0


Selang tiga jam kemudian, amukan badai reda sama sekali. Alam raya berangsur-angsur ramah. Di kolong langit jutaan bintang berpendar menemani rembulan sabit yang menyepi di langit timur.
Angin membisu. Demikian juga cericit binatang malam. Ketenangan alam ini bertolak belakang dengan jejak-jejak badai yang ditinggalkan. Ratusan pohon pinus cemara raksasa tumbang, guguran tebing teronggok menghalangi jalur pendakian, bebatuan besar menggelinding terhempas dari posisi sebelumnya.
Genangan air setinggi mata kaki memenuhi dasar jurang. Dita terpaksa menyeret Rheno ke dasar jurang yang lebih tinggi. Kondisi Dita tak lebih baik dari Rheno. Setelah ber-jam-jam dihantam badai, fisik Dita akhirnya tumbang. Gadis itu mengalami gejala hypothermia.
Dita tak lepas dari sisi Rheno. Tubuhnya menggigil. Sementara tanda-tanda kehidupan Rheno hanya terlihat dari tarikan dan hembusan nafasnya yang timbul tenggelam. Sesekali bibirnya mengeluarkan rintihan panjang yang memilukan. Dita berupaya membuat perapian agar tubuh Rheno dan tubuhnya mampu bertahan melawan gigitan dingin di pegunungan.
Sedangkan di goa batu, puncak Welirang, setelah berlindung berjam-jam dari hantaman badai,  Rifky berangsur keluar dari lubang perlindungan. Rifky merasa beruntung berhasil melewati badai terburuk dalam sejarah pendakiannya. Dilihatnya langit malam sangat cerah, angin membisu tak bertiup.
“Tuhan, terima kasih,” bisiknya haru.
Jejak-jejak badai nampak jelas di puncak Welirang. Puluhan batu seukuran kepala kerbau terserak menutupi jalan setapak. Tak jauh dari goa tempatnya berlindung, sebongkah batu seukuran badan kerbau pecah berantakan disambar petir.  Dan memang, Rifky sendiri pernah mendengat keganasan badai petir pegunungan  Arjuno-Welirang. Cuaca yang mudah berubah, perlindungan alam yang minim, hembusan angin yang mampu mengempaskan tubuh pendaki ke dasar jurang –kisah-kisah keganasan pegunungan Arjuno-Welirang akhirnya dibuktikannya sendiri. Berhasil bertahan hidup menghadapi badai di ketinggian 3015 m DPL merupakan keajaiban tersendiri.
Rifky kemudian menaksir diri untuk turun ke posisi lebih rendah. Dia berencana menghabiskan malam di padang edelweiss daripada di puncak Welirang. Rifky mengepak ransel. Di kepalanya tersemat lampu senter. Rifky bergegas menuruni puncak Welirang dengan langkah waspada.
Jejak-jejak keganasan badai berserakan sepanjang jalur pendakian. Pohon-pohon Cantigi melengkung nyaris tumbang. batang-batang perdu berpilinan seolah diobrak-abrik kekuatan luar biasa. Batu-batu seukuran kepala kerbau teronggok nyaris di sepanjang jalur pendakian.
Selang 45 menit menembus rintangan di sepanjang jalan setapak, Rifky akhirnya tiba di ujung Jurang Gede. Menyaksikan guguran-guguran material longsor membuat Rifky terhenyak tak percaya.  
“badai yang luar biasa,” Rifky tercekat menelan ludah
Longsoran memutus jalan setapak di tiga titik. Bahkan yang paling parah, jalur pendakian sepanjang 15 meter lenyap runtuh ke dasar jurang. Mustahil baginya melawati tanpa bantuan tali.
Rifky kemudian mengeluarkan peralatan panjat tebing dari ranselnya. Tali, harness, dan beberapa pin pengunci. Tekadnya sudah bulat, lagipula aliran adrenalin mengajaknya menaklukkan jalur tersulit di Jurang Gede.
selang beberapa menit menyiapkan peralatan, Rifky kemudian melangkah ke tepi jurang, mencari posisi, merayap dan menancapkan pengait. Langkah kakinya teramat hati-hati. Jemarinya membuat simpul dan seketika mengalihkan berat tubuhnya di juluran tali. Detak jantung pemuda itu berlompatan saat menggantung dan berayun. Keringatnya mengalir deras meskipun seluruh kulitnya diselimuti hawa beku puncak pegunungan.
