0

“sudah dengar kebijakan Penguasa Kota, Ang ?” suara Seno terdengar memastikan. Dilihatnya Anggun nampak penasaran dan memandangnya menyelidik.
“Kebijakan yang mana ? Aku tak mendengar  apa-apa,” Anggun menjawab dengan sedikit penasaran. Ia selipkan rambut ke sela telinganya.
“Anggun memang seanggun namanya,” berdesir dada Seno melihatnya.

Akhirnya dengan detail Seno menceritakan sejarah kebijakan Penguasa atas hutan kotadi jalan Pahlawan.  Hutan Kota itu akan dialihfungsikan menjadi Mall besar.

“apa mereka sudah sakit ?!!” emosi Anggun mulai naik. Sirat wajahnya mulai menegang.
“sejak bulan lalu suratkabar memang mengungkit masalah itu, tapi kupikir mereka urung melaksanakannya,” lanjut Anggun penuh emosi.
“Nggak, Ang. Mereka terus maju. Permasalahan ini sudah tiga tahun berjalan. Aktivis lingkungan dari dulu sudah membentengi hutan kota. Tapi kali ini sepertinya benturan tak bisa dihindari lagi. Bom waktu siap MELEDAK !!” Seno  menguatkan intonasi suara di akhir kalimatnya.

“kalau begitu semuanya mesti bergerak cepat, Sen. Coba kita kumpulin kawan-kawan, biar mereka kasih masukan apa yang seharusnya diperbuat lembaga. Ntar hasilnya kita rekomendasikan ketika rapat koordinasi Fakultas. Atau . . mm gini, ntar aku coba membakar kawan-kawan lewat tulisan di mading, biar isu cepat panas !” Anggun menegaskan dan memberi saran ke Seno.

“Aku sependapat denganmu, Ang. Usul yang brillian,” Seno berkata sambil mengacungkan jempolnya. Melihat itu Anggun yang sedari tadi serius kini lumer menguntai tersenyum.

“oke deh, kalau begitu jangan buang-buang waktu lagi,” Anggun segera menyudahi diskusinya.

Setelah itu Anggun berjalan gundah menyusuri selasar kampus. Sama sekali tak disangkanya dan tak masuk akal, bagaimana bisa muncul kebijakan Penguasa yang sedemikian bodoh dan tak banyak pertimbangan. Ia tahu harus berbuat sesuatu, harus. Panggilan hatinya mengatakan kalau aksi ini akan menjadi hadiah terakhir pengabdiannya di kampus Keprabuan.

“kamu harus cepat bergerak, Ang !”,
“berkoordinasilah dengan banyak pihak !”
“ah ! ini tidak bisa menunggu lagi ! harus disiapkan secepatnya !” hati Anggun berteriak bersahut-sahutan.

Kini tinggal langkah. Ya. Strategi ! tak ada jalan lain, semua harus disiapkan sebaik-baiknya.

Kemudian Anggun teringat Zweta  yang telah banyak membantunya selama ini. Tulisan-tulisan Zweta yang terkenal aktual, tajam, liar, dan bergelora akan menjadi senjata yang ampuh untuk menebar wacana.

Anggun kemudian berjalan dan mencari Zweta di tiap lorong gedung. Namun tak dijumpainya Zweta. Ia malah bertemu lagi dengan Seno yang kini sedang dikelilingi beberapa mahasiswa. Ia tahu Seno sedang melakukan hal yang sama dengannya, yaitu penyebaran wacana dan sosialisasi masalah.

“Sen, kamu lihat Zweta ?”  Anggun bertanya dengan mimik tegang,  Seno yang sedang berdiskusi dengan sepuluh mahasiswa itu terputus konsentrasinya.
“aku tak lihat,” Seno menggeleng pelan. Sementara kesepuluh mahasiswa yang sedang berdiskusi dengan Seno memandang Anggun dengan tatapan menduga-duga isi pikiran perempuan cerdas itu.

