0
Raha Moharrak - 1st Saudi Woman on Everest
“Mama ikut ?” Zweta terkejut ketika menjumpai Mamanya telah memakai seragam outdoor, sementara dipunggungnya menggelayut ransel berukuran sedang.
“Kenapa tidak ?!” Mamanya menjawab retoris
“memangnya Mama masih kuat ?” Zweta tersenyum nakal
“sembarangan kalo ngomong. Jangan salah. Kita buktikan saja nanti. Lagian paling juga masih kuat Mama daripada kamu, Dik” perempuan paruh baya itu seolah menganggap Zweta adalah kawannya sendiri. Dan memang demikian, ia mengajarkan tak ada stratifikasi di alam bebas. Yang ada hanyalah kawan perjalanan, bukan relasi antara ibu dan seorang anak.
“ntar kalo si Gondrong pulang ke rumah gimana, Ma ?”
“dia nyusul belakangan”
“toko bunganya tutup ?”
“libur dong, Sayang. Mama kanbutuh liburan juga ..” senyum perempuan paruh baya itu mengembang begitu bebas.
“kita harus berangkat sekarang, Ma. Aku ditungguin kawan-kawan di Desa Pesanggrahan,” Zweta bergegas mengangkat ransel. Ia mengurungkan niat dan menunda rencana atas ulang tahun Mamanya. 

Keduanya akhirnya berangkat menuju terminal terdekat. Mereka naik bus mini antar kotauntuk menuju desa Pesanggrahan, sebuah desa yang terletak di kaki gunung Panderman. Sementara di atas langit Songgoriti,  nampaklah puluhan petualang udara mengarungi angkasa. Payung-payung paralayang terkembang, dan mereka terbang berputar serupa elang yang sedang mengintai mangsa.

Hingga setelah empat puluh limamenit menempuh perjalanan menggunakan minibus, akhirnya Zweta dan Mamanya tiba di gerbang desa Pesanggrahan.

“Tante ..” Rania terkejut ketika menjumpai Mama Zweta turun dari minibus.  
“Tante ikut juga ?” Granadayang baru pertama kali berjumpa menampakkan wajah yang sama. Ia bisa menduga kalau perempuan yang di depannya adalah Mama Zweta walaupun ia belum pernah bertemu.  
“iya sih .. sudah lama Tante tak melatih kaki,” senyum lembutnya tersimpul. Entah kenapa tiba-tiba muncul kerinduannya untuk mengunjungi tempat ini setelah sekian lama.
“beneran Mamamu ikut, Ta ?” Audrey masih tak percaya, ia menarik lengan Zweta menjauh.  
“Iyyyaaa, Dreeeyyy ..” Zweta menegaskan. Sementara kening Audrey berkerut tak percaya. Rambut mayangnya terikat kebelakang. 

“kita berangkat sekarang ?” Mama Zweta bertanya
 “iya, Ma. Kita sudah siap mendaki,” Zweta menimpali
“kalau begitu ayo. Mumpung belum sore. Kalau sempat kita bisa melihat sunset di Pelataran Ombo,” Mama Zweta memberi aba-aba, sementara Audrey, Granada, dan Rania masih dikuasai keheranan.

Kelima perempuan itu mulai berjalan beriringan. Menyusuri jalan aspal desa Pesanggrahan yang cenderung mulai menanjak, jalan desa itu harus mereka tempuh selama empat puluh limamenit untuk mencapai batas desa di kaki gunung. Dan di tempat yang cukup jauh, terlihat puncak Panderman menunggu para pendaki dengan sikapnya yang anggun.  

Sementara deru motor Andro telah sampai di depan rumah. Ia tertinggal
“ah. Sial ! Mama sudah berangkat !“ ia mengumpat dalam hati. Segera saja Andro mengepak perlengkapan pendakian. Ia berniat menyusul Mamanya secepat mungkin, ia harus membawa motor tuanya menuju desa Pesanggrahan. Dan ia berencana menitipkan motornya di rumah penduduk setempat.

***
Pelataran Ombo,
17.10, kala serangga senja menyanyi

“kita istirahat disini. Menikmati sunset,” Mama Zweta tersenyum melihat keletihan menguasai kawan-kawan Zweta, dan ia pun mengatur nafas.

