0

Senin, 08.00, Sehari setelah pemancangan Bentos

Degar terdiam seribu bahasa, kebisuan menambah kebekuan wajahnya. Lelaki itu nampak seperti karang menunggu ombak. Teguh, tabah, tak banyak bicara. Ia duduk beralas tanah sambil menyandarkan punggung di pagar proyek sisi timur. Sementara puluhan anak buahnya menyebar dan mengatur aksi sesuai instruksinya.

Sayup-sayup terdengar teriak cacian sekaligus kutukan dari arah barat. Ia tahu kalau cacian itu ditujukan kepada dirinya, anak buahnya, juga kepada embrio bangunan yang kini dijaganya. Namun sejauh ini Degar masih merasa menang. Tak ada halangan berarti yang merintangi pekerjaannya. Semua berjalan sesuai isi otaknya. Namun ada satu ganjalan. Ya, Tejo yang telah masuk bui dua minggu lalu, serta dua orang lagi yang sebelumnya memukul aktivis di depan gedung legislasi. Dengan kejadian yang menimpa ketiga anak buahnya, Degar faham harus berbuat sesuatu yang paling ia benci. Ya. Ia harus mengabarkan ditangkapnya sang kepala keluarga kepada istri mereka masing-masing, dan itu bukan perkara mudah. Degar tetaplah manusia biasa walau kekerasan telah menempanya sejak lama. Dan yang tertinggal di jiwa Degar tinggallah inti besi yang paling keras, setelah dibakar dan ditempa api sekaligus palu kehidupan yang menghantam berkali-kali tak kenal kompromi.
    
“di sekolah nanti, kalian akan merasakan betapa nikmatnya kopi cap matahari,” ia sering mengucapkan kata-kata itu kepada anak buahnya yang tak pernah “bersekolah”, begitu ia penyebut Penjara dalam kamus kehidupannya.
“memangnya ada, Kang?” Degar sering ditanya mengenai kalimatnya itu.
“hahaha. Tentu saja. Kalian memanaskan air dengan terik matahari. Selanjutnya setelah jam 12 siang, kalian bisa mencampurkan kopi ke dalamnya, nikmat sekali ... ”

Degar tersenyum pahit saat mengingat kopi cap matahari, kala ia dipenjara beberapa tahun lamanya lantaran kasus pencurian sarang walet. Ya, ia menyebutnya bersekolah. Karena sepulang dari penjara banyak penjahat makin pintar. Yang sebelumnya hanya maling ayam, mereka naik derajat menjadi pembandrek motor. Bahkan dirasanya penjara menjadi tempat diskusi lintas keahlian. Hingga yang semula tak tahu menjadi faham, dan yang semula cuma faham, kini naik derajat menjadi penjahat kambuhan. Namun, ia tak menafikan kenyataan bahwa penjara mampu mengubah jalan hidup banyak orang, ya -ketika ia melihat manusia bersujud dan tersedu setiap malam karena menyesali kelamnya perbuatan di masa lampau. 


Degar kemudian bangkit. Ia mendengar gegap suara yang semakin keras. Mendengar suara yang menggemuruh, ia yakin aksi kali ini jauh lebih besar dari kemarin. Ia memutar otak dan menyiapkan segalanya. Bagai panglima perang yang terlatih, ia mempersiapkan serangan atas benteng yang dijaganya. Dan kini Ia bersama pasukannya bersiap diri. Dengan langkah kaki yang tegap, ia berjalan tenang menemui anak buahnya.

***
Sementara pagi ini seluruh elemen mahasiswa berkumpul mengelilingi tiga tenda di ujung boulevard. Beberapa pentolan mahasiswa melakukan orasi sambil mengibarkan bendera merahputih. Spanduk penolakan mewakilkan kegeraman.

Di dalam tenda, aksi mogok makan terus berlangsung. Setelah sehari tak makan, para martir mulai merasa lemas dan lesu. Beberapa dari mereka berbaring tenang di dalam tenda, mereka terpekur linglung. Sementara hiruk pikuk aksi terdengar keras melobangi telinga. Granada dan tiga mahasiswa kedokteran masih setia menunaikan jadwal pemantauan kesehatan. Mereka mengecek kondisi kawan-kawan yang melakukan aksi mogok makan. 

Dan di pagi hari ini, Rektor Universitas Keprabuan, Keguruan, dan Institut Teknologi Rekayasa telah berkunjung memberikan suntikan moral. Mereka sempat menyampaikan orasi singkat di depan para mahasiswa. Dan forum rektor menyatakan memilih menggunakan aksi lobi daripada turun ke jalan. Mereka mencoba menggunakan kekuatan lobbying di tingkat atas.

Sementara antrean kendaraan mulai terlihat, para sopir terlihat tak sabar dan membunyikan klakson secara serabutan. Para Petugas lalulintas kemudian mencoba mengatur dengan menutup satu jalur yang digunakan pengunjuk rasa, sementara jalur lainnya digunakan untuk  lalu lintas dua arah. Walau demikian, antrean kendaraan masih terjadi karena arus lalulintas terus menumpuk di satu jalur.

Audrey, Rania, dan Zweta, turut berkumpul tak jauh dari tenda. Mereka berdiri di tengah kerumunan massayang semakin banyak. Tiap kata-kata perlawanan diteriakkan, tangan-tangan mereka turut mengepal ke angkasa. Anggun malah berdiri paling depan. Ia membawa bendera merah putih yang ditalikan di kayu kecil. Wajahnya tak mampu menyembunyikan kesedihan.

