0

Semester ganjil merupakan semester paling berarti bagi Kakatua jantan yang masih tak laku. Mereka mengumpulkan remah-remah kepercayaan diri setelah mayoritas mahasiswi “angkatan lama” merasa muak dengan tampang mereka sehari-hari. Ya. Mahasiswa tua mulai mengalihkan target dengan harapan mampu merubah status “jomblo all the years”-nya. Mereka mulai mengincar mahasiswi baru.

Tetapi terkadang harapan memang tinggal sebuah harapan. Praktek di lapangan ternyata jauh menyimpang dari tips-tips “1001 rahasia kiat khusus memikat perempuan” yang diunduh dari situs-situs internet. Tips-tips yang disarankan serasa tak mempan, semua metode yang diikuti gagal membuahkan hasil. Namun demikianlah sang lelaki ketika terdesak di medan cinta. Segala tipu daya dikerahkan, wajah-wajah asli dipoles dengan harapan “mahasiswi baru” merasa kagum. Dari kekaguman muncul simpati, dan dari rasa simpati berharap benih cinta sang “dewi asmara” tersemai dengan sendirinya. Mereka yang sebelumnya nampak kumal, lusuh, jarang mandi, memakai jins belel ke kampus, tak akrab wangi-wangian, mulai bersolek layaknya pria metroseksual. Mandi teratur, keramas teratur, memakai sedikit pemutih, semua metode perawatan diri seakan bahu membahu membuat profil manusia baru. Dan memang di atas semuanya terkadang duit berbicara. Mereka yang tak mampu beli minyak wangi semprot, patungan pun jadi.  Masih ogah beli minyak wangi secara patungan, mengusap kemeja dengan enceran pewangi pakaian pun tak masalah. Akan tetapi sekali lagi keluguan menemui korbannya. Seorang Kakatua jantan terpaksa menemui dokter spesialis kulit lantaran bereksperimen menghilangkan bau badan dengan model menabur kapur barus di ketiak. Dan tahulah akibatnya, belum genap sehari menabur kapur bulu-bulu keteknya seketika berjatuhan seperti pohon jati meranggas di musim kemarau. Ketiaknya panas, dan jika berjalanpun lengannya sedikit membuka mirip bebek menjelang berenang. 

Salah satu cara paling tokcer dan terbukti ampuh adalah mendekati mangsa lewat kelemahan sang target. Mereka yang kelimpungan beradaptasi dengan tugas-tugas akademik merupakan mangsa paling empuk untuk diterkam. Walhasil Kakatua “sisa tanding” mulai mengatur strategi penyerangan sesuai SOP (standar operasi prosedur) masing-masing, dengan harapan sang target menaruh rasa simpati lantaran dibantu mengerjakan segudang tugas. Namun malang tak bisa disangkal, tak semua mahasiswi angkatan baru adalah perempuan lugu. Beberapa dari mahasiswi malah menunggu momen seperti ini untuk membalas kelakuan senior mereka ketika Ospek. Mereka telah bertekad membuat senior lelakinya terkangkang-kangkang mengemis cinta. 

Kekerabatan di kalangan membuat Zweta, Rania, Asti, dan yang lain merasa nyaman. Mereka seakan-akan menemukan kawan yang solider di dunia akademis. Di semester ini ada beberapa mata kuliah yang lumayan menyita waktu. Setelah Statika[MP1] , ada dua lagi mata kuliah yaitu Mekanika Bahan dan Geologi Teknik. Ketiga mata kuliah itu membawa tugas yang mengharuskan mahasiswa melakukan asistensi kepada asisten dosen. Konsekuensi dari tidak terselesaikannya tugas, mereka tak boleh mengikuti ujian di akhir semester, dengan demikian dapat dipastikan nilai E secara kejam akan menghiasi lembar laporan Indeks Prestasi. 

Dengan tugas yang teramat menumpuk, perpustakaan segera menjadi tempat nongkrong bagi mahasiswa yang haus ilmu. Perpustakaan di samping gedung Rektorat adalah perpustakaan pusat yang ramai dikunjungi setiap waktu. Jumlah bukunya ratusan ribu dan menampung semua jurusan yang ada di Universitas. Sistem online yang terkomputerisasi dengan baik membantu para pustakawan mendistribusikan buku kepada mahasiswa.

