, namun rupanya sang jagoan gondrong masih terlihat shock. Memory sekaligus processorotaknya masih berusaha loading setelah otomatisrestart. Kalimat perempuan tadi rupa-rupanya membuat pengolah numerik di otak Andro tiba-tiba mengalami ”divide by zero”.

Anindita Granada Putri. Mahasiswi Kedokteran semester empat, juga tercatat sebagai Mahasiswa Basi Universitas Keprabuan”, Perempuan itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis.
”Aku anak Hukum semester empat. Mahasiswa Basi juga, karena basi itulah maka titelnya merangkap menjadi Mahasiswa Bau”, wajah Andro pelan-pelan mulai lumer.
”ada-ada saja”, Granada tersenyum kecil, manis sekali
”aku manggil kamu apa ?, Anin .. Dita . . atau  .. Granad  .. atau Molotov .. C4 .. atau  .. lagian panjang banget namanya”, Andro berusaha membalas.
”Kok ada Molotov  dan C4 segala ?”, perempuan itu protes.
”kan bahan peledak”
”eh, denger ! namaku Granada bukannya Granat, molotov, atau C4. itu telinga apa lubang jangkrik sih ! ”, Perempuan itu sewot.
”panggilannya ?”, Andro pura-pura cuek
”Granada !! Harus lengkap”, suara perempuan itu terdengar ketus.
Ferischa Rania Putri ” terdengar petugas di belakang meja verifikasi berteriak memanggil mahasiswa yang mendapat giliran daftar ulang.
”Kak, aku maju dulu ! nitip tas”
”oke”, Granada menjawab sambil menerima tas dari adiknya.
***

Posting Komentar

 
Top