0

Gedung FTSP,

Sedari jam 8 pagi, Zweta, Audrey, dan Rania bertengger di atas balkon. Mereka menghadap ke arah barat, memandangi gugusan bukit dan kurva lembah yang memanjang, menyuguhkan warna biru yang nampak elok rupawan. Mereka terlihat santai, dan memang seluruh tugas kuliah hampir selesai dikerjakan.

“itu bukit apa, Ran ?” telunjuk Audrey menunjuk ke arah barat, ia kemudian menoleh menatap Rania
“itu Gunung Panderman, Drey” Rania menjawab singkat
“kalau yang itu daerah mana ?”Audrey lagi-lagi menunjuk suatu arah
“itu daerah tempatku, Drey. Rumahku disana,” Zweta menimpali
“kalau gunung yang tinggi itu?”
“itu Pegunungan Arjuno-Welirang. Ketinggian puncaknya 3339 meter di atas permukaan air laut”
 “Ta, kita ke Panderman yuk” tiba-tiba Rania menyeletuk
“beneran ?” Audrey bersemangat
“kamu sebelumnya pernah kesana, Ran ?”, Zweta kini bertanya ke Rania.
“dulu waktu SMU, aku kansempat aktif di Pramuka.” Rania menjawab sambil menyelipkan rambut di sela telinga.
“gimana kalau minggu depan, Setelah kita ujian,” Zweta memberi saran.
“aku ikut ya !” Audrey cepat-cepat menyahut
“Oke deh ,Ta. Ntar aku ngajak Kakak kalau dia mau,” Rania mengangguk pelan.
“Tapi persiapan pendakian harus fix. Soalnya kita berada di alam bebas.”
 “iya deh  .. tenang aja .. pasti di siapin kok”, Audrey tersenyum manis, tangannya mengatur rambut mayangnya yang terurai angin.

Sementara dari arah belakang terdengar langkah sepatu menetap-netap. Semakin lama suara itu semakin jelas. Audrey menoleh ke belakang, demikian pula dengan Rania,

“hai semua, waduh enak sekali santai-santai,” Asti datang sambil mendekap buku diktat, wajahnya terlihat sumringah. Jilbabnya yang berwarna pink menambah keanggunan wajahnya yang memang lembut.

“Kamu dari mana saja, As ? kok sejak tadi menghilang ?” Rania bertanya serius.
“iya nih. Sibuk terus,” Zweta menambahi. Dari bangku panjang di tepi balkon, pandangan Zweta tak bisa lepas dari Asti, sementara Audrey terdiam dan mewakilkan perasaannya kepada kalimat Rania dan Zweta.
“aku dari Perpustakaan,” wajah Astimerona. Senyum simpulnya terasa menyiratkan hal lain, yaitu jenis senyum seorang dara yang merekahkan cinta. Tapi Zweta, Rania, dan Audrey tak dapat menangkap mimik ganjil wajah kawannya itu. Mereka benar-benar tak tahu.
“yah retoris. Astigitu loh .. kemana lagi kalu nggak ke perpustakaan,” Audrey akhirnya berkomentar, senyumnya terkembang.

“As, tugasmu yang mau kupinjam dibawa kan ?“ Rania mengingatkan
“oh tentu, makanya aku nyari kamu,” Asti menjawab lugas dan menyerahkan tugasnya yang terjilid rapi.
“wah terima kasih,  ya.” wajah Rania berbinar dan menampakkan senyum melati.
“As, aku pinjem juga ntar ! “, Audrey  ikutan nimbrung. Ia menyibak rambutnya.
“aku juga, Dong. Adasedikit yang bingung .. masalah stiffness structure balok grid“ Zweta spontan menimpali dengan nada serius. Tugas analisis struktur dengan matrix terasa membingungkan dirinya.

“lah mendingan kalian salin aja kalau gitu. Ntar kalau masih bingung biar kujelaskan,” Astimenjawab santai.

Asti kemudian bergabung  dengan mereka. Memandangi  sebuah daerah yang lazim disebut Kutobarat, suatu tempat yang menjadi bukti keberuntungan bagi para penduduk asli. Para penghuni Kutobarat telah bermigrasi ke kampung-kampung lain, mereka memilih menyewakan –atau menyulap rumahnya untuk dijadikan tempat kos bagi para mahasiswa di Universitas Keprabuan.

