0

Musim telah berganti. Awan hujan comulunimbusmembumbung tinggi, membentuk cendawan raksasa yang terpilin-pilin hingga ke petaka langit. Dan saat awan makin berat menggelayut, presipitasi  yang terus berputar sesuai siklus hidrologi tak sabar lagi meluncur jatuh ke permukaan bumi, bagai anak kecil yang tak sabar menapakkan kakinya di atas bumi.    

Matahari yang sedari pagi benderang kini malu bersembunyi di kegelapan langit. Ia nyaris berada di atas kepala namun sedikit condong ke sisi timur. Di tempat itu, memendar redup mahacahaya yang tertahan awan. Demikianlah siang ini, langit menggelar kegelapan walau jam menunjuk pukul 11 siang.

“di sisi barat pastilah hujan”, demikian batin pengemudi kendaraan yang sedang bergerak menuju arah barat. Mobil yang datang dari arah berlawanan terlihat basah kuyup, whipernya pun masih bergerak mengayun seragam. 

Kampus Keprabuan masih menyisa denyut nadi aktivitas. Di banyak sudut gedung, para mahasiswa berbincang mendiskusikan banyak hal. Wajah-wajah mereka rileks, mereka seakan membunuh waktu. Dan memang saat ini adalah jam kosong karena Pak To’at sebagai pengasuh mata kuliah Kalkulus III sedang  menderita sakit tenggorokan akut. Banyak mahasiswa yang sangat menyayangkan ketidakhadiran Pak To’at, namun di sisi lain, mahasiswa gazebo golongan “pengadu merpati” adalah kaum yang sangat diuntungkan. Karena secara otomatis, mereka mempunyai waktu lebih panjang untuk bersuit-suit menyongsong para mahasiswi  melintas di pedestrian. 

Setelah tragedi cinta setahun lalu, Audrey mulai jarang nongkrong di café fakultas, namun tak urung pesonanya masih tersimpan di benak banyak mahasiwa penguber cinta.

Dan saat ini sementara banyak kawannya berbincang membunuh waktu di ruang kuliah, Audrey, Rania, dan Zweta sedang berdiri di atas balkon. Mereka menghadap ke arah barat, menikmati hembusan angin yang terus menerus menerpa wajah.

Audrey tersenyum manis saat rambut mayangnya tergerai dibelai angin. Sementara di samping Zweta, Rania sesekali memejamkan kedua matanya. Ya, ia merasakan tiupan angin menyentuh lembut paras wajahnya. 

“lihat, Ta ! derai hujan,” Audrey menunjuk naungan awan gelap yang mencurahkan jutaan titik air.
“Benar-benar agung, Drey. Keindahan tersendiri tatkala langit sedang gelap,” Zweta menyahut tenang sambil memandang sekilas Audrey. Ia menemukan momen poetica.
“tetapi bagian yang paling indah belum datang, Drey. Semoga sebentar lagi,” Rania tiba-tiba berkomentar. Ia memandang derai hujan di sebelah barat, dan kemudian menilik letak matahari yang bersembunyi di atas awan.
“ada apa, Ran ?”Audrey sedikit bingung
“tunggulah, semoga sebentar lagi.” Rania menguntai senyum, dan lagi-lagi ia memejam mata menikmati hembusan angin yang menyentuhi terrain wajahnya.

Sementara pelepah kelapa di kampung Kutobarat bergerak melambai, sementara dedaunan kering mahoni terus jatuh berguguran.

Kini seluruh pepohonan di hutan kampus mulai bersolek menyambut hujan. Mereka mengeluarkan aroma wangi petrichor –sebuah aroma menyenangkan yang terserap tanah dan dilepaskan ke udara menjelang hujan. Aroma keharuman natural bercampur aroma tanah, ah –seakan aroma itu adalah minyak wangi yang ditebar sang pecinta tatkala menanti perjumpaan dengan pujaan hatinya.   

“nah. Ini dia, Drey !” Rania tiba-tiba sedikit mengangkat  wajahnya. Perlahan-lahan  awan tebal yang menudung matahari mulai membuka. Sang mahacahaya berseri kembali, dan cahayanya menyorot panjang ke arah barat.  

“pelangi,“  Zweta dan Audrey berbisik nyaris bersamaan.
“ya. Inilah bagian terbaiknya,Drey. Pertunjukan pelangi,” Rania menyahut mengiyakan keindahan celerat triwarna di langit barat.

