0

“terima kasih, Nak”
“lekas sembuh ya, Nek”
“Gusti Allah yang membalas, Nak.” Nenek tua itu menggenggam tangan Granada dengan kedua tangannya. Wajahnya berbinar, matanya berkaca-kaca. Ingin rasanya perempuan itu bangkit, namun punggungnya tak lagi berkompromi.

Perempuan tua itu tergolek lemah. Di kanan-kiri pelipisnya menempel dua lembar koyo yang warnanya tak lagi putih. Rambutnya acak-acakan, dan tubuhnya lusuh kurus tak terawat. Perempuan itu menggeletak pasrah di atas bale bambu yang juga telah tua, rapuh, keropos, dan digerogoti penyakit kayu. Bale dan gubug yang tak seharusnya menemani sisa hari tuanya. Ah –hidup, betapa gambarmu terlihat sedemikian berwarna-warni.

Granada membalas tatap mata dengan diam tak bersuara. Hanya senyum haru tersungging menemani hatinya yang bergetar pelan, dan kemudian ia beranjak meninggalkan tempat itu. Semakin lama berada di Klinik, makin banyak pula pertanyaan berkecamuk di hatinya. Calon dokter itu semakin bimbang.

Granada berjalan tegak tak menundukkan kepala. Langkah kakinya sigap menyusuri gang-gang kecil dan lorong-lorong kumuh. Ya –ia menyusuri gang-gang sempit di bantaran tepi kali. Gang yang mirip lorong tikus dan dipenuhi bangunan liar tak teratur. Langkah gontainya berpadu dengan segala pertanyaan yang berlompatan di dalam  kepalanya.

“sudah ?”
“sudah, Pa” suara Granadalirih menjawab pertanyaan Papanya. Setiba di Klinik, keharuan masih menguasai emosinya.
“bagaimana perkembangan beliau. Sudah mendingan ?” Papanya sekilas saja memandang Granada.
“Nenek Lasmi sudah bisa bangun, Pa. Tapi tubuhnya masih lemah”, 
“Syukurlah. Semoga obat yang kamu antar bisa menjadi jalan bagi kesembuhan beliau. Kita hanya bisa berusaha. Selebihnya Tuhan yang menentukan,”  kali ini Papanya menatap wajah Granada lebih lama.
“ya, Pa. semoga beliau lekas sembuh,” mata Granadaberkaca-kaca mendengar kalimat tulus Papanya. Dan kemudian Granada menyambut tatapan lembut Papanya.

“Pa ?”
“ya”
“boleh aku bertanya sesuatu,” Granadamenunggu reaksi Papanya.
“tentu boleh. Ini kannegara demokrasi. Silahkan.“ Almany Respaty merespon jenaka permintaan putri sulungnya
“kenapa Papa melakukan semua ini. Sampai sebegitunya .. “ suara Granada sedikit tercekat di akhir kalimat
“maksud kamu ?” Dr. Respati menautkan alis mata.
“Melakukan semua ini, Pa. Menjadi dokter di Pinggir Kali,” 
Good point, Granada !!”, wajah Almany Respaty seketika nampak tegas. Ia memandang wajah putrinya dengan seksama, senyumnya seketika terkembang. 
“masih ingat cerita Papa tentang dokter-dokter Stovia ?” lelaki itu berkata dan menatap bangga putrinya, rona wajahnya perlahan-lahan terkuasai keharuan.
“Masih ingat, Pa.
“dari sejak awal masuk jurusan kedokteran, Papa selalu bercita-cita seperti mereka ..” lelaki itu berhenti sejenak menarik nafas. 
“tetapi semua itu ada awalnya ..” ia melanjutkan

“Anakku. Papa dan Paman-pamanmu terlahir dari rahim orang desa. Yang polos, yang dilatih untuk jujur, dan juga dididik untuk hidup apa adanya. Kami hidup serba kekurangan waktu itu. Apa yang kami punya, itu pula yang kami syukuri. Kalau lapar makan gaplek. Jajan di sekolah pun tak mampu. Untuk itu, kami membawa karak goreng ke sekolah,” Dr. Respati tersenyum haru terseret masa lalu.

“tahu gaplek dan karak ?” ia memandang Granada menyelidik, namun putrinya menggeleng pelan.

“gaplek itu singkong yang dijereng di terik matahari. Kalau karak itu nasi basi yang dijemur, dan kemudian bisa digoreng atau ditanak lagi. Rasanya gurih sekali kalau dicampur parutan kelapa. Papa masih bisa mengingat  bagaimana rasa kedua makanan itu .. Papa tak akan pernah lupa,” Respati terharu menautkan masa lalu.