“eh ingat, ntar malem kita ke Café,” Rania mencoba mengingatkan ketiga kawannya.
“cuma kita berempat ?” Astikonfirmasi.
“ya, kita berempat. Sekalian refreshing setelah tugas semester kemarin numpuk. Bangkrut aku kalo ajak kawan-kawan yang jumlahnya seratus orang,“ Rania tertawa ringan.
“jam tujuh kan, Ran ?” Audrey bertanya memastikan.
“ya, jam tujuh. Ntar aku jempus kalian ke kosan masing-masing”,

Zweta mendiam, dan ia masih menyimak obrolan ketiga kawannya. Tiba-tiba Zweta mendengar bisik suara dari dalam hatinya.  Suara yang lembut itu mencoba memberitahukan arti kerinduan. Dan entahlah, tiba-tiba Zweta kangen Mamanya. Mungkin inilah yang disebut pertalian kasih paling dasar antara seorang anak dan ibunya. Sebuah hasil dari proses panjang, yang dimulai dari tetesan air susu dan kemudian bermetamorfosa menjadi impuls cinta yang natural.

“Mama, aku kangen,” Zweta berbisik pelan, matanya pun menerawang jauh. Sontak ia bangkit dan  melangkahkan kaki sedikit menjauh.

Diraihnya ponsel dari saku baju dan langsung mengontak Mamanya. Ia kangen, bahkan teramat kangen, dan Zweta cuma butuh mendengarkan suara lembut Mamanya. Suara  terindah dalam hidup, suara yang mampu menyentuh bilik jiwanya yang paling dalam.  Kerinduan yang terpampatkan di rongga dada langsung memuncak, Zweta bahkan langsung teringat jikalau hari ulang tahun Mamanya ada di bulan ini.


Sementara di sudut ruang-gerak yang lain, namun masih di waktu yang sama, seorang perempuan paruh baya sedang merawat bunga anyelir dianthus caryophyllus . Perempuan itu nampak larut, menikmati suatu aktivitas yang dianggapnya sebagai penghargaan atas keajaiban waktu. Mahkota bunga anyelir itu merekah dan berwarna ungu pucat, padahal beberapa hari yang lalu bunga itu masih menguncup malu, dan inilah yang dimaksudnya sebagai keajaiban waktu. Semuanya akan tumbuh dan berkembang, tak ada yang bisa statis jika dihadapkan dengan sang waktu. Dan kestatisan jika dihubungkan dengan sang waktu, maka kata-kata itu cuma berarti kekalahan ataupun kerugian. 

Perempuan itu terus mengagumi dan meresapi tiap bentuk kelopak bunga. Kecantikan bunga anyelir mengartikan kesederhanaan dan keanggunan yang apa adanya. Ia masih tak menyadari ketika telepon rumah berdering untuk yang ke dua kali. Ia larut menikmati keanggunan bunga anyelir, hingga inderanya terbang dan menyisakan sedikit kesadaran.

Hingga, Nung ning nung ning ting tung.

Terdengar bunyi ponsel dari saku celana cargo-nya. Dan memang- perempuan itu sedang memakai celana yang khas dipakai para pendaki gunung. Wajah perempuan itu tersenyum tatkala melihat layar ponsel. 

“Assalamualaikum, Sayang.” Perempuan itu langsung berbicara ketika ponsel menempel di telinganya.

 [ah Mama, dari mana aja sih. Waalaikum salam], Zweta bersuara merajuk.

“Mama lagi merawat bunga, jadi nggak mendengar dering telepon rumah. Ada apa, Sayang ?” perempuan itu menerima telepon sambil berjalan di sela-sela jajaran bunga.

[Kangen, Ma. Cuman pengen denger suara Mama],
“jelas saja. Lagian kamu nggak pulang tiga minggu sih. Sekarang masih sibuk ?”
[lumayan sih, Ma. Maklum musim deadline akhir semester .. semua tugas kanharus terkumpul ..]
 “Tapi kuliahnya lancar, kan ?”
[Alhamdulillah lancar Ma.. Ya sudah, Ma. Pokoknya ntar jumat malem aku pasti pulang. Nasi Goreng ya .. ],
“buru-buru sekali. Belum juga tiga menit nelponnya”,
[ah Mama. Ini pulsa harus ngirit. Maklumlah ! hihihi  .. ]
“Oke deh. Ntar Mama buatkan Nasi Goreng dengan catatan kamu jadi pulang “,
[pasti, Ma. Pasti. Oke deh, Ma.  Assalamualaikum .. ]
“waalaikum salam. Sayang, jangan lupa berdoa”