“kawan-kawan hadir semua,” Audrey setengah berteriak di tengah lengkingan suara mikrofon. Rambut mayangnya terikat ke belakang.
“kenapa, Drey ?” Rania tak mendengar jelas karena ramainya aksi menelan suara Audrey.
“Kawan-kawan kita ! tuh !”, Audrey menunjuk gerbang kampus Keprabuan. Dilihatnya Kompar sedang duduk termenung. Mahasiswa itu memandangi sisa-sisa reruntuhan warung lesehannya. Tak jauh dari tempat Kompar nampak pula Jamie. Entah mengapa Jamie yang tak pernah tertarik aksi kini mulai bergabung. Tubuhnya yang tambun terus-terusan memandangi Rania dari jauh. Sementara Baldo dan Triadi, senior-senior tua berotak ompong memesan es kolang-kaling yang terpajang menggoda di atas gerobak.


“kawan-kawan ! mari bergerak dan  terus melawan !” seorang aktivis berteriak kencang di ujung mikrofon. Telunjuknya lurus menunjuk lokasi Bentos di sisi timur.

Seketika langkah pengunjuk rasa menyeruak menuju lokasi Bentos. Mereka berjalan teratur, spanduk-spanduk bergoyang ringan mengiringi jangkauan kaki. Kompar dan Jamie bergerak cepat memasuki barisan. Sementara Baldo dan Triadi tergopoh karena pesanan es kolang-kaling baru saja berada di atas tangan.  

Para pengayuh becak yang sehari-hari mangkal di Jalan Pahlawan menatap kerumunan massadengan pandangan kagum. Betapa anak-anak muda itu memiliki semangat yang luar biasa. Bergelora, berapi-api, dan giras melawan ketimpangan. Sementara para pekerja media terus mengikuti perkembangan dan memantau di lapangan.

Entah dari mana datangnya, ternyata Abah, Kang Diman, Kawan-kawan LSM, aktivis lingkungan, juga kawan-kawan LBH, datang bergabung dengan barisan mahasiswa. Rupanya mereka menanti di sudut jauh antara tenda dan lokasi Bentos. Dan seperti biasa mereka membaur ke dalam barisan. Bahu-membahu beriringan. Sekencang-kencangnya meneriakkan ketidakbecusan Penguasa yang mengambil kebijakan pro pemodal.  

Puluhan petugas keamanan mulai bersiap membentuk barikade. Abah dan beberapa pimpinan elemen mahasiswa, menemui pimpinan petugas dan bernegosiasi sebentar sebelum melaksanakan aksi. Mereka ingin tahu kondisi lapangan yang terjadi. Wajah-wajah serius menghiasi proses negosiasi itu, sementara teriakan penolakan Bentos terus berhamburan semakin kencang.


Melihat lawan beranjak datang, Degar mulai menyiapkan strategi pertahanan. Ia menjadi titik pusat dari puluhan anak buahnya yang berkumpul melingkar. Degar terlihat berhati-hati dan penuh perhitungan. Sementara di depan mereka, para pemuda Pengging terus meneriakkan dukungan terhadap Bentos. Spanduk-spanduk dibentangkan, teriakan pro pembangunan terus digelorakan. Tiga anak buah Degar menjadi kompor semangat di tengah massaPemuda Pengging. Mereka adalah Paimin, Paimo, dan seorang preman lugu bernama Parto yang memiliki tato bergambar daun singkong di lengan kanan. Ketiga orang itu dengan mudah bisa bergaul dengan Pemuda Pengging karena tingkah laku dan kata-katanya yang lucu. Bahkan mereka lebih pantas disebut dagelan daripada trio preman.  


“bagaimana kesiapan kalian ?” Degar berbicara tenang
“beres, Kang” lelaki ceking berambut lusuh menjawab antusias. Jawaban itu diamini oleh anak buahnya yang lain.
“ingat. Jangan sampai kasus Tejo terulang. Kalian harus hati-hati,” Degar mewanti-wanti.

Seluruh massapenentang Bentos akhirnya berhenti 100 meter dari lokasi proyek. Mereka berorasi meluap-luap. Muncul suara kekecewaan, suara makian, bahkan cacian kepada mereka yang disebut sebagai penghianat amanat rakyat. Di depan aksi mahasiswa, berjajar barikade petugas keamanan yang membentuk lima lapis penjagaan. Sedangkan terpisah dua ratus meter, tepat di belakang barikade petugas berorasi pula ratusan massa pendukung Bentos. Mereka berteriak persis gerombolan peracau. Cacian dan umpatan dikeluarkan. Segala alasan yang logis dan tak logis dikumandangkan.

Seno yang sedari tadi berjaga dan menjadi koordinator lapangan tak ingin kecolongan seperti aksi sebelumnya. Wajahnya terlihat tegang dan matanya menyapu detail banyak tempat. Ditangannya tergenggam HT untuk melakukan konsolidasi dengan koordinator lain, termasuk Andro yang minggu kemari sempat menjadi korban kekerasan.

Aksi mahasiswa makin menghebat. Bendera-bendera makin kuat dikibarkan, umbul-umbul terus bergoyang seiring teriakan mereka yang semakin keras dan kencang. Mereka kini membentuk lingkaran penuh dengan menyisa ruang kosong yang cukup lebar di tengahnya. Dan di tengah  ruang kosong itu, berdiri tiap mahasiswa yang didapuk melakukan orasi. Mereka bergantian memberikan kata-kata perlawanan menggunakan mikrofon yang memekakkan.

“Kawan-kawan !”, Anggun kini didapuk berorasi. Ia mengepalkan tangan kirinya ke angkasa. 

“sudah lama para pejuang mempertahankan tiap jengkal dari tanahair kita. Dengan darah, jiwa, dan airmata. Semua demi terciptanya keselarasan, keseimbangan, yang berujung dengan kemakmuran rakyat dalam arti yang sesungguhnya,” Anggun terus mengepalkan tangannya menantang langit.

