0

Kampus Keprabuan,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,10.00 WIB 

Sosok lelaki tua tersenyum lebar ketika menyaksikan tiga perempuan yang dikenalnya sedang duduk di bangku taman.  

“Abah !” Audrey setengah berteriak melihat lelaki tua itu berjalan mendekat, sementara Zweta dan  Rania bergegas menyongsong.

“dari mana, Abah ?” mata Audrey berbinar.
“hehehe. Menemui Profesor Catur,” lelaki tua itu terkekeh.
“Bentos, Bah ?”, Rania mencoba menduga.
“tentu, Neng geulis. Apalagi kalau bukan Bentos. Kami akan terus melawannya. Kami para aktivis lingkungan, kawan-kawan LSM, serta LBH, akan melakukan penuntutan hukum,” lelaki itu bersemangat. Tangannya bergerak lincah penuh ekspresi.
“ada yang bisa dibantu Abah ?” Zweta menatap dalam-dalam lelaki itu
“pasti ada ! Cuma sekarang ini, belajarlah di kampus. Aksi anarkis tempo hari itu kontraproduktif. Melukai demokrasi. Ingat ! kalau represi dilawan represi, yang tersisa hanyalah puing-puing demokrasi. Kalian harapan masa depan bangsa, harus menjadi pelopor penegakan aturan di negeri ini,”
Ketiga perempuan itu sudah menduga. Berada di dekat dengan Abah, kata-kata yang keluar hanyalah berujung kepada kalimat cinta tanah air. Kental sekali semangat patriotisme.
“tapi Penguasa Kota sangat menyebalkan !!” Audrey emosi.
“bukan hanya menyebalkan, Abah ! sekaligus menjengkelkan !” Rania menambahkan
“kalian merasakannya ?”
“tentu, Abah.” hanya Audrey yang menjawab, sementara Rania dan Zweta tersenyum simpul
“syukurlah kalian juga merasakan. Hehehehe”, lagi-lagi lelaki terkekeh.  
“tetapi aksi kekerasan sampai kapanpun tak bisa dibenarkan. Kecuali seluruh perangkat hukum dan undang-undang sudah dicabuli habis-habisan, baru kita akan mencari strategi lain untuk menegakkan keadian. Ingatlah ! perang itu jalan terakhir !. Dan bagi sebuah negara hukum seperti Indonesia, hukum harus terus dijunjung tinggi,”
“kami faham, Abah”, Audrey mengiyakan
“tetapi sebenarnya, ada yang seharusnya berada di atas hukum,” kata-kata Abah memiliki makna yang dalam.
“apa itu, Bah ?”, Zweta menelisik
“moralitas dan keikhlasan “
“kenapa begitu, Bah ?”, lagi-lagi Zweta ingin tahu.
“hukum bisa ditipu, tapi moralitas dan keikhlasan tidak, karena parameternya adalah hati nurani. Kalian pasti sering mendengar banyak kasus seseorang bisa menang melawan hukum. Bahkan yang dilawan ini bukan hanya kepentingan kecil, tapi menyangkut kepentingan publik yang teramat besar. Padahal kalau secara moral nyata-nyata mereka salah,”
“ya. Abah.”
“contohnya begini. Demokrasi tanpa moralitas hanya akan menumbuhkan ribuan dagelan politik. Banyak orang tak berkompeten muncul sebagai birokrat, pembuat undang-undang, ataupun penguasa. Dan itu legal tak melanggar hukum. Lihat saja parameternya, saat ini banyak orang sudah muak dengan politik yang menjadi komoditas dagangan. Kalian tahu produk demokrasi tak bermoral itu apa ?”
Rania, Audrey, Dan Zweta hanya menggeleng.

“ya persis seperti penguasa dan sebagian dewan legislasi kota ini, mereka lebih memihak pemodal dari pada publik. Kepentingan rakyat dibuntungi habis. Dan lihat parameter lainnya, menjamur koruptor berbaju birokrat, ribuan kasus korupsi menumpuk dimana-mana.  Dan siapa koruptornya ?, tak lain dan tak bukan adalah orang-orang yang telah disumpah di bawah kitab suci untuk menyejahterakan rakyatnya,”

Beberapa mahasiswa mulai mengitari Abah. Mereka tertarik dengan kalimat-kalimat Abah yang menggugah. Menyaksikan ratusan kasus korupsi yang kini menjamur di banyak tempat di Indonesia, semua yang menyimak kata-kata Abah merasakan bulu roma yang meremang. Ada perasaan marah, geram, sekaligus sedih.