“biasanya dia di perpustakaan sama Rania, Ang.” salah seorang dari mereka tiba-tiba menyeletuk.
“ah iya ! mungkin dia disana. Thanks ya ! lanjutin deh diskusinya...”

Anggun kemudian berjalan rikat menuju perpustakaan. Langkahnya cepat, rambut hitamnya yang panjang bergerai tertiup angin. Anggun membutuhkan waktu tak lama untuk sampai di perpustakaan. Ia segera naik ke lantai dua dengan nafas terburu.

“syukurlah ..” hati Anggun terasa lega. Dijumpainya Zweta sedang membaca literatur bersama Audrey dan Rania. Anggun melangkah pelan. Dihelanya nafas  panjang setelah lelah berjalan cepat.

 “Zweta,” Anggun memanggil nama Zweta dengan sedikit berteriak. Nafasnya masih terburu, gurat wajahnya nampak menegang.
Sementara Rania dan Audrey sedikit terkejut. Anggun kemudian menggeser bangku ke belakang dan bergabung dengan mereka bertiga.

“huhhh ... untunglah kalian disini,”Anggun menangguhkan lelah
“Kak Anggun ?, dari mana, Kak ?” Zweta terheran. Tak mungkin Anggun jauh-jauh mencarinya kemari kalau bukan urusan penting.

“pasti telah terjadi sesuatu,”  Zweta menduga dalam hati, sementara Audrey dan Rania hanya mematung. Mereka berdua dilingkupi keheranan.

“aku buru-buru mencari kamu, Ta. Kondisi sedang darurat !” Anggun menjawab dengan sirat wajah menyimpan masalah

Anggun kemudian bercerita mengenai keputusan Penguasa untuk membangun Bentos, Benefit Town Square di areal hutan kota jalan Pahlawan yang merupakan kawasan pendidikan. Anggun juga menceritakan sikap aktivis mahasiswa, pihak rektorat, dan juga kawan-kawan aktivis lingkungan yang sekian lama berusaha membentengi lingkungan kota. Sementara itu Zweta diam mematung, ia geram dan tak percaya dengan keputusan yang terdengar gila tak bertanggung jawab.  

“trus, apa yang bisa kita bantu, Kak ?” wajah lembut Rania menahan sedih.  
“iya, Kak. Yang bisa kita bantu pasti kita bantu !” Audrey mengiyakan. Ia teringat kalimat penuh inspiratif dari Abah ketika acara pentas rakyat tempo hari. 

“untuk kalian berdua, tolong sebarkan wacana ini seluas-luasnya. Dukungan dari tiap elemen masyarakat pastilah sangat membantu. Dan untuk kamu, Ta. Aku butuh tulisan kamu untuk membakar kawan-kawan,” Anggun menjelaskan sebaik-baiknya dengan intonasi yang jelas, sedikit berapi-api.

Nampaknya kali ini Anggun berhasil menyatukan emosi, dan ia juga yakin jikalau mereka bertiga mampu bergerak sesuai keinginannya.

“Oke lah, kalau sudah jelas .. aku pergi dulu,“ Anggun seketika pamit, ia beranjak dari kursi yang didudukinya.
“sekarang Kakak mau kemana ?” Audrey bertanya dengan raut wajah prihatin.
“kumpulkan data, koordinasi, dan mengecek kesiapan,” Anggun tersenyum manis dan kemudian meninggalkan mereka bertiga.

Setelah menemui Zweta di perpustakaan, Anggun kembali menjumpai Seno telah selesai berdiskusi. Lelaki itu seakan menunggu kedatangannya.

“bagaimana ?” Anggun bertanya lugas
“semoga saja berhasil, Ang. Mereka sepertinya concern,” Seno menatap mata Anggun ketika berbicara.

Sementara Anggun dan Seno berupa keras menyusun stategi perluasan wacana, demikian juga dengan Zweta, Rania dan Audrey. Mereka pun bergegas menemui kawan-kawannya.

