0

Zweta menangis. Ia tak mampu membendung luapan emosi. Air mata yang meleleh di pipinya tak dihiraukan lagi, ia mendaki dengan kecepatan tinggi.

Sementara Gunung Panderman serasa mewakili perasaannya. Ya. gunung itu amat kesepian. Tak ada pendaki yang dijumpai Zweta sepanjang jalan. Yang menemaninya hanyalah beberapa ekor makakayang bertengger santai di pohon-pohon.

Langkah Zweta terus bergerak menapaki track terjal. Gigiran jurang tak membuat hatinya berdesir, ilalang-ilalang yang menyapu tubuhnya seakan tak tersentuh. Zweta tertikam sedih. Kesedihan yang dirasanya seakan tinggi menjulang bagaikan gunung yang didakinya saat ini. Ya, sedih yang ia rasakan teramat melelahkan, panjang sekaligus terjal.

Akhirnya Zweta tak kuat lagi menahan perasaan. Sesampai di punggung batu Watugedhe, ia berteriak sekuat-sekuatnya sambil menangis keras. Ia meradang. Dipandangnya wajah langit kala air mata meleleh membasahi pipi. Ya, Zweta menatap langit senja. Namun entahlah, keindahan langit senja tak sanggup melipur hatinya yang terlingkupi amarah. Ia seakan menantang seluruh jalan hidupnya. Dan ia bersumpah sampai kapanpun takkan berdamai dengan misteri yang terus menerus mengganggunya.

Akhirnya tepat saat matahari tenggelam kaki Zweta menjejak puncak Panderman. Namun setiba di puncak Panderman, dadanya pun masih sesak karena tangis. Tak ada yang sanggup menghiburnya. Tak jua angin, bintang, ataupun kecantikan langit petang. Ia tak ingin lagi melipur diri. Ia tak ingin berlari. Ia ingin menantang.


“Tuhan, kenapa ?” tangisnya mulai reda. Namun pertanyaan hatinya hanya disahuti serangga senja yang menyanyi di pepohonan. Ya –yang menjawab pertanyaannya hanyalah angin gunung yang berisik ketika menghembusi pucuk-pucuk pinus.

Zweta kemudian termenung. Emosinya berangsur stabil. Dan dipandangnya kelip lampu kotasambil duduk di atas kayu tua yang telah rebah. Tapi lagi-lagi semua itu takkan sanggup membuatnya berdamai dengan sang  misteri.

Kini Zweta membuat perapian di depan tenda dome. Dikumpulkannya beberapa ranting dan dahan kering yang terserak di puncak gunung. Ia ingin mengusir dingin yang mulai memeluk tubuh. Namun dalam hatinya ia tak ingin mengusir sepi, karena hanya sepilah yang menemaninya kali ini.

Sementara angin gunung terus bersuara. Di atas langit telah muncul setandan bulan sabit yang redup cahayanya. Di sekeliling bulan, tak nampak pendar bintang yang cerah. Namun di ujung jauh, ia melihat taburan bintang berkerlip-kerlip. Bahkan beberapa kali langit gelap tercerati sinar panjang bintang jatuh.

Perapian yang merantaki kayu mulai menghangatkan tubuh Zweta. Nyala api memerah mengantar radiasi kehangatan. Zweta termenung. Tangannya melingkar mendekap kaki. Dalam kesendiriannya saat ini, ia merasa kesepian. Namun entahlah, bersama sepi yang setia menemani, perlahan-lahan Zweta menemukan kembali dirinya. Peristiwa demi peristiwa mulai terurai satu persatu. Bagai rangkaian mozaik yang sebelumnya terserak berserpih-serpih, semua mulai menaut membentuk gambar yang bisa dimengerti. Mulai dari Mama, Kakaknya, Rania, Audrey, dan semua manusia yang pernah bertautan waktu dengannya.  

“Tuhan, maafkan aku yang lancang berteriak padaMu. Namun kenapa kau beri aku beban ini, Tuhan ? kenapa ?” Zweta memandangi rembulan sabit yang redup berpendar, ia masih terpekur sedih. Hingga kemudian dikeluarkannya foto kecil dari saku bajunya. Foto dengan gambar yang telah kabur sebagian namun mengabadikan masa terindah yang sekaligus teramat lampau.