Ada kebanggaan yang menyelimuti kalbu perempuan itu. Andro telah menginjak semester 7, sementara Zweta masih semester 3. Ia membayangkan betapa bahagia dirinya melihat Zweta dan Andro nantinya memakai baju toga di saat wisuda. Andro menjadi sarjana di bidang Hukum, dan Zweta menjadi Sarjana di bidang teknik sipil. Ah, ia tersenyum tatkala membayangkan itu semua. Kebanggan serta keharuan yang menguasainya tiba-tiba bergandeng beriringan.

“Sayang, kedua malaikatmu telah tumbuh besar,” ada desir yang kuat ketika hatinya membisikkan kalimat itu.

Embun air mata mulai keluar, namun akhirnya urung juga karena perasaan paling halus yang baru saja memanggil telah mampu ditahannya.

Angin mulai mengunjungi putik-putik bunga apel di tempat ini. Bunga mungil berwarna putih dengan benang sari yang banyak. bunga-bunga itu bergetar dan menari dengan harmoni.

Sementara kebun-kebun bunga terus menghiasi kebun-kebun di Mawar Putih. Krisan-krisan, cemara kipas, serta ratusan ribu tangkai mawar melabuhkan mata yang lelah. Melukiskan warna-warni yang cemerlang, dan menautkan keindahannya yang sempurna pada siapapun yang datang dan memandang.

***

Cafe Umbrella, 19.00

Mobil Rania  memasuki areal parkir Cafe Umbrella.  Mobil itu mulai menata dirinya dengan aba-aba sang Jukir yang berlagak seperti tukang atur pesawat terbang. Peluit dibunyikannya berirama sesuai gerak tangannya yang memberikan kode posisi.
“Mundur mundur mundur . .  nah .. nah . .  shiiiip !” jempol tangan sang Jukir teracung ke udara sebagai tanda puas. 
“terima kasih, Mas  . . “  Rania tersenyum manis
“Oyi  . .  “ jawab Jukir itu sambil kembali mengacungkan jempol.


“aku belum pernah kesini, Ran” Astimenatap bangunan cantik yang dihiasi warna-warni lampu. Sementara terdengar alunan musik blues dari dalam cafe.
“aku juga jarang, As .. Audrey tuh yang sering ditraktir cowok disini,” Rania menekan tombol pengaman mobil, seketika terdengar bunyi ringkikan alarm.
“yee .. sok tahu,“ Audrey protes
“yah .. kamu kanpernah cerita sendiri, Drey.” Zweta memihak Rania
“hihihi ... ya sih ..  Ada tujuh cowok yang nembak aku disini. Seperti nggak ada tempat lain saja ..nggak kreatif ! ” Audrey berbicara blakblakan tanpa beban.
“tujuh, Drey ?!!  Lalu ?” Asti terbelalak
“ya patah hati semua, As. Seperti nggak kenal kelakuan Audrey saja. Makanya jadi cewek jangan suka bikin ge-er.”
“yee. Siapa yang bikin ge-er ..  radar mereka tuh yang terlalu peka,”  Audrey protes menanggapi Zweta.

Mereka berempat terus memasuki cafe,  dan mereka memilih menempati meja pojok yang memang strategis untuk nongkrong, agak jauh dari pintu masuk cafe.

Sementara musik blues masih terus mengalun anggun. Dan penunjung cafe terlihat asik berbincang sambil menikmati suguhan makanan dan minuman.

 “ramai juga cafénya,” Rania sedikit menggeser kursi café ke belakang, dan kemudian ia duduk menyandarkan punggung. Dari tempat ini, pandangan mereka ke arah stagetak terhalang, biasanya memang ada live music yang menghibur pengunjung, tetapi kali ini panggung masih kosong, hanya beberapa alat musik yang terdiam beku, selebihnya alunan musik hanya datang dari cdplayeryang kini memutar lagu Early in the morning dari B.B King. Ya. lagu itu mengalun santai dan memanja telinga pengunjung. Ruh lagu yang mengalun mengundang penikmatnya menggerakkan hentakan kaki. 