“kalian harus tahu pola kebobrokan yang ada sekarang ini melanda di daerah. Polanya membentuk lingkaran setan,” Abah menggambar lingkaran semu menggunakan kedua telunjuknya.

“kenapa Abah ?”
“sejak kebijakan otonomi daerah digulirkan, otomatis terjadi pendelegasian wewenang dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. Dan lewat pilkada, bermunculan raja-raja kecil yang menganggap wilayah kekuasaannya seperti barang eksploitatif pribadi. Hutan-hutan dibabat, pertambangan rakyat mulai masuk dalam taraf mengkhawatirkan. Tak ada AMDAL, tak ada pengendalian dampak lingkungan yang beres. Semuanya ngawur, kebanyakan mengakali aturan. Yang penting pendapatan daerah menumpuk. Dan penguasa yang ada hanya menjadi makelar berbaju birokrat”

“Namun... sebenarnya ada yang lebih miris dari itu,”
“apa Abah ?”
“pendelegasian kekuasaan kepada daerah, ternyata juga mendelegasikan budaya korupsi kepada Penguasa daerah,” Abah terkekeh sinis
“Demokrasi yang kita jalankan berharga mahal. Paracalon penguasa bermoral bobrok biasanya dibiayai oleh para investor politik. Dan otomatis ketika calon penguasa itu terpilih, maka ia wajib mengembalikan seluruh hutang yang dipinjam dari investor. Akibatnya apa ?“
“isi otaknya cuma berpikir bagaimana caranya mengembalikan modal yang telah dihabiskan. Itulah yang Abah bilang tadi. Demokrasi tanpa moralitas hanya akan memunculkan ribuan dagelan politik. Kalau pemimpinnya bagus, maka rakyat pasti sejahtera. Tetapi kalau yang muncul ternyata politikus dagelan, rakyat harus siap-siap disuguhi kebijakan yang tak masuk akal dan mempermalukan diri sendiri. Persis dagelan !!! tapi sedihnya, mereka mendagelkan perikehidupan kita !!! hak-hak kita !!!”
Semua yang mengelilingi Abah nampak mencerna.
“apa yang bisa kita lakukan, Abah ? ” salah seorang menyeletuk bertanya.
“kalian anak-anak negeri, tetaplah menjadi manusia yang idealis dan optimis menatap masa depan. Hingga suatu saat, tatkala hati kalian mendengar suara ibu pertiwi memanggil, maka jangan lari, mengabdilah dengan penuh keikhlasan,“

“Nasib itu punya Tuhan, tetapi diserahkan dan digenggamkan di tangan kita masing-masing, untuk memahatnya menjadi mahakarya ataukah membiarkannya teronggok di tempat sampah. Kalianlah yang nantinya meneruskan arah negeri ini, junjunglah tinggi-tinggi martabat tanah airmu, jangan pernah malu ! banggalah !! kalau saja tiap anak negeri berupaya menjunjung tinggi martabat tanah airnya, percayalah, takkan ada lagi anekdot ironi yang melumuri nama baik negeri kita ...”

Hati mereka berdesir. Adaperasaan sedih,  haru, bangga bercampur aduk.

“Abah, untuk kasus Bentos apakah kita akan menang ?” tatap mata Audrey nampak sayu.
“berdoalah. Yang jelas kita akan berusaha sebaik-baiknya,”
“kalau peluangnya, Bah?” Rania bertanya lembut.
“asal kita tak bertemu dengan setan-setan hukum, Insya Allah kita akan menang”, Abah berkata dengan sorot matanya yang tajam. Dari sorot mata itu, seolah ia berkata kepada semua mahasiswa yang berkerumun di sekelilingnya untuk terus optimis menghadapi semua hal.
“setelah reformasi apakah setan-setan hukum masih ada, Bah” Audrey bertanya lugu.
“Bukankah Setan dan iblis akan tetap ada sampai kiamat.. hehehe,” Abah menjawab sambil bergurau. Ia terkekeh.
“jawaban yang diplomatis sekali ..”, Audrey tertawa tak percaya. Ia semakin kagum dengan lelaki tua itu.