“Dan saat ini, kita disini meneruskan perjuangan yang telah dirintis oleh para pendahulu kita untuk menegakkan keadilan. Bahwa dalam kenyataannya, kita lihat di depan mata kita sebuah tindakan brutal yang mendompleng nama pembangunan. Sebuah kebijakan yang menginjak-injak martabat rakyat sebagai publik yang harus dilayani dan disejahterakan. Tapi kenyataannya, mereka -Penguasa Kota, telah merampok hak-hak publik, yaitu lahan-lahan hijau kita. Lahan milik publik yang memberikan oksigen, daerah resapan air, dan juga memberikan kedamaian di sekitar lingkungan pendidikan. Maka kawan-kawan, sampai kapanpun kita akan melawannya ! “

“rekan-rekan, kita sebagai anak bangsa akan tetap meneriakkan kata-kata perlawanan jika rakyat terlukai. Jika mereka para penguasa tak berhenti menggadaikan hak-hak publik, maka kita pun akan turun ke jalan meneriakkan perlawanan. Membangunkan hati mereka agar tersadar, mengingatkan mereka agar jangan sampai mati nurani seperti yang kita lihat saat ini. Maka dari itu rekan-rekan, mari satukan tekad !”

“Hentikan pembangunan BENTOS ! Tolak perampokan hak-hak publik ! tolak penghancuran tata kota! dan sampai kapanpun, kita akan berjuang mempertahankan tiap jengkal lahan hijau di kotakita. Hidup Mahasiswa ! Hidup Rakyat ! ” Anggun memukulkan tangannya berkali-kali ke angkasa. Teriakannya diulang-ulang bersama para mahasiswa yang turut menirukan gerak tangannya. Perempuan itu bersuara masif dan tegas. Seperti memiliki aliran energi hingga mampu menggetarkan hati pendengarnya. Dan Seno tersenyum simpul, ya. Ia tersenyum  bangga melihat Anggun berorasi, seolah muncul kelembutan Anggun dari sisi lain yang mampu menggerakkan hatinya.

“Anggun memang seanggun namanya..”, Seno berujar dalam hati.

Setelah Anggun menyampaikan orasi, beberapa elemen mahasiswa yang lain bergantian bersuara. Demikian juga dengan Abah, Kang Diman, serta aktivis lingkungan yang lain. Mereka akhirnya menyanyikan lagu perlawanan sambil berputar-putar. Dan aksi itu berulang-ulang terus- menerus.   

Matahari semakin tinggi menautkan lelah. Sinarnya nyaris jatuh di atas kepala mendidihkan ubun-ubun. Nampak banyak mata yang memicing silau, tetapi perjuangan harus terus digelorakan. Paramahasiswa kini memaksa bergerak lebih jauh. Namun Abah menahan mereka yang berniat melakukan konfrontasi dengan pihak keamanan. Tak jauh di belakang petugas keamanan, Massapro Bentos berteriak-teriak melakukan provokasi. Beragam cacian dan hujatan mengalir dari mulut mereka. Bahkan ada yang sengaja memancing amarah dengan melemparkan potongan kayu.

Spontan saja tindakan itu memancing aksi dorong-mendorong dengan barikade petugas keamanan. Dorongan dari belakang memaksa para mahasiswa di barisan depan merangsek maju hingga berhadapan dengan pihak keamanan. Anggun terhimpit, demikian pula dengan Zweta. Mereka berdua terengah-engah. Sementara Audrey dan Rania yang sempat terjebak telah berhasil keluar dari barisan, mereka memilih menjauh dari barisan pengunjuk rasa. 

“jangan masuk ke barisan lagi, Drey. Mereka mulai ngawur .. “ Rania seakan mengiba meminta Audrey menemaninya.
“oke, Ran. Kita di belakang saja .. disini juga kedengaran kok,” Audrey menjawab sambil mengibaskan telapak tangan di depan wajah. Mereka berdua menghela lelah di bawah pohon.

Sementara hawa panas semakin berkuasa. Dorongan mahasiswa semakin kuat, mereka memilih tak mundur.

Tiba-tiba saja aksi saling balas-lempar tak terhindarkan lagi. Dan dari barisan belakang pengunjuk rasa, entah dari mana asalnya potongan kayu dan batu, beberapa mahasiswa mulai melemparkan benda-benda itu. Kericuhan tak bisa dihindarkan. Abah keluar dari barisan dan berusaha mengontrol sebisanya.
“tenang-tenang ! kendali !!!” Ia menyaut mikrofon dan berteriak menenangkan.  Sementara di ujung lain, massa pro bentos pontang panting kelingpungan. Mereka kelabakan karena diserbu lemparan bertubi-tubi. Mereka kemudian mundur dan mencari benda-benda keras yang bisa digunakan membalas lemparan.

Petugas kemanan lebih bersigap. Mereka mengganti strategi dan membaginya menjadi dua bagian. Mereka membuat barikade pemisah di antara dua massa sambil berlindung di balik tameng masing-masing. Mereka memaksa massa pro Bentos menyingkir jauh ke belakang.

Massa kontra Bentos mulai terkendali setelah Abah, Kang Diman, dan kawan-kawan aktivis lingkungan menyeret sekaligus menenangkan segelintir mahasiswa yang melakukan aksi pelemparan. Salah satu dari mereka yang ditenangkan adalah Kompar. Saat diseret oleh aktivis lingkungan, emosi di dada Kompar masih menggejolak berapi-api. Kegeraman Kompar berlipat-lipat  lantaran menyaksikan reruntuhan warungnya berada tak jauh dari lokasi aksi. Dan karena penggusuran warung lesehannya itu, sahabat yang sekaligus kawan kongsinya- Bombom, terpaksa kelimpungan mencari biaya kuliah.    


Abah akhirnya berhasil menenangkan massa. Pihak keamanan bersigap diri dengan pengamanan yang lebih kuat. Kini peserta aksi memilih membacakan pernyataan sikap terkait rencana pembangunan Bentos. Dan kali ini, Kang Diman didapuk untuk membacakan pernyataan sikap.