Ternyata beberapa dari mereka telah memahami permasalahan ini, namun beberapa diantaranya nampak tak tertarik.
“pelajar payah ! masa sih nggak mau peduli sedikit saja !” Audrey kumat sewotnya.
“duh ..jangan gitu dong, Drey.” Rania seakan keberatan dengan sikap Audrey.
“iya Drey, bangsa kita mengumumkan kemerdekaan juga nggak semuanya mengikuti prosesi. Selama mereka mendukung kita secara moril, itu yang lebih penting.” Zweta berujar lembut menanggapi komentar Audrey.

Mereka bertiga kemudian berjalan menuju bangku pedestrian. Dijumpainya beberapa kawannya sedang duduk-duduk di bangku permanen. Hawa siang yang panas sedikit terlipur dengan naungan pohon angsana yang tumbuh rindang di samping pedestrian. Nampak Asti, Adi, Damar, dan Kompar sedang asik berdiskusi.  

Asti,” Zweta menyapa Asti yang sedang berdiskusi materi kuliah dengan Adi dan Damar. Seketika mereka menoleh.
“dari mana saja kalian ?” Adi menyapa.
“dari perpustakaan,” Audrey menjawab. Rania mengiyakan.
“kita ada perlu sama kalian. Penting dan butuh pendapat,” Zweta mengemukakan alasan.

Serta merta semua yang hadir menunggu kalimat yang akan terlontar dari bibir Zweta.

“kalian sudah mendengar rencana penghapusan hutan kota?” Zweta melanjutkan.
“kok bisa begitu ?” Adi nampak terkejut
“terus mau diapakan, Ta ?” Astimelanjutkan keheranan Adi
“di tempat itu akan didirikan Bentos .. pusat perbelanjaan termegah di kota ini”
“bagus itu  .. kan jadi rame,“ Kompar cepat menyahut.
“hah ?!! nggak salah omongan kamu, Par ? !?
Sejenak mereka terkejut mendengar sahutan Kompar. Mereka saling berpandangan.
“dasar otak bisnis lu, Par !” Damar menimpali sambil tertawa geli. Sementara Kompar tersenyum kecut ketika tatapan sinis menghakiminya bertubi-tubi.

“udah deh ! sekarang biar kujelasin dulu,”
Zweta tak ambil pusing dengan pendapat Kompar, ia ingin menjelaskan duduk permasalahan rencana pembangunan Bentos.

“Pembangunan itu akan dilaksanakan oleh Penguasa yang melibatkan pihak ketiga yaitu investor”
“Namun yang menjadi permasalahan disini, Hutan kota itu merupakan kawasan penyangga lingkungan, dan berada di kawasan pendidikan.“

Seketika bayangan kemacetan, kebisingan, hilangnya resapan banjir, kawasan pendidikan yang akhirnya terganggu, muncul satu persatu dalam bayangan mereka. Materi kuliah sistem transportasi, aspek hukum dalam pembangunan, rencana tata ruang wilayah, bangkitan-tarikan lalu lintas, sistem drainase perkotaan –seakan seluruh materi kuliah terangkum dan membentuk kesimpulan masif, bahwa rencana yang dijalankan Penguasa Kota merupakan rencana yang ngawur. Diceritakan juga oleh Zweta mengenai aksi yang akan dilaksanakan aktivis kampus, pandangan-pandangan mereka, serta harapan serta bantuan yang diharapkan sebagai bagian dari civitas akademika. Semua menyimak dengan seksama. Astinampak sedih, namun tak mampu mengungkapkan dengan kata-kata. Adi menunjukkan kegeraman, sementara Audrey dan Rania sesekali menambahkan penjelasan Zweta.