Sementara kapasitas café yang cukup luas itu telah hampir penuh. Hampir 100 pengunjung yang datang ke café Umbrella saat ini, termasuk mereka yang duduk santai di sofa  berjarak 20 meter sebelah kiri stage. Namun kursi itu disediakan bagi mereka para pengakses internet yang ingin lebih rileks. Kursi yang empuk dan nyaman, namun pandangan ke arah stage memang sedikit terhalang.

Keempat perempuan itu terus bercanda sambil sesekali tertawa ringan. Tak lama setelah mereka duduk, seorang pramusaji semampai berwajah manis datang dan menyodorkan daftar menu.

“kalian semua mau pesan apa ?” Rania bertanya setelah menerima daftar menu dari Pramusaji semampai berparas manis.
“terserah kamu, Ran.” Astimenimpali
“iya deh .. kamu aja yang milih, Ran. Kita kan ditraktir ..“ Audrey menguatkan
“beneran terserah aku ?” raut wajah Rania berbinar. Seakan ada rencana tersembunyi dari ekspresi wajahnya.
“sip”, “oke” , Asti, Zweta, dan Audrey menjawab hampir bersamaan.
“jus jengkol aja, Mbak ! Tiga gelas gedhe buat kawan-kawan saya ini. Kalau saya jus melon,” Rania berkata tanpa menampakkan wajah berdosa.
“eits ! tunggu dulu !” Audrey spontan terkejut. Refleknya yang sedemikian terlatih langsung bekerja cepat.
“nggak salah nih ?” ia melanjutkan. Asti juga terkejut. Sementara Zweta mulai terlihat cekikikan.
“loh, bukannya terserah aku ? kenapa sekarang kamu protes, Drey ?”
“tapi itu jengkol Ran !!! bukan melon !!”
“alaaaahh. Just kidding  !! “ Rania mulai terlihat nakal
“Lagian sapa yang nyuruh pake pesen terserah aku. Nggak punya pendirian kalian ini. Ya udah Mbak, menu spesial empat porsi ya. Mereka pasti suka kok ! kalau minumnya.. sama aja .. jus melon,” bibir Rania beruntai senyum. Sedikit banyak berkumpul dengan kawan-kawannya, ia mulai tertular keusilan Audrey. Sementara Pramusaji yang berparas manis itu akhirnya tersenyum dan meninggalkan mereka.

“Cantik-cantik suruh minum saripati jengkol. Bisa cuci darah ntar !” Audrey pura-pura sewot.
“eh jangan suudzon sama jengkol Drey, sapa tahu khasiat jengkol malah bikin kamu nambah cantik” Asti juga ikutan menggoda Audrey.

“ah sudah deh. Stop-stop. Lupain dunia perjengkolan itu. Mending ngobrol yang lain. Yang jelas, sebuah benda bernama jengkol itu mampu membuat kita bau dari ujung rambut sampai ujung kentut. Ngrusak pasaran !” Audrey mengucapkan kalimat terakhir antusias. Rambut mayangnya bergoyang pelan mengikuti gerakan pundaknya.
“tapi beneran kok, Drey. Jengkol itu banyak khasiatnya ...”, Rania berkata sambil tersenyum nakal
“Rania Putriii !!  Plis deh ah !”

Tak butuh lama agar menu yang dipesan datang. Pramusaji berparas manis itu datang lagi bersama satu orang kawannya yang membawa nampan besar. Pramusaji manis itu meletakkan makanannya dengan ramah dan teramat sopan. Memang inilah istimewanya café Umbrella, café yang dikelola baik dan professional.

“silahkan Mbak, selamat menikmati,” Pramusaji manis itu menutup pelayanannya.
“terima kasih ...” Rania spontan mengucap
“kembali kasih .. ” Pramusaji itu menghadiahkan senyum ramah sekali lagi.

“wah wah wah. Ini nih. Baru lezaat ! menu spesial ! lalapan ayam goreng madu plus bonus minuman beras kencur,” Audrey langsung berkomentar dan memandangi wajah kawannya dengan mata berbinar
“buruan sikat !” Rania menimpali. Sementara Zweta hanya tertawa-kecil melihat ulah kawannya.
“jangan lupa doa, Drey. Ntar ditemani setan loh,” Asti lagi-lagi mengoda Audrey dengan kalimatnya yang lembut
“lah emang bener. Setannya kankalian bertiga,” Audrey memperlihatkan senyum tengilnya.
“ah sudah. Ga usah ngladenin Audrey, As. Buruan makan !” Zweta akhirnya angkat bicara.