“kami ! aliansi masyarakat peduli lingkungan mengeluarkan petisi sebagai berikut ! satu !!! ”

Keamanan mulai terkendali ketika Kang Diman membacakan penyataan sikap penolakan. Pernyataan itu berisi ultimatum untuk membekukan seluruh aktivitas pembangunan Bentos. Wajah-wajah lelah tertampak, Nampak Anggun dan Zweta berdiri di barisan paling depan.  

Setelah pembacaan petisi selesai, Anggun lagi-lagi berdiri sempurna sambil tangan kanannya memegang mikrofon.

“Sumpah Mahasiswa !!!

Kami...Mahasiswa Mahasiswi Indonesia Bersumpah!!
Bertanah air satu..Tanah air TANPA PENINDASAN !!!

Kami...Mahasiswa Mahasiswi Indonesia Bersumpah!!
Berbangsa satu...Bangsa yang GANDRUNG akan KEADILAN !!!

Kami...Mahasiswa Mahasiswi Indonesia Bersumpah!!
Berbahasa satu..BAHASA KEBENARAN !!!”

Sumpah demi sumpah yang diteriakkan Anggun ditirukan masing-masing peserta aksi. Petugas keamanan mulai mengendorkan pengamanan. Sementara di sekeliling barisan, beberapa koordinator lapangan terlihat melakukan rekonsolidasi.

Tiba-tiba dari ujung sebuah Gang, muncul puluhan lelaki kekar. Mereka anak buah Degar yang menerobos lewat lorong-lorong tikus Jalan Pahlawan. Kemunculan mereka seolah membokong posisi para mahasiswa. Ya, Degar melaksanakan taktik kuda-troya dengan melakukan gangguan di belakang pertahanan lawan.

Posisi Kompar berada tak jauh dari mereka, ia masih terduduk di trotoar menenangkan diri. Sementara Seno yang sedari tadi mengawasi perkembangan aksi mulai mencium ketidakberesan.

Dan benar saja. Gerombolan lelaki itu melakukan provokasi. Mereka berteriak- kasar dan juga menantang para mahasiswa berkelahi. Seno dan beberapa kawan bergerak, demikian juga dengan Kompar yang memang memendam geram. Sementara Jamie menghindar, ia memilih menyingkir jauh-jauh. Dan kini tak ada lagi yang membatasi para mahasiswa dengan gerombolan provokator itu.

Abah terkaget, ia tak menyangka. Hujan lemparan kayu dan batu tiba-tiba terjadi lagi. Bahkan Abah nyaris terkena lemparan batu yang melayang di sisi kanan kepalanya. Zweta, Anggun dan kawan-kawan lain melindungi kepala dari aksi lemparan. Kericuhan tak mungkin lagi dihindari.

“Bangsat ! kurang ajar !”,
Andro menyeruak menghadang pelaku pelemparan. Ia berlari sedemikian cepat hingga posisinya berada di barisan terdepan. Ia bergerak maju sambil memunguti batu dan melakukan lemparan balasan. Andro merasa terjepit. Ia berlindung di balik pot-pot taman  berukuran besar sementara batu-batu berseliweran di atas kepalanya.

Pihak keamanan merasa kecolongan, mereka mencoba menghalau massa sebisanya dengan bergerak ke sektor barat. Namun semuanya ternyata diluar dugaan. Aksi berkembang menjadi anarkisme total tak terkontrol. Mereka kuwalahan dan tak dapat mengendalikan keadaan. Melihat petugas keamanan mulai mengendorkan barikade dan membagi kekuatannya, dari arah berlawanan Degar mulai memimpin aksinya. Dan kini para mahasiswa dihimpit dari dua arah.    

Kompar yang mencoba melawan barisan preman akhirnya tertangkap, ia menjadi bulan-bulanan. Ia sempat dipukuli dan berhasil melarikan diri walau akhirnya terjatuh di selokan dan pura-pura pingsan. Seno juga kualahan, ia terhenti sambil melawan sebisanya. Gerombolan lelaki kekar itu tak bisa dilawan oleh beberapa kawan-kawannya. Mereka terkonsentrasi di satu titik sehingga susah diceraiberaikan.

 Rania dan Audrey yang tak jauh dari sumber lemparan berlari mencari tempat perlindungan. Mereka berdua berlindung di balik pohon, namun posisinya masih terlalu dekat dengan sumber lemparan.

Tiba-tiba lelaki ceking dan dua kawannya bergegas mendekati Rania dan Audrey. Mereka terus mendekat sambil melakukan aksi lemparan ke arah kerumunan massa.  

“Drrrey ..”,
Rania mencium bahaya, ia ketakutan. Tak pernah ia sedemikian takut dengan preman-preman bayaran,  ia berusaha menghindar.

Namun entahlah, telapak kaki Rania terasa tak pas saat memijak. Ia kesakitan dan jatuh terduduk. Dan kini tiga orang lelaki itu semakin dekat.

Seno yang melihat kejadian itu segera berlari menuju Rania namun aksi lemparan mempersulit langkahnya.

“ayo, Ran ..” Audrey  merangkul dan berusaha memapah Rania. Audrey tahu dua lelaki itu berniat tak baik. lelaki itu pastilah lelaki kurang ajar yang menganggap rendah perempuan.  Namun Rania makin ketakutan. Wajah ayunya memucat.  

“Drey, aku takuut ..” Rania hampir menangis, tangannya menggelayut di pundak Audrey.
 “Ran, menjauhlah sebisanya,” Audrey memilih melepas Rania meskipun tertatih kesakitan. Ia mengikat rambut mayangnya ke belakang.
“pergilah ..”Wajah Audrey menatap lembut Rania.
“tapi Drey ..”
“cepatlah menjauh sebisanya ..,” tatap mata Audrey seakan mengiba. Dan perempuan berambut mayang itu perlahan memutar tubuh menghadang tiga lelaki yang makin mendekat.