“aku tak sepakat dengan pikiran kalian. Kalau jalan Pahlawan makin ramai, ekonomi masyarakat sekitar akan ikut terdongkrak ! tenaga kerja juga terserap. Bayangkan berapa ribu pengangguran akan tertangani !”
“Dassssaarr ! ” Astiyang biasanya lembut kini geram dengan komentar Kompar. Tak disangkanya Kompar berkata sedemikian rupa
“Oportunis !” Rania dengan suara lembut ikutan memberikan komentar.
“ah lu, Par ! anak monyet aja ngerti kalo pendapat lu mesti dipengaruhin warung lesehan lu tuh ! bener nggak ?”  Damar  ikutan menghujat.
“ah udah ! nggak usah pedulikan Kompar !” Zweta mulai terlihat emosi melihat penyakit Kompar kumat lagi.
“halaaahh .. Ntar kalo Mall Bentos sudah jadi kalian juga pasti rame-rame ke sana ! nonton bioskop !” Kompar berargumen seakan meremehkan. Wajahnya nampak sinis.
“Husy ! ini bukan gara-gara kemudahan akses ! Goblok banget sih ketua angkatan kita ini ! makanya cukur tuh kumis biar pinter sedikit !! ngapain kamu belajar disini kalau otakmu itu nggak dipakai menimbang masalah seperti ini !” Audrey sewot
“ini masalah Mall yang dibangun di kawasan pendidikan, Par ! masalah tata kota yang dilanggar ! hutan kotayang dihapuskan !! aku bersumpah nggak akan makan di warung milikimu itu !! ” sekian lama Audrey berdiam diri kini tak bisa lagi menyembunyikan kejengkelan kepada Kompar.

Menyaksikan kegarangan Audrey akhirnya nyali Kompar berangsur ciut. Dimaki-maki perempuan segalak Audrey amatlah tak enak dan memalukan. Kompar seketika melenggang dan meninggalkan bangku pedestrian.  

“gua kagak nyangka ... cetek amat pikiran tuh anak,” Damar berkata datar ketika melihat Kompar melangkah pergi. Ia menyungging senyum tak percaya.
“otak makelar ! kapitalis cilik !” Adi mengiyakan pendapar Damar. Semuanya kini tersenyum melihat bagaimana perbedaan pendapat telah terjadi diantara mereka.    

“semua info ini sumbernya dari mana, Ta ?” Asti kemudian meminta konfirmasi setelah Damar lenyap di balik gedung.
“Oh ya, maaf. Aku lupa. Tadi Kak Anggun menemui kita bertiga dan menyampaikan informasi. Intinya kita diminta menyebarkan opini dan sosialisai permasalahan ini,” Zweta menjelaskan.

“terang aja. Anggun tua pasti nyari Anggun muda,” Audrey berkomentar.
“tapi yang kuheran nih, kemampuan akademiknya kok nggak nurun ke aku ya ..” Zweta mengolok-olok dirinya sendiri. Ia nyengir dan tertawa-tawa. Memang kawan-kawan Zweta merasa kalau Zweta sedikit banyak adalah duplikat Anggun dalam hal organisasi dan kemampuan diskusi. Namun di dunia akademik Zweta tak bisa menyamai kemampuan Anggun.

Setelah selesai mengemukakan informasi, Zweta, Rania, dan Audrey meninggalkan kawan-kawannya yang kemudian melanjutkan diskusi. Namun, tiba-tiba Damar beranjak dan menyusul Zweta. Ia berjalan tergesa.

“Ta “ Damar memanggil Zweta yang masih berjalan bersama Rania dan Audrey.
“ada apa, Mar.” Zweta menoleh dan dilihatnya Damar ingin berbicara dengannya. Rania dan Audrey kemudian berjalan lebih dulu.  