Setahap demi setahap jalur tersulit dilewati. Rifky terus berayun sambil mencari posisi pengait. Tiba-tiba tanpa diduga kaki Rifky menyangkut sesuatu.
“apa ini ?” Rifky tersentak saat sorot senter di kepalanya menangkap seutas tali yang terjulur ke dasar jurang. Dia mendapati pula jejak-jejak kaki di dinding tebing.   
Sementara rembulan sabit perlahan-lahan bergeser hingga ke langit selatan. Di tengah- lengkungnya sedikit tersapu awan  hingga nampak terputus.
Ingatan Rifky tertuju kepada Rheno dan Dita. Dia menduga tali yang terjuntai ke dasar jurang milik salah satu dari mereka.
“Rhenoo !! Dita !!” teriakan Rifky memecah kebekuan gunung. Suara Rifky memantul gema berkali-kali.
“Rhenoo !! Dita !!” Rifky berteriak berulang-ulang. Namun lagi-lagi yang menyahut hanyalah pantulan gema.
Firasat buruk menggelayuti pikiran Rifky. Jejak-jejak di dinding tebing menampakkan tanda-tanda kepanikan.
“tak ada pendaki lain selain Rheno dan Dita,” gumam Rifky. “ya, Tuhan” Rifky berseloroh khawatir.”Mana mungkin penambang belerang punya tali panjat semacam ini,”
Rifky kemudian menurunkan posisi. Dia memutuskan menuruni dasar jurang. Tiba-tiba mata Rifky menangkap sorot sinar senter timbul tenggelam berulang-ulang dari dasar jurang. 
“hmm .. morse .. S .. O .. S ..”
 “Rheno !!! Ditaa !! kalian baik-baik saja ?!!!” sontak Rifky berteriak kencang setelah membaca kode morse yang ditangkap penglihatannya. Rifky seketika mengganti titian tali miliknya dengan tali yang ditemukannya. Dia lantas meluncur turun hingga suara gesekan tubuhnya dengan rimbunan perdu terdengar bergemerasak. Hingga sesampainya di ujung tali, jantung Rifky terlonjak.
“petaka !!” Rifky  terperanjat,” dua puluh meter masih tak cukup,” ujarnya geleng-geleng kepala.
Dinding-dinding tebing masih basah. Udara malam membekukan tubuh. Sambil menggantung pada seutas tali, Rifky menyambung tali milik Dita dengan tali miliknya. Hingga kemudian samar-samar telinga Rifky menangkap rintihan panjang yang memilukan. Suara seorang perempuan.
Rifky kembali meluncur menuruni tali. Kali ini dia meluncur kian cepat. Tak sadar kakinya menjejak dasar jurang yang dipenuhi genangan air. Tubuhnya menggigil, kakinya serasa terendam cairan es.
Cepat-cepat Rifky melepas simpul dan menyingkir ke dasar jurang yang lebih tinggi. Dia menangkap sorot sinar senter yang tertuju ke arahnya. Rifky melangkah mendekat. Tiba-tiba batinnya terasa perih.
Rifky menyaksikan Rheno terlentang tak berdaya. Sementara Dita meringkuk di samping Rheno, menggigil tak berkesudahan. Wajah Dita pucat sepucat pualam. Di tangan Dita lampu senter bergetar kuat mengikuti gigilan tubuh. Sementara terdapat perapian yang nampak gagal menyalakan api di dekat mereka.
“Dita ..” ucap Rifky dengan suara tercekat. Namun Dita hanya mampu membalas dengan tatapan lemah seraya meminta pertolongan.
Rambut Dita acak-acakan. Bibirnya biru. Raut wajahnya dikotori campuran air dan tanah. Tanpa membuang waktu Rifky menilik Rheno. Kondisi Rheno jauh lebih buruk. Wajah Rheno menyirat mimpi buruk. Guratan-guratan wajahnya tertarik menahan sakit. Yang lebih memilukan lagi, nafas Rheno patah-patah timbul tenggelam.