Rania, Adi, dan Astimakin intens berada di perpustakaan, mencari data-data analisa mengenai pengerjaan struktur berdasar analisis matematik untuk mendukung tugas Statika-nya. Mereka kerap mendiskusikan materi kuliah dengan mengambil tempat di sebelah rak buku berkode 421 –sesuai aturan penataan dewey decimal system

Rania selalu larut berdiskusi dengan kedua kawannya. Mendiskusikan teori-teori yang dikemukakan oleh dosen beserta aplikasinya. Ketiga mahasiswa itu semakin faham dan mempunyai gambaran mengenai aplikasi teori saat diterapkan di lapangan.

Dan kini seperti biasanya, mereka sedang duduk dan membaca di perpustakaan pusat.

“Statika .. konsep momen ... pusing aku,“ Rania menggaruk kepalanya dan menjentikkan bolpoin berulang-ulang. Buku catatannya hanya berisi coretan yang tak pasti. Mukanya cemberut kebingungan. Buku dasar-dasar analisa struktur ia tutup dan diletakkan begitu saja di atas meja. 

“kenapa Ran ?” Astibertanya lembut.
“konsep momen, aku bingung, As.” Rania memandang Asti. Ia menopang dagunya menggunakan satu tangan.
Adi yang berhadapan dengan Astinampak tertarik, ia melirik memperhatikan dialog mereka.
“yang mana sih?” Astibertanya lebih lanjut. Ia pandangi Rania dengan  lembut.
“konsep momen. Coba kamu terangkan mengenai itu, As.” Rania seakan meminta. Astikemudian meraih buku yang tergeletak di atas meja. Ia buka sebentar halaman dan gambar diagram yang sebelumnya dibaca Rania. Sejenak kemudian ia tersenyum sambil memandang Rania yang mengerutkan alis.

“sejauh yang kupahami sih begini, Ran. Pengertian momen itu keengganan sebuah benda untuk berputar,” Astimencoba menjelaskan
“bukannya gayadikalikan jarak ?” Rania sedikit bingung
“itu rumusnya, Ran.” Adi ikut nimbrung.  
“coba kamu jelaskan, Di.” Astimeminta Adi menjelaskan pendapatnya.
“benar apa yang dikatakan Astikalau pengertian momen adalah keengganan sebuah benda untuk berputar” tangan Adi bergerak memberi coretan di atas kertas.
“sebuah elemen atau struktur ketika dibebani gaya pastilah berputar terhadap titik acuan. Namun apabila sebuah elemen yang dibebani tidak mengalami perputaran, maka artinya ada perlawanan dari struktur tersebut. Nah, besarnya perlawanan tersebut sama dengan gayadikalikan jarak tegak lurus terhadap titik putar. Itu yang dinamakan momen”,  Adi menjelaskan konsep momen dengan memberikan simulasi menggunakan tangannya.

“penjelasan Adi sangat tepat, Ran.” Asti meneguhkan.

Rania mengangguk pelan menyatakan pemahamannya. Dengan bantuan tangan Adi sebagai  alat simulasi, ia mulai memahami konsep momen yang menjadi konsep dasar mata kuliah Statika, sebuah mata kuliah analisis struktur paling dasar di Jurusan Teknik Sipil.`

“Statika adalah materi paling dasar yang harus kita pahami, Ran. Pemodelan portal, gedung, jembatan, pelengkung, rangka batang, beserta seluruh elemen pendukungnya harus dikuasasi sepenuhnya. Dan itu wajib hukumnya”, Asti melanjutkan. Ia terlihat menguasai seluruh fungsi dan aplikasi ilmu yang mereka pelajari.

“ ?” Rania tersenyum kagum. Biasanya ketika Asti mendengar pujian itu dia hanya menjawab “Alhamdulillah”, sementara Adi tersenyum ringan tak menanggapi.


Zweta seringkali menyusul ke Perpustakaan dan ikut berdiskusi bersama Rania, Adi, dan Asti. Namun ketika telah selesai berdiskusi, biasanya Zweta pergi mencari diktat ilmu sosial dan organisasi, atau juga buku sastra puisi kegemarannya. Melihat kebiasaan Zweta, Adi dan Astihanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Dirasanya Zweta adalah mahasiswi salah jurusan. Rania yang menjadi kawan terdekat Zweta sepertinya memahami kebiasaan kawannya itu. Dan sejak bertemu pertama kali di Gedung Auditorium dulu, dari gaya bicaranya yang lugas, Zweta memiliki kecenderungan ke arah sana. Apalagi sejak Zweta mulai dekat dengan Anggun, kesenangannya seakan makin menjadi-jadi. Zweta seperti bermetamorfosa menjadi mahasiswi yang condong dengan kegiatan kemahasiswaan. Ia terlihat seperti perempuan kuat yang bergelora. Sikap Zweta yang demikian hanya bisa berubah ketika bertemu dengan Andro, kakaknya. Entah kenapa ketika Zweta berada di dekat Andro, seketika dirinya berubah menjadi perempuan yang usilnya setengah mati. Gaya bicaranya menjadi kekanak-kanakan dan merajuk. Rania memiliki kepekaan rasa yang tinggi. Ia terkadang amat penasaran dengan kondisi psikologis Zweta.