Ayam goreng madu, menu spesial yang disajikan café Umbrella sedemikian menggugah lidah.  Paduan kuliner antara lalapan jawa dengan bumbu yang sangat khas. Rasa yang teramu hampir-hampir tak akan bisa dilupakan penikmatnya. Ayam goreng jawa yang renyah, dioleskan madu, dan dicampur dengan sambal racikan alami, menjadikan unsur substansi kimia kuliner terasa sempurna. Sementara jus melon serta bonus minuman beras kencur terlihat memenuhi meja. Sementara pipa sedotan berwarna putih nampak bersandar di bibir gelas minuman.

Rania, Audrey, Asti, dan Zweta larut menikmati suguhan spesial cafe Umbrella. Sementara kipas angin di plafon café berputar cepat. Lantunan musik blues dari B.B King baru saja dimatikan.  Beberapa menit lalu, sosok perempuan yang telah lama dinanti cafe Umbrella baru saja tiba. Sapaan ramah langsung datang bertubi-tubi dari kru cafe termasuk dari pramusaji berparas manis yang menyambutnya. Perempuan dan Pramusaji manis itu akhirnya duduk menempati meja di depan stage. Mereka berbincang santai dan akrab. Dari obrolan mereka, nampak kerinduan yang muncul setelah sekian lama perempuan itu tak mendatangi café. Dan kali ini perempuan itu datang dengan stylerambut tebalnya yang menyilang serong di depan wajah.

Perempuan itu tak nampak seperti biasanya. Ia datang ke cafe sendirian, berbeda seperti sebelumnya yang selalu datang bersama kumpulannya. Kali ini ia memakai baju lengan panjang, dipadu celana jins hitam yang pas dengan postur tubuhnya yang memang sintal. Di balik baju lengan panjang yang dipakainya, perempuan itu mencoba menyembunyikan bekas di kulit yang tak seharusnya ada. Dengan memakai baju lengan panjang, perempuan itu ingin menyembunyikan waktu dan sebuah peristiwa.

“kemana aja, Mbak ?. Sudah lama kita nggak dikunjungi,” Pramusaji itu meneruskan percakapan.
“ah masa sih, Win. Emang udah berapa lama ? “
“tiga bulan lebih Mbak”
“masa selama itu ?!!”, ia berusaha mengingat. Keningnya mengerut
“tapi  kemarin itu aku memang lagi banyak kesibukan, jadi susah nyari waktu datang kemari,” lanjut perempuan itu sambil menyungging senyum.
“Banyak loh yang kangen dengerin petikan gitar Mbak Emma,” Pramusaji yang ternyata bernama Winna itu melanjutkan obrolannya. Tatap matanya menyapu wajah Emma.
“nyumbang lagu, Mbak ?”  Winna melanjutkan.
“Bentar lagi ya. Minta Jus nya dong ,” Emma menimpali.
“jus apa, Mbak ?”,Winna segera beranjak dari kursi.
“terserah. Aku haus nih,” Ia menjawab sekenanya.
“nggak makan sekalian ?. Aku buatkan jus sirsat ya ?”
“jangan deh kalau sirsat, perutku masih kosong, tapi mau makan juga lagi nggak nafsu .... Jus alpukat saja deh  .. biar sedikit kenyang,” Emma berkata sambil menatap Winna yang masih berdiri di depannya.


Setelah Winna pergi, Emma memandang stage yang tepat berada di sampingnya. Ia memandangi gitar, perkusi, biola. Café ini memang asyik –demikian pikirnya. Dulu café Umbrella sempat menjadi pelarian ketika kesuntukan menerpanya. Ketika tugas-tugas dan pelajaran kuliah membuatnya kalut, ia mencoba mencari ketenangan dengan datang kemari. Dan benar saja, ketika mengekspresikan bakat musik di tempat ini, Emma serasa mereguk kepuasan. Tapi itu dulu, sebelum ia memilih jenis dan tempat pelarian yang lain. Namun setelah cukup lama absen kemari, dirinya disergap keganjilan tatkala melihat alat musik di sampingnya. Emma menyungging senyum tak berarti, hatinya diselimuti kejengahan.