Sementara menyusul di belakangnya, nafas Granadaterburu. Matanya memicing sipit lantaran silau cahaya matahari menyentuhi kelopak matanya. Dan wajahnya yang ayu nampak kemerah-merahan. Butir-butir keringat mulai menggulir di tepi keningnya.

“capek ?” Mama Zweta bertanya ke Granada, sementara Granadahanya mengangguk pelan. Rasa letih seakan membungkam bibirnya, dan memang Granada baru pertama kali mendaki gunung. 

“istirahat dulu. Jangan dipaksa, nyantai saja. Kita mendaki gunung untuk menikmati alam. Bener nggak ?”
“ya, Tante. Sepakat,” Rania menimpali sambil tersenyum manis. Kali ini ia mendaki Panderman untuk yang kedua kali. Sebelumnya yang pertama kali Rania mendaki semasa SMU, ketika gugus depan Pramuka mengadakan acara jelajah alam ke Panderman. 
“minum, Drey. Biar nggak dehidrasi,” Zweta menyodorkan botol air ke Audrey. Namun perempuan itu masih diliputi capek. Ia duduk di atas batu berukuran sedang.

“bagaimana kalau kita menikmati sunset disini, sambil menunggu Andro datang,”
“memangnya indah banget Tante ?” Granada bertanya sambil mengibaskan topi di depan wajah.
“ya, sunset disini indah sekali,”

Sementara itu di sisi barat Pelataran Ombo tersaji panorama belantara menutupi aliran sungai. Lekuk lembah dan punggung bukit bergelombang, menyembunyikan misteri hutan dan pepohonan hingga renik terkecil. Entah sampai kapan hutan-hutan itu bertahan, menaburkan oksigen, mengalirkan mata-air terbening, bertahan atas ketimpangan nafsu destruksif manusia yang membabat segalanya. Tak banyak yang tahu jikalau proses geologi jutaan tahun telah membentuk cekungan tersembunyi di tengah rimba. Ceruk besar terpahat, membentuk tiga buah air terjun bertingkat dan berhulu di mata-air pegunungan Kawi. Dua diantaranya masih disembunyikan belantara, sementara yang satunya telah dikelola sebagai kawasan wisata bernama Coban Rondo –sebuah kawasan air terjun dengan ketinggian 80 meter yang juga dimanfaatkan untuk pendidikan konservasi alam. Berbeda dengan Coban Rondo yang telah terbuka dan terkelola, dua air terjun lainnya masih tersembunyi. Para petualang menamai dua air terjun itu dengan nama Coban Kemanten dan Coban Banteng. Coban yang berada paling hulu adalah Coban Kemanten, sebuah kawasan dengan air terjun kembar yang jatuh berdampingan. Letaknya masih natural, diapit tebing tinggi, dan masih jarang yang menjamah. Hanya mereka –sang penempuh rimba dan pendaki gunung yang tergoda mengunjungi tempat itu.  Disamping berbahaya karena menyusuri daerah rawan longsor, perjalanan menuju Coban Kemanten membutuhkan nyali yang cukup besar lantaran membelah belantara.

Sementara pegunungan Arjuno-Welirang, sebuah pegunungan yang termasuk dalam jajaran tujuh puncak tertinggi di Pulau Jawa terlihat gagah menantang. Granada tak henti-hentinya mengagumi pemandangan di sekitar Pelataran Ombo. Apalagi ketika matahari di sebelah barat perlahan-lahan turun ke peraduan. 

“Ta, Mama kamu ini pendaki gunung ?” Audrey bertanya lirih, ia masih bersibuk diri memuaskan rasa penasaran yang mengusiknya.
“tanyain saja sendiri, Drey” Zweta mulai tak sabar.
“pantesan dari tadi staminanya bagus banget,” Audrey dikuasai kekaguman.

“Tante suka naik gunung ?” Akhirnya Audrey tak puas menerima jawaban Zweta.
“waktu masih muda dulu suka banget, Drey. Sekarang sudah jarang.” perempuan itu menghembuskan nafas panjang
“sudah mendaki kemana saja, Tante ?” ternyata Rania juga ingin memuaskan penasarannya.
“mulai dari barat  ...  di daerah Sumatera cuma sedikit sih .. cuma Kerinci dan Merapi. Tante belum sempat ke Leuser.  Kalau di Jawa mulai dari Gunung Pangrango, Gede, Ciremai, Triple-S -Sindoro, Sumbing, Slamet,  trus daerah sini Lawu, Arjuno, Welirang, terus ke timur .. Gunung Agung, Rinjani ...  dan yang itu tuh ... Tante lupa menyebutnya”