Lain Zweta, lain pula Audrey. Perempuan berambut mayang itu malah memiliki kebiasaan tak wajar. Setiap ada jeda jam kuliah, bukannya pergi ke perpustakaan, Audrey malah lebih senang nongkrong di cafe. Karena itulah Audrey banyak mengenal kawan baru lintas angkatan dan lintas jurusan. Rambut mayangnya menjadi hal yang paling dirindukan seandainya satu hari saja ia tak kelihatan batang hidungnya. Kalau Zweta dan Rania menanyakan tugas kuliah Audrey, ia pasti dengan cuek menjawab, “tenang ladies, belanda masih jauh !”. Atau kalau nggak, dia pasti memiliki segudang alasan untuk menunda pengerjaan tugas. Rania dan Zweta merasa kesulitan menasehati perempuan berkuping tebal itu.

Di samping nongkrong di cafe, Audrey makin menjadi-jadi dengan hobby yang ia tekuni sejak kelas 4 bangku Sekolah Dasar, yaitu beladiri Tae-Kwon-Do. Ia bertekad melanjutkan lagi jenjang sabuk beladiri setelah tertunda karena persiapan masuk kuliah. Dengan demikian, seminggu dua kali Audrey pasti nongkrong di UKM Tae-Kwon-Do untuk melatih tendangannya. Itupun biasanya dilakukan di hari Minggu pagi dan rabu sore.


***

“Zweta !”, ada suara perempuan memanggil dari markas Himpunan Mahasiswa. Zweta pun menoleh cepat. Perempuan itu kini berjalan mendekati Zweta dengan langkah yang cepat.
“ya Kak “,
“aku ada perlu dengan kamu. Sebentar saja”, Anggun kini telah berdiri di depan Zweta.   
“Ya Kak, ada yang bisa dibantu ?”
“Kebetulan aku mengisi posisi divisi Internal Himpunan Mahasiswa, divisi ini membawahi mading dan publikasi. nanti sumbanglah tulisan. Dari pemikiran kamu saat berdiskusi denganku dulu, aku tahu pasti ada sesuatu yang liar di tulisan kamu”
“sesuatu yang liar ? Maksudnya ?”, Zweta sedikit bingung
“nanti kamu bisa merasakan sendiri. Aku sendiri sebenarnya tak terlalu bisa menulis.“, Anggun tersenyum sambil menyentuh lengan Zweta. Wajahnya seperti menyiratkan pengharapan agar keinginannya dikabulkan

Berawal dari permintaan Anggun itulah Zweta terlibat dalam kegiatan tulis menulis. ia mulai menulis opini dan terkadang puisi. Tulisannya yang sistematis terasa enak dibaca. Bahasanya yang lugas dan mengena menyiratkan keluguan, kesederhanaan dan apa adanya. Dan dalam hal tulisan, Zweta mempunyai kawan bertukar pikiran yaitu Anggun. Tulisan yang ia berikan terkadang dikembalikan Anggun.  

“bahasanya bagus, cuman substansinya kurang mengena, Ta. Harus diperbaiki”, begitulah Anggun biasanya memberikan koreksi.
“ada rekomendasi buku bagus untuk bahan pengayaan  ?”
“Oh tentu. Aku ada buku buat kamu. Rajin membaca adalah kunci !”, Anggun seringkali memberikan nasehatnya.

Zweta semakin mengenal sesuatu yang selama ini terpendam dalam dirinya. Bagai rekahan energi yang terlepaskan, seketika terjadi lompatan emosi yang menyebabkan kegandrungan atas aktivitasnya. Zweta merasakan euforia yang meledak-ledak. Semangat dan dorongan dari Anggun untuk menulis sedikit banyak mengubah karakternya menjadi makin matang. Zweta mulai membaca banyak buku yang dimiliki Anggun, kebanyakan buku yang ia baca bertema tentang kemanusiaan dan idealisme. “benar-benar buku yang aneh, namun aku seperti terjebak dalam pengaruh candu”, dirinya terkadang heran. Buku-buku sejarah peradaban dan ideologi tak luput ia baca satu persatu. Hal ini secara teratur telah menjadi selingan Zweta dalam kehidupan kuliahnya. Walau terkadang Zweta larut membaca buku hingga lalai mempelajari modul kuliah, namun Anggun yang memang jago di bidang akademik tak jarang manguji kemampuan Zweta dalam bidang akademik. Dan ketika Zweta dirasanya lalai dan jauh tertinggal, dinasehatinya Zweta untuk tetap seimbang menjalani kehidupan di bangku kuliah.