Sementara jarum jam dinding terus berdetak statis. Sementara Winna masih bersibuk menyiapkan jus. Pramusaji lainnya hilir mudik menyiapkan pesanan para pengunjung. Mereka kebanyakan adalah anak-anak muda yang ingin mencari suasana khas. Ada yang datang bersama gerombolannya, ada pula yang datang bersama pasangannya. Nampaklah lirikan khas manusia yang sedang terjajah cinta jatuh bertebaran di banyak tempat.

***

Jus Alpukat akhirnya membasahi tenggorokan Emma. Ada kesegaran yang mengalir menuju lambungnya yang belum terisi sejak siang. Setelah mengantar jus Alpukat, Winna memilih duduk menemani Emma.  
“jadi nerusin kemana, Win ? bentar lagi SPMB,” Emma bertanya lembut.
“nggak tau nih Mbak. Sukanya bingung kalau mikir itu,” Winna menjawab santai.  Wajahnya seakan meminta pertimbangan.
“belajarmu nggak terganggu sambil kerja kaya gini ?” Emma mencoba menelisik, namun Winna memilih tersenyum daripada berkata-kata.
“lagian, kok bisa sih kamu milih jadi pelayan ?,  masa Om kamu tega keponakannya jadi pelayan café miliknya,” Emma berkata santai. Ia menyedot lagi jus Alpukat.
“bukannya begitu, Mbak. Aku saja yang memilih jadi pramusaji. Melayani orang itu gampang-gampang susah loh,” Winna mencoba berargumen, namun Emma hanya menggelengkan kepala singkat.
 “adikku sebentar lagi juga kuliah, Win.  Katanya sih mau kemari juga ..”
“Mbak Emma punya adik seumuran aku ?”
Ada, adik sepupu. Namanya Karin. Dia malah lebih seneng nyanyi dibanding aku,” Emma masih menikmati jus Alpukat yang telah mengalir dingin ke memenuhi lambungnya. Ia merasa sedikit kenyang. Melihat Emma terlihat puas, Winna tersenyum bahagia.

 “ada yang mengiringi aku nyanyi nggak ?” Emma menatap lembut Winna dan kemudian beralih ke arah stage.
“teman-teman nggak ada semua, Mbak. Kayaknya sendirian lagi deh,” Winna menjawab santai.
“seharusnya café ini punya penyanyi tetap, Win.” Emma mencoba memberi saran
“dulu sih ada, cuman sekarang nggak lagi. Mbak Emma mau jadi penyanyi café kita, gimana ?”
“ah ogah. Mendingan aku nyumbangin lagu seperti sekarang daripada jadi penyanyi tetap. Soalnya kalo performanya jelek ntar dimarahi.” Emma tersenyum menggoda. Sekali lagi sedotan di pinggir gelas menempel di bibirnya yang kemerahan.
“ah, bisa aja Mbak...”, Winna mencoba menyergah pernyataan Emma. Namun Emma lebih memilih diam tak menanggapi. Winna merasa ada sesuatu yang berubah dengan Emma. Wajahnya lebih tirus,  lengan tangannya lebih kurus dari terakhir kali ia berjumpa tiga bulan lalu.

“Aku naik, Win.” Emma bangkit dan beranjak menuju stage. Langkahnya terlihat ringan. Sementara Winna masih duduk dan mengantar Emma lewat pandangan matanya.

Zweta, Rania, Audrey, dan Astimasih menikmati sisa-sisa kelezatan menu spesial. Sesekali tangan mereka meraih sedotan dan menautkannya di bibir. Mereka telah terpuaskan.

Sementara dari atas stage, Emma telah memilih sebuah gitar akustik, dan kini ia duduk di atas kursi. Dicobanya stem gitar hingga nadanya terasa pas dengan lagu yang akan dibawakan. Tak butuh lama, ia pun telah siap. Hampir seluruh pengunjung café masih belum sadar dengan kehadiran Emma di atas stage, dan mereka pun masih asik mengobrol dengan kawannya di meja masing-masing. Hanya saja, terkadang lirikan mata ke arah stage memberikan perhatian akan kehadiran seorang penyanyi.

Bibir Emma mulai mendekati microphone, demikian juga dengan kotak resonansi gitarnya. Emma mulai mencoba memetik gitar, sekaligus menguji posisi tubuhnya ketika bernyanyi, dan ternyata kini ia telah siap. Dipandangnya wajah Winna yang tersenyum, ia pun membalas tersenyum.

in this life, Chantal Kreviazuk” bibir Emma yang berjarak satu sentimeter dari microphone mengucap lembut. Dan setelahnya, jemarinya mulai bergerak dan menari lincah.