“yang mana Tante ?“ Audrey mengikuti telunjuk Mama Zweta.
“Atap Tanah Jawa,” Mama Zweta cepat-cepat menyebutkan.
“itu kangunung Semeru, Tante,” Rania menimpali
“ya. gunung Semeru dengan puncaknya Mahameru. Gunung tertinggi di pulau Jawa. Kalau kalian penikmat alam bebas. Kalian harus pergi kesana. Keindahannya seperti hamparan surga di atas bumi,“

“Tante, kenapa hobi sekali dengan naik gunung ?, bukannya itu kegiatan yang didominasi laki-laki ?” Granadatiba-tiba bertanya lirih. Sementara Mama Zweta tersenyum lembut mendengarnya.

“kalian pernah mendengar cerita mengenai srikandi petualang Indonesia?”
“belum, Tante”, “belum pernah”, Audrey, Rania, serta Granada menjawab nyaris bersamaan. Dan hanya Zweta yang menguntai senyum mendengar pertanyaan Mamanya. Ia memilih diam tak berkomentar.
“kalian pernah mendengar perempuan Indonesiayang menjelajah dan menaklukkan Himalaya ?”
“belum, Tante”, Audrey makin bersemangat, sementara Granada dan Rania semakin penasaran.

“ah Mama”
Zweta tersenyum tatkala melihat senyum Mamanya, baginya benar-benar teduh dan menyejukkan.

“tahun 1987 tim petualang putri Indonesiaberhasil menjejak puncak Imja Tse  atau yang lebih dikenal dengan Island Peaksetinggi 6169 meter di Himalaya, Nepal. Setelah itu di tahun 1989, srikandi kita melaksanakan ekspedisi  yang luar biasa. Namanya Ekspedisi Wanita Alpen Indonesia”,

“ada 5 puncak tertinggi di 5 negara Eropa yang menjadi target pendakian. Mont Blanc 4.807 meter di Perancis, Grand Paradiso 4.601 meter di Italia, Monterosa 4.634 meter di Swiss, Grossgiockner 3.978 meter di Austria, dan Zugsptee 2.964 meter di Jerman Barat”

Rasa-rasanya bulu roma meremang tatkala mendengar kalimat itu. Sangat inspiratif, mengharukan, dan menggugah kesadaran.

“dan setelahnya kaki-kaki srikandi kita berusaha menjejakkan kaki di atap-atap dunia. Puncak Annapura IV setingggi 7525 meter, Aconcaguasetinggi 6.960 meter, bahkan Puncak Everest”
“Puncak Everest ? puncak tertinggi ??!! ” Audrey terkejut
“ya. Puncak Everest. Bahkan tak cuma pendakian gunung mereka lakukan, gua-gua dijelajahi, mengarungi jeram dari Amerika hingga sungai Zambezi di Afrika, tebing-tebing tegak di dalam negeri hingga Cima Ovest di Lavaredo Italia “

“mereka perempuan yang hebat, Tante. Sangat inspiratif !” Rania tercengang.
“aku juga nggak nyangka” Audrey serasa tercerahkan.
“perempuan dan lelaki itu tak ada bedanya, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang bersifat kodrati. Cuma terkadang konstruksi sosial menafsirkan makna yang tidak tepat terhadap kodrat perempuan. Simpul masalah sebenarnya terletak disitu. Salah tafsir”    

Audrey mengangguk pelan, sementara Rania tersenyum kagum.
“cerita petualangan lagi, Tante.” Audrey meminta. Ia mulai menduduki batu besar di Pelataran Ombo.