“Papa”, ia berbisik lembut ketika menatap gambar dirinya dan Andro yang masih kecil. di foto itu tergambar dirinya dan Andro yang dirangkul Mamanya. Ia tak mungkin melupakan peristiwa saat itu. Karena ia bisa masih mengingat senyum Papanya tatkala mengambil gambar.

Zweta menatap foto dirinya dalam-dalam. Dirinya yang memakai jaket bulu angsa bertopi rajutan. Ah –masa lalu yang kabur seolah menjadi misteri yang melelahkan untuk dikejar. Zweta kelelahan. Namun ia telah bersumpah takkan menyerah. Dan sampai kapanpun ia takkan berdamai dengan hidup penuh pertanyaan seperti ini.

Tiba-tiba berkelebat sinar senter dari tempat yang tak jauh. Mata Zweta menangkap sorotan sinar senter timbul tenggelam terhalang perdu dan sesemakan. Sinar itu menyorot dari arah belakang. Ia bangkit dan mencari sumber cahaya. Mungkin ada pendaki gunung yang sedang menuju puncak, begitu pikirnya. Kemudian sambil masih dilamun sedih, Zweta memilih duduk dan berdiam diri di depan perapian. Ia membuka telapak tangan dan merasakan kehangatan yang terpancar dari geliat api unggun.  

“Sayang !” tiba-tiba terdengar suara perempuan setengah berteriak. Suara itu disertai gemerasak bunyi tubuh yang bergesekan dengan perdu dan sesemakan. Suara langkah kaki terdengar semakin jelas, Zweta yakin itu suara Mamanya. Ia segera bangkit dan melangkahkan kaki menuju gerbang puncak Panderman.

“Mama !” Zweta berteriak menyahut.
Ya Tuhan !
Seketika Zweta terkejut mendapati Mamanya telah berdiri di depannya, punggungnya pun bergerak naik turun mengatur nafas.  

Melihat Mamanya berdiri melepas letih, Zweta segera menghambur memeluk Mamanya. Serupa anak kecil yang lama tak berjumpa ibunya, ia setengah berlari.

“Sayang,” perempuan paruh baya itu memeluk erat putrinya. Ia merasa bersalah.

Sementara malam menggantang rembulan sabit, kelap-kelip lampu kota dari puncak Panderman terlihat seperti jutaan kunang-kunang yang terserak. Tak nampak lagi gunung Mahameru di sisi timur, tak nampak pula gugusan pegunungan Arjuno-Welirang di sisi utara. Semuanya terselimuti kepekatan malam.

***

Sementara kemudian Zweta dan Mamanya menepis dingin di depan perapian. Mereka membuka telapak tangan dan  merasakan pancaran api yang berangsur mengalirkan kehangatan. Namun entah mengapa, seolah saja hawa dingin yang terkalahkan radiasi perapian tak pula mencairkan kebekuan di antara Zweta dan Mamanya. Mereka masih berdiam diri.

Sekali lagi seolah muncul benteng semu yang sengaja dibangun dan berdiri tegak memisahkan.  

“coklat-susu, Sayang.” perempuan itu menyodorkan secangkir minuman hangat yang baru dibuatnya. Namun putrinya itu menggeleng pelan sambil pandangannya terpaku ke perapian.  

“Ma,” Zweta tiba-tiba tersadarkan, tatapannya beralih. Ia merogoh saku jaket dan kemudian menyodorkan sebuah foto.

Perempuan paruh baya itu menatap sedih putrinya. Tangannya meraih foto. Hatinya berdesir perlahan ketika tatapan Zweta seolah meminta penjelasan.
   

“maafkan Mama, Sayang.” Perempuan itu lirih berucap. Ia menatap foto seolah tak pernah menyaksikan sebelumnya. Seakan gambar perempuan tersenyum yang sedang merangkul kedua anak manis dan lucu itu bukanlah gambar dirinya.

“apa yang harus aku maafkan, Ma. Aku tak tahu,” Zweta berkomentar lirih. Seluruh harapannya serasa patah.