Malam menjelang dini hari. Dedaunan dibasahi embun beku. Meskipun langit cerah, gugusan kabut yang terbang rendah mengendap di lekuk-lekuk jurang.
Rifky membuka ransel, mengeluarkan kompor gas dan bahan minuman penghangat. Tanpa pertolongan cepat –mustahil Rheno dan Dita mampu bertahan hidup setelah dihantam badai berjam-jam.
Dalam hati Rheno menangis. Tangisan hatinya menginduksi kelopak matanya hingga berembun. Rifky membayangkan ancurnya perasaan Dita menyaksikan Rheno dengan kondisi seperti sekarang –s ementara dia tak mampu berbuat apa-apa. Rifky teringat angan-angannya yang ingin memiliki kekasih pendaki gunung seperti dirinya. Bahkan ketika menyaksikan kecantikan Dita saat berada di basecamp –jujur saja Rifky iri dengan Rheno. Tetapi ternyata angan-angan tak pernah beriringan dengan resiko yang dihadapi.
Rifky berpikir keras mencari cara mengevakuasi Dita dan Rheno. Tapi, ah, mustahil mengevakuasi keduanya dalam waktu bersamaan.
Rifky menatap Dita. Gadis itu menggigil kian kuat. Rifky mencondongkan wajahnya mendekat ke arah Dita.
“bertahanlah, Dita. Kamu akan kubawa ke atas,”
Dita spontan bereaksi. Air mata Dita mengalir. Isak tangisnya terdengar lirih dan panjang.
“maafkan aku. Dita. Aku .. aku datang terlambat,” ucap Rifky lembut. Hampir embun di kelopak matanya menitik.
Bibir Dita bergerak pelan. nafasnya lebih kuat. Dita ingin mengucap sesuatu. Rifky mencondongkan wajahnya lebih dekat.
“Rrr ff kiih,” air mata mengalir di pipi Dita
“sss ss se lamam at kan Rheenn nno”a
“sela mmma mmatkaann Rhennohh,”
Rifky tak tegaa. Dia tak sanggup penyaksikan kondisi Dita.
Kabut putih menebal, mengendap di dasar jurang. Endapan kabut menjadi pertanda dua peristiwa. Endapan kabut adalah tanda angin tak bertiup. Endapan kabut juga pertanda bagi pendaki agar memasang seluruh kesadarannya akibat jarak pandang yang pendek.
Sesaat setelah air mendidih, Rifky cepat-cepat menuangkannya ke dalam cangkir, membuat air panas bercampur gula. Rifky kemudian menyeduhkan minuman perlahan-lahan, satu-persatu ke mulut Rheno dan Dita untuk mengembalikan panas tubuh mereka.
Lima belas menit kemudian kondisi Dita membaik. Gigilan tubuhnya berkurang –terlebih setelah Rifky menyalakan perapian kecil di dekat mereka. Namun yang mengkhawatirkan Rifky adalah kondisi Rheno. Lelaki itu tak bergerak sedikitpun. Yang bereaksi dari tubuh Rheno hanyalah getaran bibir dan hembusan nafas yang patah-patah.
Rifky kemudian menyiapkan evakuasi. Simpul tali dirangkai membentuk jaring-jaring kuat –memastikan survivor tiba di atas tebing melalui gendongan punggung. Sendirian merangkai simpul evakuasi bukanlah perkara mudah, Rifky harus beradu cepat melawan waktu. Rifky serasa memakan buah simalakama. Naik ke atas tebing sendirian dan turun mencari pertolongan –sama artinya membiarkan keduanya mati di dasar jurang. Tetapi, menyelamatkan salah satu di antara mereka bisa jari membunuh seorang yang lain.
Ah, Rifky lebih memilih berbuat sesuatu daripada banyak pertimbangan tapi terlambat menolong. Rifky memutuskan menolong salah satu di antara mereka dan membawanya turun ke basecamp. Dengan itu dia berharap mendapat bantuan dari penambang belerang untuk mengevakuasi yang berikutnya.