“Ta, gua ada ide,” Damar menyambung perbincangan mereka, sementara Zweta menunggu penjelasan Damar.
“gua kansering liat tulisan lu terpampang di MADING. Nah ! gimana kalo kita bikin Website. Ntar pikiran lu, atau siapa aja yang bisa ngasih sumbangsih pemikiran, kita cantumin di tempat itu. Disana nanti pikiran kalian bisa dibaca lebih banyak orang, sosialisasinya pasti jauh lebih luas,” Damar mengemukakan idenya. Ia berharap idenya disetujui Zweta.  
“dana bikin website kangedhe, Mar ? pengelolaannya juga butuh pengorbanan waktu,” Zweta mengernyitkan dahi mempertanyakan ide Damar. Namun lelaki di depannya hanya tersenyum tak berarti.
“tenang aja kalo masalah duit, gua punya koneksi yang duitnya banyak, ntar gua mintain dia sekepeng dua kepeng pasti juga nggak akan keberatan. Ntar gua yang ngatur dan ngolah  websitenya. Tapi tolong lu pegang rahasia ini, jangan sampe orang lain tahu kalo gua yang bikin,” Damar mengemukakan persyaratannya.
“kenapa begitu ?”
“udaahh jangan banyak nanya ..  deal nggak ?”
“mmm .. oke deh. Tapi masih tercerna aneh otakku ” Zweta mengiyakan sambil mengernyitkan dahi. Ia diliput pertanyaan.
“udah .. nggak usah dipikirin ! thanks ya !” Damar tersenyum puas.  
“gua janji ! nggak nyampe seminggu lu pasti sudah bisa ngakses !” lanjut Damar sambil memutar tubuh dan kemudian melangkah menjauh. Lelaki coklat itu kembali bergabung dengan Astidan Adi.
***

Malam harinya,
Pukul 22.38,

Malam ini mata Zweta susah memejam. Ia dibius gundah gelisah, seolah beban yang bersarang harus segera mengalir dari pikirannya.

Zweta kemudian bangkit dari tidur. Diambilnya bolpoin dan kertas sebagai wadah curahan rasa. Ya, ia mulai merangkai opini berdasar fakta literer yang didapatkan. Puluhan fakta tertaut satu persatu membentuk analisa yang masif. Pikirannya lincah berlompatan, nalar otaknya menyambungkan impuls-impuls analisis yang tajam. Ia sesekali tersenyum ketika mendapati kata-katanya terasa sangat pas. Ya, ia seolah sedang mencari diksi diantara kata-kata yang dirangkainya menjadi puisi indah, puisi yang dapat mewakili suara hatinya yang paling dalam.

Kata-kata terus meluncur dari pikiran dan hati. Zweta sesekali menyeka rambut dan menyelipkannya di sela telinga. Entahlah, secara tak sadar Zweta selalu melakukan hal yang demikian ketika menulis sesuatu yang melibatkan perasaan. Bolpoin di tangannya lincah menari, bagai penari balet yang sedang beraksi di panggung seni. Ya, tatap matanya sesekali berhenti, ia terpaku memandangi benda yang berada depannya. Namun pikirannya menembus jarak yang sangat jauh, jauh sekali. Jarak yang tak mampu dibatasi oleh materi fisik ataupun dinding-dinding.

Hingga tak lama kemudian akhirnya Zweta tersenyum. Rasa puas memenuhi bilik jiwanya, tarian pena-nya telah usai. Ia membaca lagi larik demi larik tulisannya. Ia tertegun sambil sesekali mengeryitkan dahi. Kalimat yang terkesan kaku dan tak lumer dicoretnya, kalimat itu kemudian diganti dengan kata padanan yang lebih pas. Ia terus membaca, kata-demi kata, larik demi larik, kalimat demi kalimat. Dan ketika pandang matanya telah sampai di penghujung kata, ia tersenyum, namun tatap matanya kembali menerawang jauh untuk mencari sebuah kata kunci.

“TEORI PEMBANGUNAN DI MATA MAKELAR”
oleh MAPENA

Ya. Zweta menemukan kata kunci sekaligus nama pena baginya : MAPENA, nama baru sebagai pengganti nama  Zweta Mahardikaning Pertiwi.

***

Posting Komentar

 
Top