Sementara cemerat senja masih belum tertarik seluruhnya. Sunset masih menjelang datang, sementara nyanyian serangga senja terus terdengar bersahutan. Perempuan paruh baya terus asyik berdiskusi dengan kawan-kawan Zweta, ia menikmati benar suasana eksotis di Pelataran Ombo. Dan setelah umurnya tak lagi muda, seluruh rangkuman perjalanan hidupnya terasa mengalir jernih. Ia berusaha membagi pemahaman hidupnya dengan perempuan seumuran putrinya. Ia terus bercerita,


“Tante yakin kalau di pikiran bawah sadar kita telah lupa, bahwa kita punya salju abadi di Puncak Cartenz dan Jayawijaya”
“betul, Tante. Negeri khatulistiwa yang mempunyai salju abadi. Tapi kita seolah tak sadar memilikinya,” Granadamengiyakan.
“salju abadi yang makin mencair .. terancam pemanasan global,” Rania urun pendapat
 “ya, itu berita sedihnya, salju di Cartenz makin mencair. Tak hanya di negeri kita, permasalahan seperti itu melanda seisi bumi. Global warming.” Zweta akhirnya bersuara

“Sebenarnya dengan menjelajah alam bebas, kita diingatkan karunia Tuhan yang luar biasa atas negeri ini. Kalian harus menjaga ini semua karena merupakan titipan dari anak-cucu kalian, bukan warisan dari nenek moyang. Dan nantinya, jangan sampai anak-anak kalian mendengar cerita mengenai kepunahan badak ujung-kulon, bekantan, atau harimau-sumatera,” Mama Zweta berhenti sejenak

Zweta terdiam menatap wajah Mamanya. Entah kenapa raut wajah yang sebelumnya lembut kini terlihat bersemangat.  

“kalian menikmati berada di alam bebas ? seperti mendaki gunung saat ini ?”
“sangat menikmati, Tante”, “ya”, “tentu, Tante”, Mereka menjawab hampir bersamaan.
“syukurlah. Tetapi mendaki gunung bukan cuma sekedar meniti jalan dari kaki gunung hingga sampai ke puncak. Proses pendakian butuh pengetahuan yang memadai. Makanya ada ilmu mountaineering,
“kalian sudah pernah belajar itu ?”  ia melanjutkan
“belum, Tante,” hanya Audrey yang menyahut
“di dalam ilmu mountaineering kalian akan belajar Navigasi Darat, Manajemen Perjalanan, Survival, Tali Temali, juga Penanganan Darurat ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,”
“belajarnya dimana, Tante ?”
“dulu Tante sering ngasih materi disini,” perempuan itu tersenyum santun
“siapa yang diajar, Tante ?”, Audrey terkejut
“tuh orangnya ! “ ia menunjuk Zweta yang sedang duduk di atas batu besar.
“beneran, Ta ?”
“yaahh bayangkan saja, Drey. Aku mendengar kata mountaineering pertama kali ketika masih SMP,” Zweta menjawab nakal, sementara Mamanya merekahkan senyum.

“sekarang ini ilmu navigasi sudah maju. Ada ponsel satelit, ada Global Positioning System yang sering dimanfaatkan untuk trekking. Sementara ilmu kartografi juga sudah sangat maju. Tapi bagaimanapun juga kita tak boleh melupakan ilmu dasar yang memang sudah harus  hafal diluar kepala”
“kenapa begitu, Tante ?”
“segala alat bantu digital punya kelemahan. Ponsel punya kelemahan di batere, begitu juga dengan GPS yang sinyalnya masih tergantung cuaca dan terkadang terganggu kerimbunan vegetasi. Jadi ilmu dasar navigasi seperti penggunaan kompas harus tetap dipelajari. Mutlak hukumnya bagi seorang yang mengaku petualang,” perempuan itu mengambil kompas bidik dan mendemonstrasikan penggunaannya.

“berartinya kompas bagi pendaki gunung seperti separuh nyawa yang mampu memberikan penunjuk arah. Benda ini tak boleh jatuh, lepas, atapun rusak. selain kompas, terrain map  dan manajemen perjalanan yang baik akan menjadi kunci kesuksesan sebuah ekspedisi ..dan satu lagi,”

“Tanda-tanda alam seperti rasi bintang, arah terbit dan tenggelam matahari, juga tanda-tanda fisik yang paten seperti puncak gunung, lembah, saddle gunung, pass, dan alur sungai harus tetap menjadi acuan dalam orientasi medan
“terus-terus tante !”, Audrey matanya semakin berbinar. Ia makin kagum dengan Mama Zweta.
“ya begitulah. Ilmu apapun wajib digunakan untuk mendukung kegiatan kita. Banyak kecelakaan pendakian terjadi karena kesalahan pendaki sendiri. Kebanyakan mereka kurang memahami karakteristik tempat yang akan dituju. Tapi memang, diatas semua itu Tuhanlah yang menentukan”
Semua terdiam dan berusaha mencerna kalimat itu.
“kira-kira nih, kalau kalian dipaksa untuk bertahan hidup dari alam yang ada disini. Tiga hari saja ! diisolasi nggak boleh turun gunung, berani nggak ?”,