Lagi-lagi hadirlah kebisuan di antara mereka. Seolah Gunung Panderman tak mengijinkan mereka berbicara. Hanya angin gunung. Ya, hanya angin gunung yang mendesis panjang  bersama pinus-pinus yang bergoyang.

“maafkan kesalahan Mama, Sayang.” lagi-lagi perempuan itu mengatakan kalimat yang sama. Dipandangnya Zweta dengan sorot mata lembut,
“kesalahan yang mana, Ma ? Papa ?”

Perempuan paruh baya terdiam makin rapat.
“Papa dimana, Ma ? aku ingin menemuinya !” emosi Zweta menguasai suaranya.

“atau . .  atau . . setidaknya beri aku penjelasan, Ma ! jangan cuma diam !” Mata Zweta berkaca-kaca.  

“maafkan Mama Sayang. Maaf,” suara perempuan itu parau dan bergetar. Ada saat ia menunduk makin dalam. Tapi kemudian ia berusaha tegar dengan menegakkan kepala.

“ya Tuhaaaan... “ Zweta berseloroh pelan sambil memandang bintang-bintang. Ia berusaha tak menangis walau akhirnya menangis. Ya, punggungnya berguncangan. Ia terisak. Tak kuasa lagi Zweta menahan emosi yang menggelora dan menenggelamkan dirinya. Seluruh tenaga ia kumpulkan dan kemudian bangkit berdiri.  

“kamu selama ini selalu bertanya dimana Papamu... dan Mama selalu berusaha menghindarinya,” tiba-tiba suara Mama bergetar hebat. Zweta terhenti.
“bukannya Mama tak bersedia menjawab pertanyaanmu, Sayang ...tapi kalau kamu bertanya dimana Papa kamu, maka Mama juga tak tahu dimana dia berada ..” perempuan itu menggeleng tak percaya. Seolah ia tak ingin mengingat semua kejadian yang menimpa dirinya.

“tidak tahu ?!! ”,
“Ma !” Zweta tersentak tak percaya. Tak disangkanya kabut misteri teramat tebal untuk disibak. Ia masih berdiri dan menatap Mamanya.

“Papamu pergi sehari setelah kita balik dari Danau. Dan saat itulah Mama melihatnya untuk  yang terakhir kali,” tiba-tiba kelopak matanya terasa hangat. Membangkitkan seluruh ingatan mengeluarkan energi yang tak sedikit.  

“yang jelas, setelah tiga hari Papamu pergi, Mama mendapat kabar lewat telepon kalau Papamu menghilang dari seorang kawannya. Dan tak lama kemudian, Mama membaca di suratkabar kalau kawan Papamu itu ditemukan tewas terbunuh di Hutan Sumatera,”

Tak terasa kata-kata perempuan itu mengalir deras. Akhirnya seluruh beban yang puluhan tahun terbendung terasa tertumpah, semua yang terpendam seketika terangkat. Bagai energi gunung berapi yang tersumbat, kini letusan gunung telah mampu menjebol dinding kawah. Butuh keberanian yang tinggi untuk berbicara jujur kepada Zweta -putrinya. Tak mudah untuk mengatakan sebuah fakta yang pahit.

Zweta terus terpaku tak mengerti. Ia tak sepenuhnya faham dengan misteri ini. Tapi Zweta akhirnya teringat ketika Mamanya, Andro dan dirinya menyingkir dari Jakarta.

“Jadi . . Papa  . .” Zweta terbata
“Papamu hilang, Sayang . .  hilang . . .”  
“ya Tuhaaannn,” Zweta menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan gemuruh perasaan. Apalagi saat menyaksikan tatapan Mamanya menengadah menatap wajahnya.

“Papa melakukan apa, Ma ?” suara Zweta berhimpit tangis. Logikanya mulai mempertautkan banyak fakta yang ia pahami. Mama pernah marah kepadanya menjelang turun ke jalan. Mama selalu menasehati dirinya untuk terus konsen kuliah dan menjauhi masalah. Ah –ia masih tak mengerti. Mungkinkah ? ah – ia tak ingin menduga-duga. Ia telah bersumpah untuk tak berdamai dengan belenggu misteri. Ia ingin mendapatkan seluruh jawaban malam ini. Dan Zweta akhirnya jatuh terduduk di samping Mamanya.  