“Mama, aku kangen” Zweta berbisik dalam hati. Saat melihat bianglala yang melengkung indah di sisi barat, Ia seketika teringat Mamanya.  Melihat gugusan awan dan derai hujan di ufuk barat, Ia yakin rumahnya saat ini sedang diguyur hujan. Entah kenapa bilik ingatannya membuka kenangan masa kecil ketika hujan jatuh berderai bersama suara petir berdentaman. Ya- Zweta teringat suatu masa ketika dirinya takut gelegar petir.

Dulu ketika mendengar gelegar petir, Zweta selalu  ketakutan dan menutup telinga,  ia selalu saja menangis tak bisa tidur. Dirasanya suara yang menggelegar adalah suara makhluk langit yang sedang memarahi penghuni bumi. Memaki-maki, berteriak-teriak sambil melecutkan cemeti cahaya, dan bersiap muncul dengan wajah yang mengerikan.  Melihat Zweta kecil yang ketakutan, dengan penuh kasih Mama menemani dan memeluknya. “Sayang, jangan takut, itu cuma suara petir, anak pintar tak boleh takut petir karena suatu saat kamu akan mampu menangkap petir”. Dikatakannya kalimat itu tiap kali Zweta ketakutan mendengar gelegar petir, dijelaskannya asal muasal petir dengan bahasa yang sederhana hingga akhirnya perlahan-lahan Zweta tak lagi menutup telinga ketika mendengar gelegarnya. Pernah suatu ketika setelah tak lagi takut gelegar petir, Zweta bertanya kapan ia mampu menangkap petir. Dan Mamanya menjawab, agar mampu menangkap petir maka kamu harus pandai belajar Ilmu Alam. Aha ! kini Zweta tersenyum mengenang kata-kata Mamanya puluhan tahun lalu. Kata-kata sejuk nan lembut yang membuat kerinduannya semakin membuncah.   

Hingga tiupan angin membuat hawa semakin dingin, mereka bertiga beranjak meninggalkan balkon dan kembali memasuki gedung. Matahari yang nampak sesaat kembali lagi bersembunyi. Pertunjukan bianglala telah usai, dan hujan pun merayap datang.

Sedemikian deras derai hujan hingga emosi langit serasa penuh tertumpahkan. Air tercurah begitu banyak, poritanah dan akar pepohonan terbasahi seluruhnya. Titik-titik hujan yang jatuh di atas genangan nampak berloncatan, dan kini burung-burung penunggu hujan terbang melesat menangkapi tetes-tetes air dengan paruh terbuka. Hingga jam 14.30, hujan baru berhenti. Lengas tanah terisi air, rongga tanah pun menjadi jenuh. Sementara air limpasan masih meluncur deras di kolong-kolong saluran drainase.   

Ketika hujan reda, para mahasiswa merapikan buku dan bergegas pulang. Asti menuruni tangga sedangkan Adi sudah tak nampak. Beberapa kawan yang lain termasuk Kompar masih asik bercengkrama, ia menikmati gurauan yang terkadang berlebihan. Tak nampak Damar kuliah hari ini, begitu juga dengan Emma.

Sementara di cafe fakultas,  Baldo dan Triadi duduk tenang menyandar punggung. Triadi nampak lelah, sementara Baldo berwajah kusut bernafas dalam. Serasa hujan yang baru saja berhenti, mewakili perasaan Baldo yang sedih dan gundah. Kejadian dua semester lalu ternyata masih membekas di hatinya. Saat-saat ketika Audrey dengan gamblang mengucapkan bahwa ia tak bersedia menjadi pacarnya. Perempuan berambut mayang itu sampai saat ini masih terbayang di otaknya. Ia faham benar bagaimana Audrey bicara, tersenyum, tertawa kecil, bahkan menyibak rambut indahnya. Terasa seperti keseluruhan memori Audrey sengaja ditanam kuat-kuat di dalam otaknya.

Terkadang di saat sepi menjelang tidur, angannya terbang mengingat saat-saat ia menjelaskan materi kuliah kepada Audrey. Saat perempuan itu mengerling indah, atau juga saat dengan lembut mengucap kata terima kasih. Benar-benar kenangan berharga yang patut dikenang. Dan menyaksikan para pemburu Audrey bertumbangan, ia pun bersorak gembira karena menemukan kawan senasib sepenanggungan.

“huhh ... apa yang sebenarnya kamu cari, Drey.” Baldo menarik nafas kala teringat Audrey, ia terus memendam rasa penasaran.