”wah. Susah Tante” Audrey celingukan memandang hamparan hutan di sisi barat.
“nah itu juga masuk dalam materi Mountaineering. Namanya jungle survival. Kalian akan dikenalkan sumber makanan alternatif yang bisa dimakan tatkala terdesak, termasuk prosedur dalam mendapatkan sumber makanan dan air minum”
“wah asyik juga, Tante”
“ya. seru dan menantang”
“dan yang terakhir, kalian sebagai penikmat alam harus memahami pentingnya kelestarian alam. Keberadaan mereka sangat penting, karena itu di kalangan penggiat alam bebas ada istilah leave no trace”,
“leave no trace ?” Rania, Granada, dan Audrey sedikit heran dengan istilah yang baru saja diucapkan Mama Zweta.
“ya. Leave no Trace. Take nothing but pictures, leave nothing but footprints, itu pedoman para petualang sedunia,”


“kamu sudah diajari apa aja, Ta ?” pertanyaan Audrey kepada Zweta terasa tak sabar

“ya seperti yang Mama katakan ke kamu itu”,
“busyeeeetttt !!! ck..ck .. ck ..” Audrey berdecak tak percaya.

Dan ketika matahari perlahan turun ke peraduan, mereka menyaksikan keindahan  pertunjukan kuasa alam. Hingga cemerat senja terakhir menarik diri, mata mereka masih terus mengantarnya. Dan ketika kemudian kelip bintang mulai nampak, pertunjukan alam seakan berganti dengan bertaburnya jutaan bintang yang menghiasi langit malam.

Sementara bunyi serangga senja terdengar semakin bersemangat, dan tak lama kemudian angin gunung mulai berisik menyapu lembah dan gugusan bukit-bukit.

***

Tepat pukul 20.13 mereka berhasil menjejakkan kaki di Puncak Panderman. Perjalanan menempuh jalur pendakian serasa terbayarkan. Berjalan membelah punggung Watugedhe, menyusuri ilalang-perdu setinggi kepala, dan kemudian merayap di Tanjakan Setan. Nafas yang terburu akhirnya berakhir di ketinggian 2000 meter di atas permukaan air laut. Beberapa pendaki gunung terlihat membuka tenda, mereka menggelar matras dan menyeduh minuman penghangat sambil tak henti-hentinya mengagumi taburan bintang.

Dan tanyakanlah kepada pendaki gunung, kenapa mereka terpesona atas keindahan langit malam –terlebih ketika berada di puncak gunung. Memandangi rasi bintang, mencari bintang jatuh, dan mengarungi malam sambil mengagumi pendar  cahaya rembulan. Hingga Granada, Audrey, dan Rania menikmati petualangannya kali ini. Di atas langit disuguhi taburan bintang, sementara di bawah puncak Panderman tertampak jutaan titik lampu kota yang terserak tak beraturan, serupa ribuan kunang-kunang yang sedang hinggap dan memilih diam tak bergerak.  

Sementara perapian unggun bergoyang pelan tertiup angin. Beberapa ranting dan dahan kayu teronggok membentuk perapian tipe tepee. Nyala berlimbungan dan bergoyang, memendar bayangan tubuh dan pepohonan yang timbul tenggelam lantaran terpancari.  

“Mama, Selamat Ulang Tahun,” Zweta berkata lirih. Dipeluknya sosok perempuan yang sedemikian disayanginya itu. Bulir-bulir keharuan menyeruak. Sementara Rania, Audrey, dan Granadalarut dalam keharuan. Adabening kaca di mata perempuan paruh baya itu yang perlahan ingin mencair.  

“terima kasih, Sayang.” Perempuan itu makin erat memeluk tubuh putrinya. Rasa cinta yang teramat dalam diekspresikan lewat kecupan di kening Zweta.
“Mama, aku cuma punya sebuah puisi,” Zweta memberikan secarik kertas.
“selamat ya Tante, semoga panjang umur dan berbahagia selalu,” Granada mengikuti Zweta memberikan ucapan selamat dan pelukan erat. Demikian juga dengan Rania dan Audrey.

Sementara tak jauh dari mereka, Andro masih bercengkrama dengan pendaki gunung lainnya.