Salah seorang lelaki berusaha mengambil jarak dan menyusul Rania, namun kali ini Audrey melompat dengan gerakan “sipchagi an chagi”. Kelincahan tubuhnya seolah terbang, kaki kanannya menukik lurus mengarah sasaran.
“Hup !”
 Jrrgg !!
Brggg  !! “aaahh”, 
lawan terjengkang tak berdaya ketika telapak kaki Audrey menghantam keras lehernya. Melihat lawannya roboh terjengkang, entah kenapa Audrey merasa tak kasihan. Ia terus menendang dan menginjak lawan, wajahnya dihinggapi kebencian luar biasa.

Lawan satunya kemudian maju menyergap Audrey, namun perempuan itu mampu memutar dan menghindar hingga tangan-tangan lawan serasa sepi menangkap angin.  Brak ! Audrey seketika menendang balik tubuh lawan hingga terhuyung.
“kurang ajar ..” Audrey menggeram dalam hati, tatap matanya tajam namun wajahnya tetap tenang.

Melihat lawannya tak main-main Audrey kemudian membuat pertahanan. Sikap kakinya sedikit terbuka, tangan-tangannya setengah terkembang siap menepis serangan. Namun tiba-tiba saja tendangan dan pukulan datang bertubi-tubi ketiga sikap tubuhnya masih belumlah sempurna. Lelaki yang sebelumnya terhuyung mengamuk sejadi-jadinya. Tendangan demi tendangan mengarah ke perutnya, sementara pukulan membabi buta mencari sasaran arah wajahnya.  Audrey nampak kaget, untunglah tangannya mampu menepis dan tubuhnya mampu meliuk dengan sempurna hingga serangan lelaki itu tak mematikan. Akhirnya Audrey melompat mundur mengatur jarak. 
“sepertinya harus ada yang patah,” Audrey mempersiapkan serangannya.
Audrey mulai melangkah pelan kiri kanan. Ia memancing musuh agar menyerangnya. Dan benar saja, lelaki itu kemudian menyerang Audrey dengan tendangan dan pukulan bertubi-tubi. Menjejak, mencakar, meraup. Seluruh gerakan lelaki itu terencana. Namun Audrey masih sanggup menepis sambil meliukkan tubuh. Seolah Audrey melakukan seluruh gerakannya tanpa sadar, reflek yang terus terlatih bergerak membimbingnya, dan Audrey yang telah menguasai taeguk 9 semakin tenang memainkan jurus-jurusnya.
Gerakan Audrey semakin cepat, ia memilin dan mencari kelemahan lawan sambil menepis serangan.  Tangan Audrey akhirnya berhasil mengait dan mengunci tangan lawan,  
Krrkk !!
“Ahhhhhh !!”,

Dengan sekali hentakan ringan tangan musuh berderak patah. Lelaki penyerangnya meradang kesakitan. Audrey terus bergerak dengan tenang dan dingin. Pukulan dan tendangan terus bersarang di banyak titik.

Rania semakin menjauh. Sementara Seno hampir sampai menyongsong Rania.

Musuh yang patah tangan mulai kesurupan. Sisa tangan dan kakinya mengayun bertubi-tubi. Gerakannya membabi buta persis macan patah kaki.  Audrey terus menghindar, gerakannya semakin  lincah dan ringan. Namun sosok lelaki ceking yang pernah merasakan tendangan Audrey di awal kuliah dulu mulai membantu kawannya. Lelaki itu akhirnya mendapat kesempatan membalas dendam.  

Dengan lawan yang tak imbang Audrey mulai kuwalahan. Apalagi lelaki yang sebelumnya terkena tendangan perlahan bangkit dan mulai membantu. Beberapa kali pukulan lawan mengenai lengan Audrey, tapi itu pun masih menyerempet tak mematikan.

Karena musuh mendesak pertahannya akhirnya Audrey melompat menjauh. Ia mencari celah untuk lebih bebas memainkan seluruh gerakannya. Dan kini Audrey seolah menjadi mushashi yang telah menemukan lawan sepadan. Segera saja ia menyeruak menghantam. Tendangan demi tendangan disarangkannya di tubuh lawan, bahkan ia berhasil merobohkan satu penyerangnya dengan tendangan mematikan di rahang musuh. Telapak kakinya seolah menegaskan derak patah sendi rahang penyerangnya, namun Audrey terus mengamuk tak kenal lelah. Tak ada teriakan dari tiap gerakannya. Ia tenang tanpa banyak bicara. Hanya sesekali terdengar desis dari bibirnya, ia melepaskan energi dalam tiap serangan. Audrey semakin menjadi-jadi, tangan-tangannya lincah menyapu tubuh lawannya, tendangan kakinya terus hinggap di titik mematikan. Audrey seakan terbang. Ia semakin dihinggapi rasa benci kepada lawan yang berniat merendahkan dirinya dan Rania.

“lawan seperti ini bukan lawan yang patut di kasihani,” ia bergeram dalam hati. Ia terus menyerang dengan nafas yang terburu.

Lelaki ceking terhuyung terkena oreon jireugi.  Pukulan Audrey tepat mendarat di hidung bersamaan dengan kakinya yang menghantam paha lawan. Hidung lelaki itu pecah tulangnya. Ia mengerang kesakitan. Lelaki ceking mulai menyerah dan mengendurkan serangan. Tinggal seorang lagi lawan Audrey yang tersisa.  

Tenaga Audrey mulai terkuras. Beberapa kali pukulan lawan nyaris mengenai wajahnya. Namun untunglah elgol maki tangkisan tangannya mampu menepis. Namun  tak urung pukulan lawan sesekali mendarat di lengannya.

Audrey makin habis kesabaran. Lawan terakhirnya mulai terpojok dan kuwalahan. Sementara kedua penyerangnya mulai berpikir melarikan diri. Audrey terus mematahkan serangan lawan. Pertahanan lawan telah terbuka.