Melihat Baldo sering menatap nanar, Triadi sepertinya tak tega dan tak habis pikir. Kenapa Baldo yang dulunya tegar dan berwatak keras bisa sedemikian loyo seperti singkong rebus kematangan. Hampir setahun kawan dekatnya itu bergeser kewarasan,

“tak butuh benturan benda keras untuk membuat lelaki gegar otak.” Triadi membenarkan kepahitan cinta yang berhasil menggeser kewarasan Baldo.

Senasib dengan Baldo yang tumbang lantaran patah cinta, Jamie malah lebih sering melamun. Entah kenapa setiap suku kata Ferischa Rania Putri menjadi seindah puisi ketika diucapkan. Membayangkan senyum Rania yang memang manis malah membuat hatinya semakin pilu. Diukirnya nama Rania di banyak benda, namun kelakuannya itu malah membuat hatinya berdenyut-denyut tak karuan. Teramat nyeri. Sakit tak tertangguhkan.

Sepanjang sejarah cintanya, tak pernah Jamie mengalami nasib sedemikian merana. Anugerah sebagai pewaris bisnis kontraktor membuat dirinya digandrungi banyak perempuan. Namun entahlah, kali ini seolah waktu menyuguhkan fakta yang lain. Ditampik cintanya oleh perempuan seperti Rania membuat Jamie seakan siap untuk melakukan hal paling gila sekalipun. Ingin ditunjukkan sikap rela berkorban kepada perempuan yang terus menerus mengganggu hatinya itu, namun Rania sepertinya tak mungkin bergeming. Perempuan itu memang istimewa dan Jamie menyadarinya. “seseorang yang sungguh-sungguh mencintai akan membuat orang yang dicintainya merasa bebas”. Kata-kata Rania ketika menolak cinta seketika menghentikan detak hasratnya. Kata pamungkas itu menjadi pameo yang ia kutuk sampai kapanpun. Kini Jamie keseringan murung tak bergairah. Seakan setiap kali fajar datang, ia pun telah bersiap dirundung nasib buruk berkepanjangan. Namun ada satu hal yang membuat Jamie sedikit terhibur, yaitu ketika menyaksikan beberapa seniornya bergeser kewarasan setelah mengalami patah cinta seperti dirinya, dan juga setelah mengejar perempuan yang sama, Ferischa Rania Putri. 

***
Fakultas Kedokteran,

Sisa tangisan langit memaksa burung-burung mengibaskan bulunya yang basah. Dan ketika batang pohon masih melelehkan sisa air hujan, dua ekor klarap menempel erat-erat di kulit pohon sambil sesekali menjulurkan lidahnya. Matanya berkedip pelan, mereka berancang-ancang melompat ke batang pohon mahoni sejarak 6 meter di depannya. Sementara angin sesekali bertiup, sementara sisa air hujan masih menggenang di cekung-cekung tanah.

Di ruang laboratorium Patologi Anatomi, Granadayang memakai jas laboratorium warna putih, sedang mengamati perubahan sampel percobaan. Jarinya mengatur fokus lensa, sementara matanya mengintip benda mikroskopis yang membesar ribuan kali lewat lensa okuler.

“ups. Patologi Anatomi, mencari jarum ditumpukan jerami,” Granadaberujar dalam hati. Ia mencoba menguasai dasar ilmu yang mempelajari kelainan struktur mikroskopik dan makroskopik berbagai organ dan jaringan yang disebabkan penyakit ataupun proses lainnya. Raut wajahnya berpikir keras, ia berusaha membandingkan hasil percobaan dengan hipotesa analisis –sesuai dengan teori medis literer dari buku-buku diktat kedokteran modern. Perempuan itu seakan larut mengarungi pemahamannya, dan tak lama kemudian tangannya bergerak cepat menuliskan kesimpulan observasi di lembar catatan.

Granada terus asyik mengamati sampel percobaan ketika kawan-kawannya telah undur diri satu persatu. Sementara bunyi detak jam dinding tak mampu mengusiknya. Namun tak lama kemudian lapar dan dahaga memaksa dirinya menilik waktu. Dan ketika  rasa lapar tak lagi mau berkompromi, ia bergegas merapikan meja dan bersiap untuk pulang. Dari jendela laboratorium, dilihatnya langit sudah terang benderang, gerombolan awan kelabu berangsur menyingkir tertiup angin.

“Rania pasti sudah menunggu,” begitu pikirnya. Tak ada panggilan ponsel ataupun pesan singkat dari adiknya. Dan setelah berpamitan dengan teknisi laboratorium, ia pun bergegas keluar sambil mendekap buku-buku diktat kedokteran.