“suatu ketika, Papa berangkat ke sekolah menggunakan kereta angin, Papa masih SMA waktu itu, dan sekolah Papa sejarak 20 kilometer dari rumah Nenekndamu...”
“tiba-tiba di tengah perjalanan menuju sekolah, Papa menjumpai seorang perempuan setengah tua yang menjerit-jerit-histeris di sebuah gubug reyot di kolong jembatan .. ” Respati menghela nafas, sementara Granada makin penasaran. Cerita ini baru pertama kali dituturkan Papanya.

“melihat itu Papa berlari sekuat tenaga menuju gubug kecil itu. Dan Papa melihat kejadian miris yang tak seharusnya terjadi ..” wajah Respati berangsur-angsur sedih. 

“apa yang terjadi, Pa ? “
“suami dari perempuan itu kesakitan. Ia berguling-guling tak karuan sambil mendekap dadanya”
“dada saya sakit – dada saya sakit, tolonglah saya ... lelaki itu terus berteriak lemah”

Granada terpaku mendengar cerita Papanya.

“kamu tahu apa yang Papa lakukan ?” Dr. Respati menatap wajah Granada, namun putrinya terdiam seribu bahasa.
“Papa tak mampu berbuat apa-apa. Papa tak tahu harus berbuat apa  ... berapa menyedihkan .. ” Dr. Respati menggeleng pelan saat mengingat kejadian di masa mudanya itu.
“hingga akhirnya Papa melihat lelaki itu meregang nyawa di depan Papa. Lelaki kurus itu meninggal di hadapan Papa, dan Papa tak mampu berbuat apa-apa .. betapa menyedihkan mengingat itu semua .. menyedihkan sekali ..”

“waktu itu Papa begitu berduka hingga tak bisa berpikir jernih. Dan sepulang dari sekolah Neneknda mu melihat Papa murung. Ia mendekati Papa, dan Papa bercerita kepada beliau asal muasal kesedihan yang Papa rasakan”
“Papa menangis. Ya. Papa menyesal karena tak bisa berbuat apa-apa .. dan sejak itu Papa bersumpah untuk menjadi seorang dokter,” Dr. Respati berkata sungguh-sungguh saat mengucapkan kalimat itu. Granada merinding mendengarnya.

“dan ketika Papa meminta doa restu kepada Neneknda-mu ... kamu tahu apa yang beliau ucapkan ?”

Granada terdiam, wajah cantiknya diselimuti keharuan.

“Anakku, Emakmu ini pasti mendoakan. Tetapi bersumpahlah untuk mengabdikan hidupmu demi orang-orang yang telah melahirkan sumpahmu. Semoga Gusti Allah memberikan jalan .. ”

“ya Mak, SAYA BERSUMPAH  !!! saat itu juga Papa mengucapkan sumpah di hadapan beliau Neneknda-mu, dan juga kepada hidup Papa,”

“Pa ...”, Granadaberkata lirih dipenuhi keharuan.
“kenapa  ..” raut wajah Respati berubah lembut
“aku merasa bangga mengenal Papa,” suara lembut Granada bergetar pelan.

“Putriku, jalan hidup yang dipilih tiap manusia pastilah membawa hak dan kewajiban. Kamu pasti sering mendengar, bahwa orang yang paling baik adalah orang yang menebar manfaat bagi banyak orang. Dan Papa membayangkan, betapa bahagia seandainya Papa digelandang masuk neraka oleh malaikat, akan tetapi banyak manusia lain yang memberikan saksi –jikalau Papa telah berusaha sekuat tenaga menjadi orang yang baik,” Dr. Almany Respaty menatap putrinya penuh keharuan. Kuliah kemanusiaan yang diajarkannya selama ini mulai berbuah, dan putrinya mulai merasakan indahnya getaran pengabdian. 

“sudahlah, Granada. Cukup sudah cerita tentang hidup Papa. Sebentar lagi kamu yang akan menjalani hidup dengan cara yang kamu pilih. Papa ini cuma Pemanah, dan kamu adalah anak panahnya”


Terkadang manusia butuh lapar untuk mengetahui nikmatnya sejumput makanan, dan terkadang manusia butuh haus untuk memahami betapa agung karunia seteguk air. Hingga manusia selalu belajar menafsirkan masa lalu, dan kemudian menautkannya dengan simpul tali masa depan. Hanyalah kebijakan atas waktu yang membedakan manusia mampu mengambil hikmah atau tidak dari seluruh perjalanan hidupnya.   


***

Posting Komentar

 
Top