Zweta terus menangis ketika diceritakan aktivitas Papanya. Dan Zweta akhirnya tahu jikalau Papanya adalah seorang yang teguh, sekaligus keras kepala. Matanya terus menatap nanar, pipinya dihiasi lelehan air mata.

Sesekali Zweta memandang Mamanya dengan tatapan tajam. Ya- tajam sekali. Tatap matanya serupa elang yang terluka. 

“ia telah dirampas, Sayang”  perempuan paruh baya itu berusaha tegar. Ia pun tak lagi berdamai dengan bayangan masa lalu. Ia pun ingin mengunci buku-buku waktu yang sering membuka dengan sendirinya tatkala dirinya dilamun sepi. Namun tajam tatapan Zweta serasa mengoyak batinnya.

“siapa yang merampas, Ma ?”
“siapa ? Negara ?”
“penguasa ?”
“atau .. atau . . setidaknya aku harus tahu siapa yang telah merampas Papaku, Ma.” Suara Zweta perlahan melemah dan tergantikan isak tangis. 

“Mama tak mengerti, Sayang. Maafkan Mama,” perempuan itu pasrah ketika kata-kata Zweta seakan menghakimi.  
“terus apa yang Mama perbuat ? berusaha mencari  ? ah tidak ! Mama diam ! Mama tidak melawan ! Mama lari !!”  Zweta meradang. Ia tak terima.

Mendengar kata-kata Zweta, batin perempuan itu menangis. Sedemikiankah ia di mata putrinya. Lari ?.

“ya. Mungkin Mama lari. Tetapi  . ”
“tetapi apa, Ma ? berusaha dengan cara apa ? bersembunyi ?”

“Mama sudah berusaha mencarinya, Sayang. Bahkan ketika kita sampai disini. Tetapi  . . Mama dipaksa menghadapi kenyataan bahwa Mama harus membesarkan kamu dan Andro yang masih kecil. Mama ingin menghindarkan kalian dari trauma intrik dan konflik. Mama tak ingin menghabiskan energi untuk itu. Masih ada kalian berdua ! Mama akhirnya memilih pasrah,” bulir air mata yang menggantung akhirnya jatuh.

Malam makin gelap. Tapi tak segelap misteri yang berusaha disingkap.

“Sampai beberapa tahun setelah dia menghilang- Mama merasa sangat yakin kalau dia pasti datang suatu ketika –entah kapan. Tapi perlahan keyakinan Mama tergantikan pasrah dan ikhlas. Aku telah ikhlas kehilangan Papamu, tapi sekaligus aku bersumpah membesarkan dua buah hatinya menjadi orang yang mengabdikan hidup demi sesuatu yang diyakininya benar. Itu sumpah Mama !!!”

“dan sekarang ? apakah Mama masih yakin Papa akan datang ?”
“Mama sudah ikhlas, Sayang. Mama sudah pasrah”

“tapi Ma, kenapa .. kenapa aku masih bisa merasakan kehadiran Papa di antara kita .. apakah Mama tidak ?”

“ah Putriku, bagaimana bisa Mama tidak merasakan .... Mama bisa merasakan ia hadir menyapa Mama lewat mata kalian, semangat kalian, dan tumbuhnya kalian menjadi lelaki dan perempuan yang membanggakan,” 

Zweta merebahkan kepala di pundak Mamanya. Ia tak lagi merasa kesepian. Namun kesedihannya teramat dalam dan menganga bagaikan tebing-tebing Panderman yang menjulang tegak di sisi timur.

“Sayang, untukmu ..” Mama kemudian menyerahkan sebuah buku.
“apa ini, Ma ?”
“bacalah,”

Zweta terkejut menyaksikan buku harian bersampul warna coklat. Perlahan-lahan ia membuka lembar demi lembar sambil diterangi nyala perapian yang merantak membakari dahan kering. Tangannya membuka lembar demi lembar, menatap kata demi kata tulisan tangan yang rapi.   

“Ah Zweta, malaikat kecilku itu sebentar lagi berulang tahun yang ke empat. Semoga sifat manjanya semakin berkurang. Kemarin aku teramat bahagia melihatnya menari kegirangan waktu kuberikan boneka putri salju. Malaikatku itu kata Nahla-ku semakin nakal dan usil saja. Seminggu yang lalu dia demam akibat bermain hujan di halaman.