“yang jelas, semua data telah kita susun sebaik-baiknya. Kita sempurnakan ikhtiar dulu. Bertawakal-lah” Abah memandang semuanya dengan tatapan sejuk.

“kalau mereka kalah ?”
“kalau mereka kalah, semua sertifikat yang berhubungan dengan pendirian Bentos harus dibatalkan. Kalaupun nanti Bentos sudah terlanjur berdiri, maka sesuai aturan hukum, Bentos harus dibongkar. Pihak yang bertanggungjawab atas pembongkarannya adalah Penguasa Kota. Termasuk di dalamnya memberikan ganti rugi biaya pembangunan kepada Pemodal”

kankalau sudah berdiri sayang banget. Apa tak bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain, Bah ?”

“tentu bisa. Kalaupun tidak dibongkar, maka Bentos tidak bisa lagi dimanfaatkan untuk pusat perbelanjaan. Tapi bisa dialihkan untuk kepentingan yang sesuai dengan RT/RW  semula,”

“semoga kita menang, Abah !”
“ya”, “amin”
“pasti ! pasti ! kita pasti menang !”, Abah mengiyakan


“Bah, apa sih yang sebenarnya dicari Abah dalam hidup ini ?” Zweta tiba-tiba bertanya dengan mimik wajah serius. Melihat itu seketika Abah tersenyum, ia tahu perempuan di depannya menyimpan gelora. Sebelum menjawab, lelaki tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu pertanyaan jenis ini hanya dimiliki oleh para pemurung. Dan Abah seketika teringat Mapena, seseorang yang artikelnya tajam mengulas kebobrokan Bentos.

“untuk lelaki setua aku, rasanya tak lagi layak untuk mencari-cari sesuatu ..”

“hanya saja ..  Abah akan merasa bangga seandainya sampai kematian datang, Abah masih tetap menjadi manusia yang tak takut menyuarakan hati nurani. Cuma itu cita-cita dari seorang lelaki tua seperti Abah. hehehe”,

Semua yang berkerumun serasa mendapat pencerahan. Namun tiba-tiba sosok lelaki semampai berjalan mendekat. Dan setiba di belakang kerumunan, kedua tangan lelaki itu menyingkap-nyingkap mahasiswa di depannya.  

“wah-wah-wah-wah ! rupanya ada provokator ulung  !!! harus segera ditangkap mumpung belum lari !!! ” sosok lelaki berwajah tengil menggelengkan kepala sambil berkacak pinggang.
“hehehehehe  ! rupanya kau To’at !” wajah Abah terlihat bergembira sekali.
“ada apa ini , Abah ! merecoki pikiran mahasiswa seperti saya dulu direcoki Abah ?”
“hehehe bisa saja kau !”
“dari mana, Abah  ?”
“dari Profesor Catur. Masalah Bentos !! “
“halaaaahhh  ... jangan terlalu capek ngurusi bangunan gendeng itu, Abah. Nanti sesak napashhh  ... ” suara Pak To’at berakhir mendesis
“kemana saja kau, Toat ? saat kita turun ke jalan, tak muncul sama sekali batok kepalamu”
“hahaha !!! “, Pak Toat terbahak mendengar istilah batok kepala yang dilontarkan Abah.
“Mohon maaf, saya tak bisa menemani Abah menggonggong di jalan. Kemarin itu saya sibuk mengurusi pergantian kurikulum bocah-bocah ini,“ Pak Toat berusaha membalas,
“menggonggong ? memangnya lelaki setua aku ini kau anggap anjing ?” Abah terkekeh gembira, sementara Pak To’at tertawa sampai dadanya berguncangan. Mereka menemukan kembali guyonan khas di antara mereka berdua.
“Mampirlah ke ruanganku di atas, Bah. Sudah lama kita tak mengobrol,” Pak To’at menampakkan wajah sumringah.
“ah ! aku sudah tua begini masih kau suruh naik tangga”
“halaaahh, pendaki gunung tak pernah kenal usia tua, Abah. Komulatif usianya berhenti di angka tujuh belas .. ”
“hehehehe ! ketua jurusan kalian ini memang sejak muda tukang ngeles dan berotak culas !” Abah berkata tanpa beban kepada para mahasiswa di sekelilingnya.
“bohong itu ! fitnah semuanya ! hahahaha !” Pak To’at tertawa-tawa. Ia nampak gembira sekali.
“Bagaimana kalau SKAK dua ronde ?, deal .. or no deal,” Abah mengangkat kedua alisnya sambil mengulurkan jabatan tangan.
“disini ?” Pak To’at menjawab tantangan Abah dengan gagah berani.
“dimana lagi, To’at !”, Abah berkata geram
“hayooohhhh ... deal  ..  deal ..” Pak To’at langsung menjabat erat uluran tangan Abah sebagai tanda jadi. Mumpung menemukan lawan yang secara sukarela datang. Tak perlu berjalan berkeliling membawa papan catur, tak perlu berlagak laksana pendekar pilih tanding yang berkeliling ke tiap perguruan guna menjajal keampuhan kanuragan.