Brakk !!!
“Ahhhh !!”, “Ahhhh !!”, sisa penyerangnya mengerang kesakitan sambil terhuyung memegang hidung. Darah berceceran, tubuhnya mulai limbung tak karuan.

Pukulan Audrey berhasil memecahkan tulang rawan. Audrey terpana, lawannya pun memilih mengundurkan diri.

Nafas Audrey terburu, ia tercengang tak percaya. Namun dirinya tahu jikalau beberapa pukulan dan tendangannya telah berhasil membuat anggota tubuh lawan patah ataupun bergeser sendi. Dan setelahnya, Audrey kelelahan hingga jatuh terduduk. Seluruh tubuhnya terasa lemas, ia menyeka rambut mayangnya yang nampak kacau tak beraturan. Bulir keringat membasahi wajah cantiknya. Dan setelahnya, ia memilih menyandarkan diri tepi trotoar, tepat berada di bawah kerindangan pohon mahoni.  

***


Sementara aksi kekacauan terus berkembang. Petugas keamanan kehilangan orientasi pengamanan. Tak disangka oleh mereka kalau sumber kericuhan meletus di dua tempat secara bersamaan. Degar dan anak buahnya di sisi timur terus melakukan aksi lempar batu. Demikian juga dengan beberapa mahasiswa yang terus melakukan aksi balasan. Abah memilih menyingkir bersama para mahasiswi. Termasuk Zweta dan Anggun. Mereka mundur menjauh sambil memegangi kepala masing-masing. Sementara Kang Diman dan para seniman kota, melawan aksi preman di sektor barat. 

Raungan sirine mobil meraung-raung di kejauhan. Mereka adalah back up kekuatan yang meluncur dari sektor timur. Suara raungan terdengar makin jelas, mobil itu mendekati pusat massa yang telah terserak tak beraturan. Hingga beberapa peleton keamanan diturunkan, aksi anarkisme masih terus berlangsung.


Sementara di sektor Barat, para preman telah lari tunggang langgang diserbu gerombolan Kang Diman. Mereka babak belur melarikan diri melewati lorong-lorong tikus dan gang-gang kecil. tak satupun dari mereka berhasil dicekal oleh mahasiswa. Mereka pontang-panting menyelamatkan diri.

“mundur-mundur ! semuanya mundur”, Andro dan Seno berteriak-teriak memerintahkan seluruh kawannya menghentikan penyerangan. Sementara Kompar yang terjerembab di selokan akhirnya bangkit sambil mengerang kesakitan.

Akhirnya petugas keamanan berhasil memegang kendali. Kang Diman berusaha menjelaskan duduk perkara yang terjadi. Ia berkoordinasi dengan pimpinan petugas keamanan. Suasana masih terlihat kacau. Batu dan kayu berserakan, beberapa kaca mobil dan gedung pecah berantakan, termasuk satu unit mobil petugas. Beberapa anggota keamanan langsung menyisir dan menahan beberapa aktivis mahasiswa yang terlibat aksi pelemparan. Namun sempat pula terjadi ketegangan antara mahasiswa dan petugas.

“mereka hanya akan dimintai keterangan”, petugas yang menahan beberapa mahasiswa menjelaskan.

Degar kini bersembunyi dan menjauh dari lokasi. Ia tahu kalau petugas keamanan sedang mengendusnya. Setelah cukup lama menyisir tempat kejadian,  beberapa anak buah Degar diciduk petugas. Mereka ditangkap dan diduga sebagai biang kerusuhan.

Sementara batu-kayu masih berserakan di jalan Pahlawan. Lalu lintas mulai teratur. Dan tajuk berita menghiasi aksi besar yang terjadi hari ini.

***

Rania termenung di atas balkon. Sementara di atas meja, pisang goreng buatan Mbok Jah masih utuh tak tersentuh. Peristiwa tadi siang masih tergambar jelas di ingatannya.

“kakinya masih sakit, Sayang ?”, Mama Rania menggugah kesadarannya. Perempuan itu menyentuh lembut pundak Rania dari belakang.
“masih, Ma”, ia menjawab sambil menoleh.
“istirahatlah di dalam, Sayang. Hawa malam tak baik buatmu”, kembali Mamanya berkata lembut
“Rania disini saja, Ma. Sebentar lagi”, ia menyungging senyum melati.

Perempuan paruh baya itu akhirnya membiarkan Rania menikmati malam di beranda. Ia berjalan masuk ke dalam rumah.

Rania bersama kakaknya –Granada, baru saja pulang dari dokter spesialis anastesi untuk memeriksa cidera kakinya.

“tak apa-apa, Ran. Cuma keseleo ringan”, Dokter spesialis tulang yang juga merupakan kawan Papanya menyarankan untuk beristirahat. Dan sesampai di rumah, Granadakeluar lagi menjenguk kawan-kawan yang masih mendapat perawatan di rumah sakit.

“Audrey”, Rania berbisik pelan, ia teringat Audrey. Betapa pengorbanan seorang Audrey menyelamatkan dirinya dari gangguan para preman. Ya -ia hampir menangis kala itu. Dan kini rasa traumatis membayangi pikirannya.

Siang tadi setelah mendapati Audrey tak kurang sedikitpun, ia langsung memeluk sahabatnya dan menangis. Ya – Rania menangis tersedu karena kuatir keselamatan Audrey. Dan ketika sahabatnya itu datang sambil tersenyum manis, ia pun tertawa bahagia dengan air mata yang tergenang.

“tenanglah, Ran. Aku tak apa-apa”, Audrey berkata tenang saat membalas pelukan Rania. Hanya ketegangan yang masih tersisa di wajah Audrey serta rambut mayangnya yang terurai acak-acakan.

 “pantang bagi seorang mushasi untuk mundur”, Audrey mulai berceloteh nakal. Namun Rania tak mengomentari. Ia hanya tertawa kecil dengan kebahagiaan yang sangat.