Zweta, kelak kamu akan tumbuh menjadi perempuan yang secantik mawar liar di lembah gunung. Kamu akan memiliki mata dan kerling indah ibumu. Aku yakin itu. Tapi aku juga yakin kamu akan tumbuh menjadi perempuan yang keras kepala, sama sepertiku -ayahmu.

Dan Andro, malaikat pertamaku, dia semakin bandel. Kata-kata Mamanya susah untuk didengarkannya. Semoga saja, dia hanya kurang perhatian dariku. Yang membuatku khawatir, dia kemarin sudah berani bohong kepada Mamanya. Entahlah, semoga Andromedaku itu tidak kelewatan. Aku tahu ia cerdas.

Nahla “inong”-ku, bidadari yang melahirkan para malaikatku. Terima kasih Tuhan, dia adalah karunia mahabesarMu.

Leuser, 19 Juni’


“ya Tuhaaan ..” air mata Zweta kembali menitik saat membaca tulisan itu. Peristiwa yang tertulis di buku harian Papanya serasa terulang kembali di depan matanya.

“Papa di Aceh, Ma ?” Zweta menyeka kelopak mata.
“ya. Sejak itu dia selalu memanggilku dengan panggilan, Inong”

Ah, kau Ernesto Guevara, Penunggang La Poderosa. Pengembaraanmu dengan Alberto Granado telah mengubah pandangan hidupmu tentang keadilan. Motorcycle’s Diary. Buku yang bagus. Tapi yang lebih menyentuh adalah pesan untuk anak-anakmu itu, Che. Luar biasa. Sangat menyentuh. Bahasa yang natural  dan penuh cinta.

 Untuk anak-anakku  Hildita, Aleidita, Camilo, Celia, dan Ernesto terkasih,

“Bacalah baik-baik surat ini karena aku tidak lagi bersamamu. Praktis engkau tidak akan ingat lagi akan aku, dan kau yang paling kecil tidaklah akan ingat aku sama sekali. Ayahmu ini hanyalah seorang manusia yang bertindak atas keyakinan yang dipegangnya, dan setia pada pendiriannya. Tumbuhlah kalian menjadi revolusioner yang baik. Belajarlah yang tekun sehingga kalian dapat menguasai teknologi yang akan memungkinkan kalian menguasai alam. Camkanlah bahwa revolusi adalah hal yang pokok, dan bahwa masing-masing dari kita seorang diri, tidak akan ada artinya. Diatas segalanya, kembangkanlah selalu perasaan mendalam terhadap siapapun yang mengalami ketidakadilan, dimanapun di dunia ini. Inilah kualitas yang paling indah dari seorang revolusioner. Sampai kapanpun juga, anak-anakku, aku masih berharap melihatmu. Cium mesra dan pelukan erat dari ayah”  

Sangat menyentuh, Che., Teramat menyentuh. Tetapi Che, maaf !, aku masih tak percaya dengan revolusi. Karena dimana revolusi terjadi, disana pasti ada darah yang tertumpah. You’re great Che,
 
[hasta la victoria siempre]
Sampai kemenangan abadi nanti !



Zweta terus membaca beberapa halaman yang membuatnya tertegun. Lewat kalimat-kalimat panjang yang menyentuh, ia mulai memahami karakter Papanya –sosok yang begitu dirindukannya selama ini. Tak terasa, ada kekaguman menggelombang. Ia makin penasaran. 

“Ma ?” Zweta menatap sayu.
“ya, Sayang. itu lembar yang terakhir,”


‘alam sudah rusak memilukan. Di Sumatra, hutan-hutan terambah. Aku jadi heran, kenapa Tuhan menciptakan orang sedemikian bodoh membuat kebijakan.

Yang lebih sedih ketika kulihat berhektar hutan tinggal pangkalnya mengering. Gelondongan kayu jutaan kubik dirampok. Entah kepada siapa lagi hutan berharap. Menunggu sadarnya penguasa sama saja menunggu datangnya unicorn di muka bumi.

Apapun jadinya, semoga langkahku dan kawan-kawan belum terlambat.