“Ta, kuliah menjadi bekal hidup kita agar lebih bermartabat”,
“maksudnya Kak ?”
“maksudku begini, aku tidak mengatakan kalau dengan kuliah kita bermetamorfosa menjadi manusia dengan kasta tertentu. Namun kamu pun tahu, Ta. –Setiap orang mempunyai kewajiban dan hak yang berbeda-beda sesuai kapasitasnya. Kamu dan aku sekarang menuntut ilmu disini, dan itu sudah menjadi karunia Tuhan buat kita, jadi jangan pernah kamu sia-siakan. Cepat luluslah untuk membuat bangga orang tuamu, namun jangan cuma belajar Ilmu mayor disini yaitu keteknikan, belajarlah pula idealisme. Kedua ilmu itu harus lurus seimbang”, Anggun membuat garis lurus menggunakan telunjuknya.

“Kamu dan aku, sebagai manusia yang kalau dihitung secara matematis tahu lebih daripada orang lain, harusnya mempunyai kewajiban moral lebih besar kepada lingkungan sekitar. Belajarlah kedua ilmu itu disini –secara seimbang. Aku yakin ibu kita pasti membutuhkan”

“maksudnya, Kak ?”, Zweta awalnya masih susah mengikuti gaya bertutur Anggun.
“ya. Ibu pertiwi maksudku. Tanah air”, Anggun menjawab dengan bahasa yang lugas dan halus.
“ibu pertiwi ... motherland”, Zweta mengangguk angguk.
“kurang tepat kalau mengistilahkannya motherland. Duapertiga wilayah negeri kita adalah perairan. Karena itulah pendiri bangsa lebih suka menggunakan kata TANAH AIR,sepasang kata ganjil namun bermakna dalam”

Kata-kata Anggun seringkali meluncur ringan namun bermakna luas. Zweta terkadang harus mengernyitkan dahi sebelum mencerna isi pikiran Anggun. “Benar-benar perempuan yang idealis dan optimis”, Zweta terkagum dengan cara pandang Anggun. Perempuan yang garang di forum diskusi, juga menguasai di bidang akademis.

Hari menggenapkan minggu, minggu pun berganti dengan bulan. Kebiasaan Rania setiap jeda kuliah masih tetap seperti sebelumnya, yaitu membaca di perpustakaan. Rutinitasnya adalah mencari  literatur yang  berhubungan dengan tugas, kemudian duduk manis mencerna seluruh teori dan metode analisis. Setiap kali mengunjungi perpustakaan, Rania tahu setahu tahunya jika banyak pasang mata malu-malu mencuri pandang, dan kejadian itu terus terulang membentuk repetisi peristiwa di dalam hidupnya seperti bandul jam yang bergerak ke posisi semula. Karena itulah Rania selalu mengajak beberapa kawannya untuk mengurangi rasa risih, dan dengan demikian ia berharap keadaan tak nyaman ini akan segera lenyap dari perasaannya.

Di perpustakaan, Rania dan banyak kawannya membawa materi tugas yang dibebankan kampus. Mereka merasa lebih efektif ketika mengerjakan tugas bersama-sama daripada menjadi single fighter. Disinilah Asti dan Adi menjadi dua manusia yang menjadi tumpuan dan harapan banyak kawan.  Anugerah kapasitas dan kemampuan otak yang cair membuat mereka menjadi rujukan kawan seangkatan. Dua orang itu dengan mudah mampu menjelaskan kembali materi kuliah ketika kawan-kawannya masih kebingungan dengan penjelasan sang dosen.

Sementara waktu yang sedemikian cepat  menggelar catatan hidup masing-masing. Siang mengganti malam, matahari mengganti rembulan.  Hiruk pikuk manusia terus berlangsung, bagai denyut nadi kehidupan yang sepanjang sejarah membentang, memberikan banyak pengertian dan pemahaman.

***

 [MP1]More expl. Abiut 

Posting Komentar

 
Top