0

Kawasan Buncit, Mampang Prapatan

Malam ini, lagi-lagi Jakartamenampakkan jutaan kunang-kunang. Jutaan sinar lampu dan deretan kemacetan terlihat di jalan-jalan protokol –menasbihkan lelahnya tubuh tatkala jam paling menyebalkan tiba, yaitu jam pulang kantor. Klakson-klakson menjerit tak sabar, pengendara motor berkelincat mencari spasi di sela kendaraan. Dan demikian juga dengan ribuan motor lain yang menggarong lajur Busway, ataupun metromini-kopaja yang merampok isolasi marka. Ah –inilah Jakarta. Berdiri sejam di tepi jalan, rasa-rasanya penghuni Jakarta disuguhi ribuan jenis kebebalan. Bebal terhadap aturan, bebal terhadap kesepakatan, bebal pula dalam beretika. Namun semua terasa cuek membiarkan. Polisi tak berdaya, rambu-rambu tak berdaya, tuhan kehilangan daya, semua metode keteraturan bertabrakan. Entahlah, ajaran moral dan disiplin ilmu apakah yang mampu merubah wajah Jakarta. Semua kebingungan, semua ahli terpekam, tak punya bukti mereka mampu menata Jakarta untuk lebih humanis dan beretika.   

Amalia terheran ketika dirinya pertama kali tiba di Jakarta. Ditampaknya julangan gedung angkuh pencakar langit di jalan protokol, seolah menjadi make up bagi kebopengan wajah Jakarta. Keindahan satu sisi menyembunyikan sisi yang lain, agar kontrasnya pembangunan kota tak lagi nampak alias tersembunyi. Dan memang demikian, di belakang tower-tower itu berserakan ratusan gubug-gubug dan rumah petak betawi yang tersebar bersesakan.  Di Jakarta pula bayangan kemegahan kaum urban seketika menguap. Semua bayangan kemapanan tertumpuki hiruk pikuk masalah yang datang berjejal-jejal, berderet-deret, berderap-derap menghantami hati nurani lantaran acapkali menyaksikan tindak ketidakmanusiawian.

Sementara bau busuk tersebar dari hijaunya air parit yang statis tak mengalir, mencumbui hidung pejalan kaki dengan bau sampah yang membusuk. Memberikan lukisan lazim yang tak lazim bagi sebuah kota yang menjadi jendela awal penggambaran sebuah bangsa, yakni Ibukota. Ah Jakarta, ibukota yang dibanggakan memang terjerat banyak masalah. Kotayang menyandang predikat megapolitan masih jauh dari harapan banyak orang, terlebih ketika ia berasal dari luar Jakartaseperti Amalia. Jakartahanya berkilau dari jauh –persis seperti tembaga imitasi yang berusaha ditampakkan layaknya emas duapuluh empat karat. Jakartacuma menyediakan medan, dan medan itu dipakai kaum urban untuk mencoba mengundi peruntungan nasib. Mencoba membalik putaran dadu, tentunya dengan berharap sedikit celah keberuntungan berdiri di pihaknya.

Jakarta di mata Amalia cuma beruntung dari segi sejarah dan kebijakan. Ya, semua memang ada di Jakarta. Semua serba tersedia, namun kenapa cuma Jakartayang seperti itu. Dari ratusan kota besar yang tersebar di pulau-pulau besar berpenghuni, kenapa cuma Jakartayang sedemikian berfasilitas, bahkan Jakartadirasanya terlampau timpang seandainya dibandingkan kota nomer dua paling besar sekalipun. Seharusnya ada banyak kota seperti Jakarta di seluruh penjuru tanah-air. Agar pembangunan tak timpang, agar slogan-slogan anti urbanisasi bisa terlaksana dengan baik dan bukan cuma menjadi retorika di balik bau mulut para pemegang kebijakan.