“wah kebetulan,” tiba-tiba suara Rania terdengar menyambutnya. Dan sosok adiknya  itu telah berdiri di depan pintu.

Sementara senyum lelah Granadatersungging, ia nampak keberatan mendekap beberapa diktat ilmu kedokteran sekaligus.

“sini, Kak.”  Rania bergegas menyongsong dan membawakan satu buku setebal 17 cm.
“wuih. Ini diktat apa buat nimpuk maling ?” Rania berkomentar nakal, namun Granadamemilih tak mengomentari kalimat adiknya.
“gimana kuliah kamu ?, beres ?” Granada berkata datar.
“lumayan  .. agak pusing ..”
“sakit ?” Granadamenoleh dan memandang seksama adiknya
“nggak kok. Terlalu lama loadingpelajaran,“ Rania menjawab tenang sambil tersenyum. 


Di semester ini Granadacukup sibuk dengan jadwal praktikum. Dan secara berkala, ia juga pergi ke rumah sakit untuk memenuhi kewajiban akademik. Kemudahan akses yang diberikan pihak Rumah Sakit menjadikan Granadatak menyiakan waktu dan kesempatan.

“aku harus menjadi dokter yang lain ,” demikian ia selalu bercita-cita.  

Dokter Almany Respati mempunyai dua putri yang terlahir dikaruniai paras cantik. Paras kedua putrinya tak jauh beda dengan paras cantik istrinya –seorang perempuan sederhana yang dulu dikenalnya saat mengabdi di sebuah desa. Lebih-lebih Rania, putri bungsunya itu seakan menjadi duplikat istrinya ketika masih muda. Yang membedakan keduanya hanyalah warna pupil mata. Kalau istrinya memiliki warna pupil hitam pekat, maka Rania mewarisi warna pupil dari dirinya yaitu coklat muda.

Terlahir dari keluarga berkecukupan tak membuat Granada dan Rania merasa berbeda. Mereka berdua terdidik dengan pengajaran moral untuk menghargai setiap nilai kemanusiaan. Dan memang, Respati selalu mengajarkan kesederhanaan serta penghargaan yang tinggi kepada nilai-nilai humanis sebagai manifesto profesi yang ia jalani.

Granadaputriku, karena kamu memilih jalan hidup sebagai seorang dokter, maka lebih hargailah kehidupan. Belajarlah prinsip hidup dari dokter-dokter Stovia. Mereka di jamannya terlahir sebagai kaum cerdik pandai dan terpelajar. Namun seperti yang kamu pelajari dalam sejarah, otak mereka menjangkau langit namun hatinya tetap membumi dan melingkupi ibu pertiwi. Rasa kemanusiaan dan cinta tanah air tumbuh subur dalam pribadi mereka .. ”, begitulah pesan Papa-nya ketika Granadamulai terlibat di dunia medis.  

Seringkali Granada diajak terlibat langsung sebagai asistennya, mengelola sebuah klinik kecil di pinggir kali. Nama kliniknya pun sama dengan lokasinya yaitu “Klinik Pinggir Kali”. Disana Respati mengajari Granadabersentuhan dengan dunia yang sebentar lagi ditekuni putrinya. Di tempat itu Granada melihat rumah-rumah reyot berdesakan, gang-gang tikus, perkampungan kumuh, dan warga terpinggirkan yang tinggal di bantaran tepi kali. Dengan melibatkan Granada di klinik kecil itu, seolah Respati ingin memperlihatkan sebuah tanggung jawab kemanusiaan pada profesi yang sebentar lagi ditekuni putrinya.

Respati memandang langkahnya mengajak Granada sebagai pendidikan kemanusiaan, sebuah pelajaran yang tak diajar secara intens di dunia akademis. Seringkali pula Respati memberikan pengertian dan ceramah singkat di depan Granada mengenai hakekat ilmu kedokteran. Ilmu yang seharusnya membumi dan tidak melangit seperti sekarang. Ilmu yang bermetamorfosa menjadi ilmu yang rumit berbelit-belit ketika uang tak segera hadir di meja pengobatan.

“Granada Putriku, amalkan segala yang sanggup engkau lakukan. Insya Allah kamu akan bahagia,” seringkali Respati mengatakan kalimat itu ketika menutup pelajaran yang disebutnya sebagai pelajaran kemanusiaan. Dan ternyata dengan mengajak Granadamenjadi asistennya, calon dokter itu mulai memahami kenapa Papanya repot-repot terjun mengelola klinik pinggir kali. Granadamerasakan sesuatu yang ganjil ketika melihat senyum tulus para pasien.