“ya, inilah yang akan kulakukan. Dimulai dari Rheno,” Rifky meyakinkan keputusannya sambil memastikan ikatan simpul tali.
Rifky melangkah mendekati Rheno. Untuk sesaat dibersihkannya paras Rheno dari air dan tanah. Wajah Rheno pucat luar biasa. Bibirnya biru pucat. Sesaat sebelum Rifky memasang tali di tubuh Rheno, Rheno bereaksi.
“Riff.. hgggklkl,”
Tiba-tiba Rheno bergumam lemah. Suara yang keluar nyaris tak terdengar. Rifky segera mencondongkan telinga mendekati bibir Rheno. Ternyata meskipun Rheno memejam mata, kesadarannya masih bersisa. Rifky bahkan tak percaya jika Rheno mengenali kehadirannya.
“Riffk.ihh . Di..TA ..Di..taa..” gumam Rheno dengan nafas tersengal-sengal.
“Rheno .. aku akan membawamu turun lebih dulu,”
“Ti.. dakk.. Di..Ta.. Di.. Ta..”ujar Rheno patah-patah.
Air mata Rifky menitik menyaksikan Rheno yang terpuruk tak berdaya. Rifky sekaligus menangisi ketidakberdayaannya menolong Dita dan Rheno bersamaan. Ah, andai saja saat ini kawan-kawan pendakinya hadir disini, tentulah tak terlalu berat bebannya mengevakuasi Dita dan Rheno. Mengevakuasi survivor dari dasar jurang 25 meter membutuhkan kesabaran dan tenaga luar biasa.
“baiklah, aku akan mengevakuasi Dita, dan aku akan kembali secepatnya,” Rifky berujar dengan perasaan remuk redam.
Rifky kemudian bangkit menghampiri Dita. Radiasi perapian yang menghangatkan tubuh Dita perlahan-lahan mengembalikan kesadarannya.
“Dit, aku akan mengikat tubuhmu, kita akan keluar dari jurang.”
Dengan gerakan lemah, kelopak mata Dita yang memejam kemudian membuka.
“aku .. aku disini saja, aku takkan kemana-mana, aku bersama Rheno,”
“kau harus turun gunung, Dit. Kondisimu parah,”
“Rheno lebih parah, dia harus turun lebih dulu,”
“tapi Rheno memintamu turun lebih dulu,”
“tidak .. aku tak mau, kau turunlah meminta bantuan. Biar aku menemani Rheno,”
“sekalian, Dit. Kubawa kau keluar dari jurang. Kuharap Penambang Belerang bergerak menuju puncak. Kuserahkan dirimu kepada mereka, biar Rheno kuangkat dari sini,”
 Tatap mata Dita menunggu. Kelopak matanya berair. Kemudian –
“bantu aku bangkit. Aku ingin berbicara dengan Rheno,”
Tubuh Dita nyaris tanpa tenaga. Yang mampu digerakkan dari tubuhnya hanyalah kedua tangan, itupun dengan ayunan teramat lemah. Rifky yang membimbing Dita bangkit tak sabar dengan gerakan Dita yang lemah.
“ijinkan aku membopongmu,”
Dita tak bereaksi saat kedua tangan Rifky melingkar dan menopang berat tubuhnya.
Tetes-tetes embun menitik di ujung daun yang terjuntai ke dasar jurang. Sesekali pipi Dita merasakan dinginnya embun gunung yang nyaris beku. Rifky membawa Dita bersimpuh di samping Rheno.
“Sayang, bertahanlah,” Dita membiarkan air matanya meleleh sembari tangannya membelai paras Rheno. Rheno bereaksi. Bibirnya bergerak-gerak seakan ingin mengucap sesuatu. Lelehan air mata mengalir dari ujung kelopak matanya.
“Rheno .. Rheno ..” Dita menangis berkepanjangan.

“ayolah, Dit. Secepatnya kita keluar dari tempat ini. Lebih cepat, lebih baik.” Rifky menyentuh pelan pundak Dita. Dita menoleh, menatap  Rifky seraya memohon pertolongan. Emosi menggelombang di dada Dita. Dia tak kuasa meninggalkan kekasihnya terpuruk di dasar jurang.

Posting Komentar

 
Top