Di jalanan Jakarta-lah pelajaran serasa diuji. Dan pelajaran yang diuji bukanlah sesuatu yang aneh ataupun tak lazim. Namun ujian yang dilaksanakan di jalanan Jakartamenyangkut sesuatu yang bernama moralitas dan kesopanan tingkah laku. Amalia yang jarang ke Jakarta, begitu mengelus dada dan tak faham dengan kemajuan “peradaban Jakarta”. Tempat Istana Negara, markas pemerintahan, dan juga gudangnya kaum cerdik cendekia mengumbar dan menyumbar kepandaian. Namun, Ah Jakarta –seharusnya kota itu menggambarkan keberhasilan pembangunan materil dan immaterial, dari segi fisik dan juga mental spiritual. Namun ternyata harapan itu masih jauh dari kenyataan yang seharusnya. Semestinya peradaban yang diklaim cuma dimiliki manusia Indonesia dari kasta intelektualitas paling terbelakang –nampak pula disini, agar Ibukota ini tak semrawut, kacau, dan babak belur melawan aturan yang dibuat sendiri. Andai saja penghuni Jakarta memiliki rasa kekeluargaan dan sopan santun, tentunya peradaban Jakarta akan terlihat santun. Takkan nampak lagi lalu lintas porak poranda yang menyebabkan harga nyawa manusia terlihat sangat murah. Tak ada lagi umpatan kasar di jalan-jalan, tak ada lagi bus-bus angkutan kotayang menganggap penumpangnya tak lebih berharga dari segerombolan binatang sembelihan.

Amalia datang ke Jakartamemang untuk memenuhi panggilan Interview scholarshipdari Kedubes Kerajaan Belanda. Adaperasaan ganjil yang seolah memberitahukan, jikalau beasiswa itu sudah hampir pasti akan ia dapatkan. Wageningen University, ya, apabila aplikasinya diterima, tempat itu akan segera menjadi almamater untuk studi lanjutan disiplin ilmunya. Sebagai seorang mahasiswa yang sekaligus merangkap asisten dosen, catatan akademis Amalia memang luar biasa. Ia telah dipastikan untuk lulus dalam dua bulan ke depan dengan predikat cumlaude. Disamping itu pula, dua bulan lalu Amalia berhasil memenangkan juara I dalam ajang bergengsi  Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia. Dan dengan materi yang hampir sama, ia pun mengajukan proposal penelitian dalam studi lanjutan nanti di Wageningen. Genom plasticity.  


Sementara di sebuah motel tua, Amalia nampak sibuk berbenah. Seluruh dokumen telah dimasukkan ke dalam travel bag. Dan besok pukul 06.00 pagi, pesawatnya akan terbang dari bandara Soekarno-Hatta menuju bandara Juanda Surabaya. Dan sesampai  di Juanda, iaharus menempuh 1 jam perjalanan menuju kotaGresik, tempat kelahirannya.  

Di kamar motel tua, semua benda mati di dalam kamar menjadi saksi dari kegigihan seorang anak manusia mengubah jalan hidup. Amalia kini merasa bebas dan lepas. Ia merasakan seperti terbang menunggang elang raksasa dan berkeliling menikmati keagungan angkasa. Ia telah memburu cita-citanya tanpa lelah, dan kini, kristalisasi kerja kerasnya telah nyata di depan mata.


“Tuhan, semoga kali ini Kau memberikan aku karunia itu. Terima kasih,” Amalia menggenggam erat optimisnya.


“Doktor Amalia”, ia membayangkan dirinya dipanggil dengan sebutan itu beberapa tahun lagi. Dan ia bertekad untuk meraih gelar kehormatan di bidang akademis yang telah diretasnya dengan sungguh-sungguh.

Namun di malam ini, Amalia kembali dilamun sepi. Seolah bayangannya sengaja menjauh. Ia merasa sendirian tak berbagi.

“Androku,” lagi-lagi Amalia mendesah. Rasa gamang kembali lagi dimintanya dari kepasrahan, ia bersedih lagi. Namun, ia memiliki keyakinan jikalau semua yang baru saja dilalui merupakan sebuah petunjuk, dan juga sebuah jalan. Dan setelah mengingat itu semua, Amalia kembali lagi menitipkan keraguan kepada kepasrahan.

“Ah –Androku” lagi-lagi ia mendesah.          

Dan kamar motel masih membisu. Amalia melamun. Tiba-tiba ia merasa lelah dan capek. Ia ingin duduk di kursi yang sedari tadi seakan tak hadir di depannya. Dengan cepat, dihempaskan tubuhnya yang terasa tak bertenaga. Ia terpekur dalam-dalam. Menekuri sesuatu yang tak ia fahami. Amalia berusaha menafsirkan uraian benang kusut yang menyimpul erat di dalam kisah cintanya.


***

Posting Komentar

 
Top