“minggir-minggir !” Pak To’at segera menyibak para mahasiswa yang berdiri di depannya. Ia bergegas duduk berhadap-hadapan dengan Abah.
“lihat saja kelakuan ketua jurusan kalian ini ! dulu dia sempat mau mampus di gunung Slamet,”
“hahahaha ! kelakuan waktu masih muda dulu  jangan diceritakan, Abah. Merongrong wibawa saja !!! “
“hehehehehehe”
“hei kamu !! ambilkan papan catur di himpunan mahasiswa !” Pak To’at berteriak sekenanya.

***
Paviliun Kelas I
Rumah Sakit Harapan Sembuh,

Siang kali ini, matahari terasa lembut. Terik sang raja siang tertepis awan putih yang membumbung tinggi ke angkasa. Bentuk awan itu bagaikan cendawan raksasa yang bermekaran memenuhi langit.

Damar melangkah cepat. Seolah semua masalah yang tersimpul telah terurai satu persatu. Setelah murung beberapa hari, sinar wajah yang sebelumnya terselimuti awan tebal kini tercerahkan. Aura wajahnya nampak optimis. Langkah kakinya menggambar kepercayaan diri tak terpatahkan. Tak lagi ragu, tak lagi gontai, tak lagi lingsut seperti kura-kura pemalu. Digenggamnya puluhan tangkai mawar warna-warni.

Senyum di bibir Damar terus tersungging hingga sampai di areal paviliun kelas satu. Dan entah kenapa, kini hati Damar berdegub kencang. Apalagi ketika telinganya menangkap suara Karin. Entah kenapa degub jantungnya terasa semakin cepat. Apakah mungkin karena ia ingin melihat senyum Emma hari ini.

“ada Kak Damar ..” Karin berkata pelan. Perempuan itu tersenyum menatap kakaknya.
“mana, Rin ?“ Emma bertanya lembut, serasa muncul impuls yang membuat hatinya bermekaran.
“tuh,” Karin menjawab pertanyaan Emma tepat ketika Damar memasuki ruangan.

Seketika Emma tersenyum manis. Tatap matanya mengikuti sosok Damar, ia terharu. Apalagi ketika Emma melihat Damar membawa seikat mawar warna-warni. Senyumnya yang lembut makin mengembang.

“mawar, Rin.” Damar menyerahkan seikat mawar kepada Karin.
“wow, cantik sekali, Kak”
Karin menerima dan kemudian mengambil vas bunga di meja kamar. Ia keluar untuk mengisinya dengan air.

“Adik lu itu luar biasa,” Damar berkata kepada Emma sambil tatapannya mengantar kepergian Karin.  

Mendengar kata-kata Damar, Emma seketika membenarkan. Betapa waktu telah membuktikan jikalau rasa sayang Karin kepadanya memasuki taraf tertinggi. Adiknya itu selalu setia menemaninya.

“Kak, terima kasih mawarnya,” Karin tersenyum saat kembali memasuki kamar. Ditatanya tiap tangkai mawar dengan sempurna.

 “Em, lu harus cepat sembuh,” Damar memandang wajah Emma. Kini kedua mata mereka bertemu.
“doakan,” Emma menjawab lirih namun jelas. Ada getaran kuat menyentuhi hatinya.

 Datang ke pavilun Emma menjadi rutinitas Damar. Seolah saja Damar merasa jikalau Emma telah menjadi bagian dari dirinya yang wajib terselamatkan. Dan memang, ada korelasi kuat antara Damar dan Emma. Sama-sama senasib, sama-sama menoreh jejak muram di masa lalu. Ya. Damar datang membawa optimisme baru. Ia menganggap Emma sebagai simbol perjuangannya. Perjuangan melawan masa lalu yang pahit dan memabukkan. Damar berusaha sekuat tenaga agar Emma segera bangkit dan memberikan inspirasi baginya.
 