“puisinya dibacakan, Ta.” Audrey memberikan usul.

Dan kemudian kelopak mata perempuan paruh baya itu tiba-tiba terasa hangat. Buncahan peristiwa masa lalu kembali hadir menerpanya. Menempuh rimba, mendaki gunung, menjelajah belantara, hingga tertawa-tawa ketika dia dan kekasihnya duduk berdua di puncak gunung.

“Nahla-ku, selamat ulang tahun ..”
“kukira sudah lupa,”
“hahaha !!! mana mungkin lupa. Tanggal meletus Revolusi Perancis boleh lupa .. tapi tidak  untuk hari jadi kekasihku”
“mana hadiah puisinya ?”
“puisi ? hahaha ... Cuma puisi yang kamu minta ?!!”
“apalagi ..seperti biasanya”
“O langit malam, saksikanlah ! betapa bahagianya aku. Nahlaku yang cantik ini tak meminta apa-apa di hari ulang tahunnya. Dia hanya ingin sebuah puisi. Padahal dia sendiri adalah puisi bagiku  !!! Malaikat-Senjaku !!”,

Dan perempuan paruh baya itu terus teringat ketika kekasihnya berkata puitis sambil menengadah memandang langit. Serpih kenangannya terus menerpa kuat,

“         Nahla-ku,
selamat ulang tahun. 

Seperti tanggal lima belas Mei sebelumnya,
Dan seperti tanggal lima belas Mei yang akan datang.
Semoga semakin dilimpahkan rasa sayangNya, kepadamu.

Nahla-ku,
Setelah semuanya :
akan ada banyak kata yang kuucap dan kubisik kepadamu
Mungkin masih seperti yang dulu.
Tapi pasti juga ada yang tak seperti dulu.

Nahla-ku,
bagaimana kabar hatimu.
Hati yang hingga kini aku masih berjanji untuk menjaganya.
Hati yang sedemikian tulus  bersedia membuka bilik dan memberikannya, untukku. Dan aku masih ingin tetap seperti itu.

Nahla-ku,
Jangan gundah. Jangan bersedih. Tetaplah tersenyum.

Aku tak punya apa apa dan tak menjanjikan apa apa,
dan kaupun tahu- kata-kata ini masih tetap seperti kata-kata yang dulu kuucap padamu.

Namun , aku dengan yakinku akan terus berkata kepadamu–
Jangan gundah. Jangan bersedih. Tetaplah tersenyum.

Bukan karena kita punya apa-apa, namun,
Jangan takut karena kita masih punya doa.

Nahla-ku, kekasihku, belahjiwaku ;
Hari akan terus meninggi,
Waktu akan terus menggulir,

Menggelindingkan angan-angan dan membernaskan segala yang kita  impikan. Segalanya, semuanya, semoga saja.

Nahla-ku yang aku sayangi, jangan patah semangat.
Teruslah berdoa, dan –
Berbaiksangkalah bahwa :
Harapan kita masih dibungkus Tuhan dengan kertas kado yang paling indah, paling baik, dan paling agung.

Hingga semoga tiap sisa detak nyawa kita diingatkan kemahaanNya, CintakasihNya. Hingga semoga kau ingatkan aku untuk selalu tak lepas dari jalanNya, selamanya.

Nahla-ku, pikat-rinduku, istriku  yang aku cintai,
Untuk kesekian kalinya kukatakan kepadamu,
Aku hanyalah manusia yang hidup dari dasar angan-angan,
Aku berteman sepi yang teramat panjang . .
Aku berusaha menafsir debu dari pijak gelap langkahku
Sapalah aku - dan berikan aku genggam erat tanganmu untuk mengawalku, kala ketakutan.

Nahla-ku malaikat senjaku,
Seperti tanggal lima belas Mei sebelumnya,
Dan seperti tanggal lima belas Mei yang akan datang pula.
Semoga semakin dilimpahkan rasa bahagiamu.

Selamanya. ”

“ya Tuhan”,  tiba-tiba Nahla berbisik lirih. Buncahan emosi menggenangkan embun di kelopak matanya.

“Ma, kenapa, Ma.” tiba-tiba Zweta menyentak kesadarannya.
“tak apa-apa, Sayang. Mama tak apa-apa .. “ ia tersenyum haru saat menyeka kelopak matanya.


***

Posting Komentar

 
Top