Dan tiba-tiba.
Nang ning nung nang ning nung, ponsel Rania berbunyi menyadarkan lamunan.

“ya, Ta !”, Rania segera mengangkat ponselnya
[Ran, Emma di rumah sakit ...]
“di rumah sakit ? kenapa Ta ?”, Rania tekejut
[OD]
“over dosis ? masya Allah. Kamu dimana sekarang ?”, Rania tersentak.
[aku sekarang di rumah sakit, bersama Audrey dan Asti]
“aku kesana sekarang ya !”, Rania segera beranjak dari kursi namun kakinya tak kuat menyangga tubuh.
“ahhh ..”, Rania terjatuh di atas kursi.
[kakimu masih sakit, Ran. Besok saja kamu kemari kalau ada yang mengantar]

***

“tabah ya, Rin. berdoalah”, Audrey merangkul Karin yang nampak terpukul. Bibirnya menekuk ke bawah, matanya sembab membekas genang airmata.

“ya Rin, istirahatlah. Biar kami yang menjaga Emma”, Astiberkata lembut, tetapi Karin hanya menggeleng tak bersuara. Ia malah menunduk makin dalam.

“Damar tadi kemana ?”, Zweta berbisik kepada Asti.
“tadi bilangnya mau ke resepsionis. Dia ingin memindahkan Emma ke ruang kelas satu”,  Asti tak dapat menyembunyikan rasa sedih.  
“aku menyusul Damar”, Zweta menyentuh pundak, Asti sementara Audrey menghela nafas dalam-dalam. Kesedihan seolah menjadi maharaja malam ini.

Dari kejauhan adzan Isya berkumandang menggetarkan hati. Suara syahdu menggambarkan kepasrahan. Suara yang melukis ketanpaan manusia yang mengaku kecil di haribaan Sang Pencipta.

Zweta meninggalkan Karin yang tertikam sedih. Ia melangkah pelan menyusuri lorong panjang rumah sakit. Dilihatnya deretan kamar terisi penuh, dan di depan kamar pasien kelas ekonomi, para penunggu pasien bersimpuh di lorong-lorong panjang di depan kamar. Semua nampak tak layak, pemandangan seperti itu tak seharusnya terjadi di sebuah institusi rumah sakit pemerintah.   

Dari ujung ruang UGD, derap langkah dokter dan beberapa perawat terlihat tergesa-gesa. Langkah kaki mereka mengikuti derit kereta pasien yang meluncur cepat. Zweta bersegera menepi. Dilihatnya di atas kereta sosok lelaki tua yang terlihat lelah menghadapi hidup. Juluran selang infus terayun ayun, sementara perempuan tua menangis pedih mengiringi kereta dari belakang.

“ah Tuhan, apalah makna hidup bagiku. Rasanya seperti teramat jamak untuk kutafsirkan”, Zweta hatinya teremas. Ia kebingungan untuk mengerti semuanya.

Pemandangan miris yang terpampang di matanya begitu banyak. Dan Zweta terkadang gelisah. Adasemacam keresahan yang ingin disampaikannya. Sebuah kata hati yang terkadang berbisik lembut, berteriak, marah, sedih, atau juga tangis. Dan tatkala suara hatinya mulai bersuara, bahasa puisi adalah bahasa yang paling pas mewakili suara hatinya.     

Langkah kaki Zweta mengantar dirinya menjumpai Damar. Dan ketika sampai di resepsionis, dilihatnya Damar masih berdiri di depan resepsionis, tepat di samping gedung Instalasi Unit Gawat Darurat. 

“Bagaimana, Mar ?”, Zweta tiba-tiba berada di samping Damar.
“Eh elu, Ta. Sudah beres. Emma segera dipindah ke paviliun kelas satu”, lelaki itu tak sadar dengan kehadiran Zweta. Wajahnya tersaput mendung.

“terima kasih, Mbak”, Damar menutup percakapan dengan resepsionis.

“keluarga Emma sudah tahu ?”, Zweta bertanya ketika mereka mulai meninggalkan resepsionis. Namun Damar menggeleng pelan.
“entahlah. Mungkin Karin yang mengabari keluarganya”
“kamu dikabari siapa, Mar ?”
Asti. Dia ditelepon Karin tadi sore”
“siapa yang mengantar Emma kemari ?”
“Karin dan pengayuh becak di sekitar kontrakannya”, Damar menjawab lesu.
“semoga dia baik-baik saja”, Damar melanjutkan. Matanya menerawang.
“ya. Berdoa saja, Mar”
“yang nggak gua sangka, Ta ... kenapa Emma jadi pemakai”, Damar seakan menyesal.

Zweta enggan menanggapi. Perasaan sedih yang memenuhi hatinya seolah melupakan kejadian besar yang dialaminya dari pagi hingga sore.

Kedua orang itu berjalan menyusuri lorong panjang. Langkah Damar lunglai, seiring hatinya yang teramat sedih melihat Emma, perempuan yang dicintainya tergolek tak berdaya. Tak disangka Emma selama ini menjadi pengguna narkoba. Dan memang dirinya melihat tanda-tanda perubahan Emma yang sangat. Damar menjumpai Emma terakhir di Café Umbrella sekitar tiga bulan lalu. Keceriaan wajah Emma luntur terhapus. Pancaran lembut wajah Emma pergi entah kemana.

Langkah kaki Damar lunglai terayun. Zweta di sampingnya masih terdiam. Damar tahu jikalau Zweta juga bersedih.  