Seluruh petikan gitar Emma terdengar sempurna. Jari-jemari dan senar gitar bertautan membentuk kesatuan nada yang utuh. Kesadaran pengunjung café mulai teralihkan. Mereka mulai menikmati petikan gitar dari penyanyi yang sedemikian anggun di atas stage. Dan seperti biasa, Emma menggoyangkan kepala pelan. Seluruh gerakannya menjadi birama dari tiap ekspresi yang mengalir keluar. Hingga,

Let me saw you,
what a made of
good intentions is not enough
to get me through today in this live

Aksen suara dan kemerduan Emma mulai mencuri kesadaran pengunjung cafe. Tetapi Emma tetap tak terpengaruh dengan banyaknya pasang mata yang kini beralih menatapnya. Pengunjung cafe yang jauh dari stage mulai tertarik, beberapa dari mereka mulai menggeser arah hadap kursinya.

“ini lagu siapa, Ran ?”, kesadaran Audrey tergugah, wajahnya nampak penasaran. Terasa ada magnet yang menuntun kesadaran Audrey untuk mencari pemilik suara yang indah, dan kesadaran itu akhirnya berubah menjadi rasa penasaran.

“Eva Cassidy ?” Zweta berusaha menebak
“bukan-bukan. Itu tuh. Yang nyanyi leaving on the jet plane di soundtrack Armageddon” Rania berusaha mengingatnya.
Chantal, Ran !” Audrey langsung teringat.
“betul,Drey. Chantal Kreviazuk. Pas bener aksennya,” Zweta menoleh ke arah stage. Dirasanya performa seni penyanyi cafe sangatlah sempurna.
“memangnya ini live music?” Audrey malah tak sadar. Posisinya memang memunggungi stage, dan kemudian ia memutar kursinya.

Astiyang memang tempat duduknya menghadap stagemerasakan sedikit keanehan. Ia ragu-ragu untuk menebak. Kedua alisnya berkerut.

“eh itu Emma bukan ?” Astiakhirnya mencoba menebak
“Emma ? Emma siapa ?” Rania kebingungan, ia pun menoleh
“ya Emma Destyarini kawan kita, siapa lagi, Ran ” Asti menjawab
“ah yang bener,”Audrey makin penasaran.
“iya bener.  Itu yang nyanyi si Emma,” Astimenguatkan.
“ah masa sih .. ” Zweta kini mulai lebih memperhatikan, demikian pula dengan Audrey dan Rania.
“ya As, itu Emma, cakep bener performanya,” Audrey membenarkan setelah beberapa detik merasa yakin kalau penyanyi di stage itu Emma Destyarini, kawannya. Ia kesulitan lantaran posisi Emma menghadap sedikit serong, lagipula baju yang dipakai Emma seolah menyembunyikan sosok Emma yang mereka  kenal.
“gila. Hampir dua tahun jadi kawan seangkatan, tapi kita tak pernah tahu kalau Emma jago nyanyi,” Zweta mengajukan fakta lain. Dan ia masih terpukau dengan performa Emma
“Emma lagi kritis kuliahnya, Ta. IP nya jeblok lagi di semester kemarin. Kayaknya semester ini dia terancap Drop Out,” Asti menyayangkan.
“masa nyampe segitu parah, As ?! memangnya kawan-kawan nggak ada yang bantu ?”, Zweta sedikit terkejut.
“masalahnya dia tuh jarang masuk dan tertutup banget, persis seperti Damar. Jadi kalau kita mau bantu juga bingung,” Audrey membenarkan 
“iya sih. Dulu pas awal-awal kuliah Emma masih akrab sama aku, Ta. Cuma sejak semester dua dia sudah jarang masuk kuliah. Kalaupun kuliah, dia pasti juga langsung pulang. Nggak pernah dia nangkring ngobrol sama kita,” Asti mencoba membeberkan fakta yang lain.
“memangnya si Damar kritis juga, As?” Rania bertanya dengan suara lembut.
“iya, Ran. Damar malah lebih kritis. Kata Adi, Damar cuma semangat di awal semester. Setelah itu malasnya kumat lagi. Kayaknya semua tugas semester ini bakalan gugur kalo nggak ada yang bantu,”
“sibuk apa sih dia, As ?” Audrey kebingungan
“mana kutahu,“  

***

Posting Komentar

 
Top