Kemarin aku hampir saja dicurigai dan sempat diinterogasi karena ketahuan mengambil gambar. Hahaha. Adrenalinku seketika terpompa. Namun yang kutakutkan seandainya saja “komunitas” kami terkhianati konspirasi. Ah –semoga saja tidak, semoga Tuhan melindungi kami.

Dan kini aku dan Janepi hanya terdiam di tengah hamparan tanah kering yang retak seperti sarang laba-laba. Padahal aku tahu dulu ini adalah kawasan orang rimba.

Entahlah. Dimana dia sekarang. Sudah dua minggu lebih tak memberi kabar.

Janepi – Janepi, ternyata masih ada saja orang idealis dalam pemikiran dan tindakan. Dasar kepala batu. Dikucilkan kau sekarang. 


“ada yang dirobek, Ma” Zweta terkejut menyaksikan bekas robekan di lembar buku harian. Ia yakin kalau tulisan di buku itu sengaja dihapus isinya.
“ya. memang ada yang dirobek. Mama mendapatinya sudah demikian ..”

“dan ini apa, Ma?”
“itu hadiah terakhir Papamu kepada Mama. Sebuah puisi,”

Nahla,
Melihat waktu bagiku –
Sama saja melihat lumut di punggung bebatuan

Dari sesuatu yang bernama ketiadaan,
ternyata ia :
Mampu menumbuhkan keniscayaan.

Nahla,
Menafsirkan waktu bagiku,
Sama saja menafsirkan kedip indah para bintang

Sinarnya ada di masa lalu
Takjubnya hadir di masa sekarang

Nahla,
Aku tak pernah tahu :
Manusia manakah yang pernah menang melawan waktu.

Tapi setidaknya,
Jika kita takkan pernah menang melawannya–

Maka :
Ia bisa menjadi kawan baik

Karena :
Dibalik kearifan dan kesedihan waktu –
Ia membuat kita tua.

Ia membuang tabir sekaligus mengukir jejak pada :
Kesan yang ia tinggalkan.

Nahla,
Manusia itulah sang pemilih,
Namun jika aku yang disuruh memilih
Maka aku ingin hidup seperti seekor kupu-kupu.

keteguhan dan kesabaran cita-citanya,
Mengantarnya terbang mengepak sayap ke angkasa

Dan Nahla,

bagi manusia yang tak berani memilih,
Ia hanya menjadi perahu kertas yang mengapung di samudera berbadai-badai

Ia rapuh –dan ia layuh

Nahla,
Berharaplah mempunyai hidup yang indah seperti puisi

Ia tersusun dari intuisi yang sederhana –jujur –apa adanya.
Ia terang dalam makna yang tersembunyi – tetapi tidak diam.
Ia bisa dipahami oleh orang yang sedang tidak tergesa-gesa

Dan Nahla,
Berdamailah dengan waktu
Untuk bersepakat menggenapkan kata atas puisi hidupmu.


Sayang,
Puisi ini kuberi judul “Waktu”


“Papa membuat puisi, Ma ?” Zweta menatap haru. Ia tak percaya.
“kamu tak ingat, Sayang ?” perempuan itu ganti bertanya.
“tidak,”
“saat ia menyendiri di tepi danau ? termenung di atas kayu ?”
“tidak, Ma”
Melihat Zweta masih menggeleng. Perempuan itu menarik nafas dan membelai rambut putrinya.

“Sayang, melihat tatap mata kamu, membaca puisi kamu, apalagi melihat kamu yang keras kepala, kamu pikir dari mana semua milikmu itu berasal,” perempuan itu melanjutkan kata-katanya dengan lembut.

Di akhir kalimat Mamanya, hati Zweta dihantami keharuan, batinnya bergetar, kelopak matanya kembali berembun.

Tak butuh bulan purnama untuk berjalan di waktu malam. Manusia di bumi hanya butuh mata terbuka yang sanggup menangkap cahaya bintang. Sementara Gunung Panderman berdiri perkasa menantang angin, sedangkan nyala perapian yang menjilat dan menggeliat cepat merantaki ranting dan dahan-dahan kering. Malam ini, semua seperti hening kecuali angin gunung  yang terus menerus bersuara dan menampar kasar.

***

Posting Komentar

 
Top