Senada dengan Damar, Emma pun bahagia dengan kehadiran Damar. Hidupnya merekah, dan seakan ada bagian dari dirinya yang menanti kehadiran Damar. Emma terheran, betapa Damar yang dikenalnya dulu adalah lelaki cool, tak banyak bicara, bahkan cenderung pendiam. Namun kini Damar di mata Emma bermetamorfosa menjadi sosok yang lain. Ia lebih banyak bicara, lebih supel, dan  lebih optimis menatap masa depan. Dan yang tak kalah aneh, Damar selalu berusaha menghiburnya dengan cerita-cerita lucu yang terkadang malah jayus tak lucu. Emma tahu jika lelucon Damar diunduh dari internet. Ya –ketika Damar melucu, Emma seringkali pura-pura tergelak lantaran lelucon itu sudah seringkali dibacanya di website. 

“apa yang paling lu inginkan setelah pulih,” Damar menghembuskan semangat kepada Emma.
“kalau aku pulih, aku ingin sekali main gitar di café, ada orang yang mengiringiku. Juga ada Karin,” Emma sekilas memandang Karin dengan tatapan lembut.
“bener ?” Damar berusaha meyakinkan Emma
“ya. Aku ingin sekali,”
“Karin sudah nggak sabar lagi, Kak ... Cepet sembuh ya ..” mata Karin berbinar. Suara lembutnya sedemikian tulus terucap. Ia tahu Kakaknya berusaha keras untuk bangkit.
“nanti kamu hubungi Winna. Biar dia yang menyiapkan di café,” Emma menatap Damar.

“Syukurlah Winna memang mau kesini,” Karin berkata dalam hati. Dirinya baru kemarin menelepon Winna dan memberitahu kondisi Emma.  
“mungkin sebentar lagi,” Karin kembali berkata dalam hati sambil melihat jam tangan.

“Mbak Emma . . “, tiba-tiba perempuan berparas manis telah berada di depan pintu. Tangan kanannya menenteng gitar yang masih terbungkus rapat di wadahnya. Gitar itu segera diserahkannya ke Karin.

“wah wah ... pucuk dicinta ulam pun tiba,” Karin tersenyum tatkala melihat nafas Winna sedikit terburu.
“lu habis dari mana, Win ? Pake bawa gitar segala,” Damar menyalami Winna yang masih mengatur nafas,
“pesenan Karin,” Winna berkata lembut. Ia memandang Emma dengan wajah sedih.

“Mbak Emma ..” Winna memeluk Emma erat-erat. Ada kerinduan yang menyeruak dalam diri perempuan berparas manis itu.
“sudah sembuh, kan?”  Winna berkata lagi setelah melepaskan pelukannya.
“doakan ya,” Emma berkata lembut lantaran terharu.

“duh Mbak, di Café banyak yang kangen loh ... ” Winna berusaha menghibur. Ia menggenggam tangan Emma yang masih lemah.
“beneran ? sampe sebegitunya ?” Emma tak percaya. Ia menatap Winna dan Damar bergantian.
“sumpah. Mungkin Mbak nggak ngerasa. Tapi sering kok para pengunjung bertanya,” senyum Winna tersungging.
Kedatangan Winna membuat Emma semakin ingin bangkit dari keterpurukan. Ia menyesal menoreh warna muram dalam jejak waktunya. Betapa dulu Emma merasa kesepian, merasa sendirian. Kenapa tak dulu-dulu ia menemukan perasaan seperti sekarang. Perasaan yang hangat, karib, dan juga dekat.

“maafkan aku Tuhan, aku telah khilaf”, Emma memohon dalam hati. Matanya berkaca-kaca.

 “Kak, Silent Partner,” Karin bersiap memetik gitar. Wajahnya menunggu reaksi.   

Hingga ketika petikan gitar Karin mulai memainkan Silent Partner –Accoustic Alchemy, sesuatu yang hangat perlahan mengalir dari kelopak mata Emma. Ia bahagia, ia tersenyum. Dan ketika nada indah mengalir menyentuhi jiwanya, seketika Emma merasa bagai manusia yang paling bahagia di muka bumi.


***

Posting Komentar

 
Top