“Ta”, tiba-tiba Damar memecah kebisuan. Tatap matanya memandang Zweta dalam-dalam.
Adaapa, Mar ..”, Zweta menyahut lembut
“entahlah, Ta. Hah .. hh hari ini gua dapet dua kabar buruk sekaligus”,  Wajah Damar makin lesu. Ia tersenyum kecut. Tak bisa ditahan lagi hasratnya untuk membagi kesuntukan yang memuncak.
“kenapa, Mar ?”, 
“kuliah gua habis, Ta”
“habis ? maksud kamu ?”, kalimat Damar sontak mengagetkan Zweta.
“tadi gua dipanggil Pak To’at. Beliau bilang gua harus cepat-cepat mengundurkan diri”
“masalahnya kenapa, Mar. Nanti biar aku dan kawan-kawan himpunan melakukan advokasi”, Zweta seolah tak terima. Ia masih terkejut.
“nggak, Ta. Ini masalah pribadi gua. Dan semua ini akibat tingkah gua sendiri. Tak fair seandainya masalah ini harus dibagi dengan lu dan kawan-kawan himpunan mahasiswa. Lagipula memang sudah mentok nggak ada solusi. Jadi percuma”
“nggak bisa begitu, Mar. Kita ini sama-sama berada di satu keluarga besar. Dan itu tanggung jawab moral, Mar”
“lu nggak akan bisa, Ta. Ini masalah akademis, bukan politis. IP gua udah hancur dan pasti terkena evaluasi. Gua tadi disarankan Pak To’at untuk mengundurkan diri daripada Drop Out. Kalau gua mengundurkan diri minimal transkrip gua masih ada buat pindah ke kampus lain, dan status gua bukan drop out.”,
“ya Tuhan”,
“nggak ada cara lain selain mengundurkan diri ?”, Zweta memandang Damar dengan tatapan sedih.
“nggak ada, Ta. It’s over”, Damar menghela nafas panjang.

Mendengar penjelasan Damar pikiran Zweta makin bersimpul. Ia tahu Damar menghadapi permasalahan akademik. Puncak dari masalah Damar merupakan akumulasi dari seluruh perbuatan Damar di masa lampau.

“ah Damar, kenapa baru sekarang kamu sadar”, Zweta menjerit dalam hati. Ia bersedih karena tak bisa berbuat banyak untuk hal itu
“gua jadi ngrasa berdosa sama Adi, Asti, dan kawan-kawan yang ngebantu gua selama ini. Cuman gimana lagi . . .  gua  . . gua . .gua udah kalah, Ta”, Damar tergagap. Ia merasakan sedih yang berlipat-lipat. Bayangan Damar seketika meraih ingatan ketika Ayah dan Ibunya berharap besar agar Damar bisa segera lulus kuliah.  

“dan Emma, Ta”,
“kenapa dengan Emma ?”, Zweta terkaget
“dia terancam Drop Out. Sekarang Asti sedang mengerjakan semua tugas-tugas nya”, wajah Damar makin sedih. Hidupnya terasa makin sesak.

Malam ini cahaya rembulan terasa redup di mata Damar. Padahal sinar rembulan sedang berpendar dengan sempurna. Tak ada awan yang menaung, tak ada pula bintang yang menyaingi sinarnya. Malam purnama kali ini terasa lain. Bumi yang dipijak menjelma ruang pengap yang sempit. Dan jiwa Damar yang kelelahan menengadah meminta ampun dan harapan. Wajahnya menggelap bagai purnama yang tertelan gerhana.

Karin, Zweta, Audrey, serta Damar menghabiskan malam di Rumah Sakit. Sedang Asti kembali pulang ke kost menyelesaikan tugas akademis Emma. Ada keadilan yang terselingkuhi, namun Asti lebih memilih untuk menyelamatkan harapan kawannya. Mumpung masih belum terlambat.

***

KEESOKAN HARINYA SETELAH KEOS

 “Astaghfirullah ”, Abah mengelus dada.
“Anjing ! Anjing semuanya !”, Kang Diman mengumpat tak karuan. Telunjuknya menunjuk koran bergambar penguasa kotayang tertawa culas didampingi para pimpinan proyek.
“sudahlah, Man”, Abah tak bisa lagi berkata-kata membaca kata-kata Penguasa Kota di Koran Posindo. Penguasa Kota bersikeras melanjutkan pembangunan Bentos walau kebijakannya telah ditentang banyak pihak.

“apa yang bisa saya katakan, Bah. Dasar anjing semuanya ! Penguasa Kota tak mau mempedulikan kita”, Kang Diman bersungut-sungut
“kita harus turun ke jalan lagi, Bah”, lanjut Kang Diman bersemangat
“kita pilih jalur lain, Man. Aksi turun ke jalan sudah tak memungkinkan bagi kita”
“kenapa, Bah ?”
“biar mahasiswa saja yang turun ke jalan. kita jangan buang energi untuk itu.  Kita harus menyiapkan data-data melakukan penuntutan hukum”
“dasar anjing !!! makin payah saja republik ini !!! sudah berjubal manusia sinting !! ditambahi satu lagi orang gendheng !! apalagi namanya kalau bukan anjing, mereka tak mengerti bahasa manusia !! atau orang gendeng, Bah !! atau .. atau .. mereka semua memang setan !!!”, Kang Diman seolah kalap memaki maki.
“sudahlah, Man. Simpan energimu. Jangan memperturutkan emosi. Istighfar,Man !!”
“biar saja, Bah ! memang Jancok Penguasa Kota, Bah !!!  Anjing !! Penguasa Pantat Babi !!!  “
“sudahlah Man, kalau dia Penguasa Pantat Babi, kau yang jadi pantat babinya !! hahaha”, Abah berkelakar meredakan emosi Kang Diman.
“hahaha !!! saya tak peduli !!! dasar penguasa anjing !!!”, Kang Diman tertawa terbahak-bahak mendengar gurauan Abah
“sudahlah ! kita harus berkoordinasi dengan aktivis lingkungan dan para mahasiswa”, Abah masih tersenyum melihat kegeraman Diman, lelaki tua itu menggelengkan kepala.


***


Posting Komentar

 
Top