“mungkin ini yang dimaksud Papa sebagai kebahagiaan,” hatinya beresonansi halus ketika menerima tatapan mata dari sang pasien. Tatapan mata penuh terima kasih, tatapan mata yang mengartikan kehadiran malaikat penolong di sekitar mereka.


Sementara itu, mobil yang ditumpangi Rania dan Granada telah sampai di gerbang rumah. Mendengar suara mesin mobil yang khas, sosok perempuan tua yang biasa dipanggil mbok Jah bergegas keluar dan membuka kunci garasi. Dan tak lama kemudian mobil itu telah berdiam diri di garasi.

“pasti sudah lapar,” Mbok Jah memandang penuh kasih sayang kedua perempuan yang turut diasuhnya sejak masih kecil.
“iya nih,Mbok. Lapar banget,” Granadamembalas dengan senyum lelah saat mengangkat beberapa diktat di bangku tengah.
“sini biar Mbok bawakan,” perempuan tua itu mengulurkan kedua tangannya.
“ah nggak usah, Mbok. Berat.”, Rania menolak dan bergegas mengambilnya sendiri.

Melihat kedua putrinya telah datang, perempuan paruh baya menyambut mereka dengan senyum manis, serasa hanya inilah senyum yang mampu menyamai senyum indah milik  Rania.
“sayur asem kan, Ma ?” Granadaberujar singkat sambil tersenyum lelah.
“iya, Sayur Asem dan pepes tongkol ..”,
“wah  !! Mak Nyus tuh, Kak “,
Komentar spontan Rania disambut senyum Mamanya yang terkembang makin lebar.

Sementara Mbok Jah menata meja dan menyiapkan makan. Rania dan Granada tersenyum ramah mengucap terima kasih.

“Papa kemana, Ma ?” Granadabertanya sambil menaruh bukunya.
“tadi sih bilangnya ke Pinggir Kali. Ntar sore kamu diminta nyusul,” perempuan paruh baya itu menjawab ringan.
“Ma, nanti malam aku mau keluar sama Zweta dan Audrey,” Rania memotong percakapan. Aturan keluarga menyaratkan kalau Rania ataupun Granada keluar malam harus seijin Mamanya.
“Tapi pulangnya jangan malam-malam, Sayang”, 

Perempuan itu mengijinkan Rania pergi keluar, dirasanya akan aman apabila Rania pergi bersama kedua kawan akrab yang seringkali bermain ke rumah. Mama Rania juga telah mengenal Zweta dan Audrey dengan baik. 

“aku balik jam 10, Ma. Mau lihat Pentas Rakyat ,“  
“memangnya ada ?”  Granada bertanya cepat
“ada, Kak. Di halaman student center, dekat Unit Aktifitas Kemahasiswaan”,
“sejak kapan kamu tertarik kayak gitu, Ran?” Mama tiba-tiba merasa heran dengan Rania. Ia merasa anaknya tak pernah tertarik dengan dunia seperti itu sebelumnya, tapi kini tiba-tiba Rania ingin melihat pertunjukan pentas rakyat.
“diajakin Zweta, Ma. Katanya sih keren ..” Rania menjawab sekenanya.

Dan ketika Granadabangkit menuju ruang keluarga, Rania dan Mamanya masih terus berbincang. Hingga ketika tarian jemari Granadalincah memainkan melodi Piano in the Forrest, Rania dan Mamanya perlahan tenggelam menikmati keindahan susunan nada piano yang mengagumkan, dan juga menyejukkan.

***

Setelah makan siang, Rania beranjak memasuki kamar dan kemudian menyalakan keping DVD kegemarannya yaitu musik klasik. Baginya musik klasik adalah jenis musik yang menuntut kedisiplinan tingkat tinggi. Tiap alunan musik berpadu membentuk pola yang rumit dan tak mudah. Adasemangat, ada optimisme, ada pula harapan, demikian ia menafsirkan keeksotisan musik klasik. Rania bisa memainkan beberapa instrumen klasik menggunakan biola miliknya, tetapi untuk jenis lagu tertentu ia membutuhkan latihan yang tak sebentar. Dan ketika kelopak matanya mengatup tertidur, serenada kecil Eine Kleine Nachtmusik karya Mozart perlahan-lahan menuntunnya memasuki alam mimpi. Pergerakan nada sonata allegro yang lincah, Romanza yang anggun, dan Menuetto yang meliuk-liuk, mengiringi perjalanan Rania memasuki hamparan padang rumput yang membentang luas di negeri mimpi.  


***

Posting Komentar

 
Top