0

Tumpang, 14 Agustus

Langit membiru cerah benderah. Matahari dan langit bersepakat menjalani hari tanpa awan. Angin bertiup tak kasar. Hanya juluran dedaunan kelapa yang bergoyang pelan mengikuti arah angin.

Sementara tujuh ekor burung gereja passer montanus menghambur serentak. Sekawanan burung itu bergerak lincah, menari-nari, dan berkicau bersahutan di atas bubungan. Tak lama kemudian  nampak pula seekor lagi yang paruhnya menaut ilalang, Ia melesat terbang, menghilang di sela pelepah kelapa dan bersigap menganyam sarang.

“kita naik ini,Ta ?” Emma bertanya kepada Zweta ketika menyaksikan ransel mereka mulai ditata dan diikat di atas kap Hardtop. Wajahnya gamang.
“tentu saja, Em. Kita naik ini”
“berapa orang sekali angkut ? banyak banget ranselnya,”
“duapuluh untuk hardtop yang kecil. Yang agak besar bisa nyampe duapuluh lima,”
“dua puluh lima??!!” Emma terbelalak tak percaya
“iya. duapuluh lima. Coba saja kamu hitung jumlah ransel yang terikat”, Zweta tersenyum nakal. Dan Emma sungguh-sungguh menghitungnya.
“bagaimana mungkin, Ta ??!! gila !!“ Ia terheran tak percaya.

Sementara Emma semakin heran ketika menyaksikan kendaraan pendaki yang baru saja berangkat. Kendaraan itu melesat mengangkut dua puluh pendaki yang berteriak gembira. Mereka berdiri di bak belakang yang telah dimodifikasi dan diberi besi hollow sebagai pengaman.

“bagaimana mungkin,” Emma berujar tak percaya.
“pembuat mobil pasti shock kalau melihatnya,”

Para pendaki gunung itu berangkat seperti pasukan berangkat perang. Berteriak-teriak, meluapkan emosi, ada gelora yang terpancar dari wajahnya.

Inilah kota kecil bernama Tumpang. Di bulan Juni hingga Oktober, kota ini tak pernah sepi dari pendaki gunung, terlebih di bulan Agustus. Kota yang merupakan salah satu lokasi penting di jaman kerajaan Singhasari ini memang menjadi pintu gerbang pendakian menuju titik tertinggi di Pulau Jawa, Puncak Mahameru. Mereka, para pendaki yang memang berasal dari banyak tempat, biasanya beristirahat di kota ini setelah menempuh perjalanan panjang, melepas lelah, sambil mengisi perbekalan yang banyak dijual di deretan toko kelontong pasar Tumpang.

Sementara itu tak banyak orang tahu, di sebelah utara pasar Tumpang terdapat Candi Jajaghu atau sering disebut dengan candi Jago oleh masyarakat sekitar. Candi itu merupakan situs purbakala dari jaman Kerajaan Singhasari yang konon merupakan makam Raja Anusapati, Raja ke 2 di Era Singhasari.

Siang ini di pasar Tumpang, lebih dari sembilan puluh puluh pendaki berkumpul menunggu giliran. Mereka duduk santai di atas tanah, di emper-emper warung, di depan toko, juga di bangku-bangku kayu tempat tukang parkir biasa mangkal. Sambil duduk-duduk santai menunggu giliran, tak henti-hentinya mereka bersenda gurau, tertawa-tawa, bahkan saling melempar hujatan satu sama lain. Malah di ujung jalan yang agak jauh, seorang pendaki eksentrik membunyikan radio transistor jadul sambil merebahkan diri di atas trotoar.

“Drey, makan siang dulu ! jam dua kita berangkat,” Zweta setengah berteriak memanggil Audrey yang asyik bercengkrama dengan beberapa pendaki dari Jakarta. 
***


Tepat pukul dua siang, kendaraan pengangkut pendaki bersiap membawa mereka. Angkutan Hardtop yang lumayan besar itu telah diisi dua rombongan lain. Tiga orang pendaki lokal yang berdandan eksentrik, dan sisanya adalah pendaki gunung rombongan dari Bandung. Keseluruhan dari mereka berdiri di belakang di bak terbuka, sementara beruntunglah Emma dan Audrey, mereka kebagian duduk di samping sang sopir. 

“tak ada yang ketinggalan ?”
Sang sopir yang di lehernya melilit sarung meminta konfirmasi kepada pendaki di bak terbuka, tatap matanya menunggu.
“beres, Bos !! siap meluncur !”
“sip !” sang sopir menunjukkan jempol kanannya sambil tersenyum puas. Ia kemudian memasuki kendaraannya.

Tak lama kemudian, pacuan roda-roda hardtop melesat membelah jalan raya. Mereka meninggalkan kota Tumpang, menuju desa terakhir di kaki gunung bernama Ranupane.

Hembusan angin yang terpilin membuat rambut mereka tertarik ke belakang. Melambai-lambai, bergerai-gerai, bergoyangan seperti padi sawah diusik angin. Rania tersenyum, manis sekali. Senyum melatinya melukis daya tarik luar biasa. Ia merasakan pengalaman lain yang tak terkira. Berdiri di bak terbuka, bergabung bersama para petualang untuk mendaki titik tertinggi di tanah Jawa.

Sesekali lirikan pendaki mencuri pandang. Apalagi pendaki lokal yang cengar-cengir dan bermuka tirus mirip tikus stuart little. Mereka bergurau dan tertawa keras-keras, dan hal ini malah membuat perjalanan terasa cair menyenangkan. Bayangkan, pendaki eksentrik itu cuma bermodal sendal jepit dan celana jins tercabik-cabik, sementara baju atasnya adalah baju lurik belang-belang ,serupa seragam penabuh gamelan dalam acara pentas wayang semalam suntuk.

Betul-betul pendaki edan bermodal nekat,
Pendaki dari Bandung terheran-heran. 

“sudah berapa kali ke Mahameru ?” pendaki Bandung mencoba mengakrabkan diri dengan pendaki lokal.
sejinah, Mas !!!” pendaki itu cengar cengir sekenanya.
“berapa kali ?” pendaki Bandung lagi-lagi bertanya tak mengerti. Hembusan angin mengaburkan jawaban.
“dia sudah mendaki duabelas kali !” Zweta berteriak mengartikan. Tangannya menggapai-gapai menahan goncangan.
“gila !! duabelas kali !” pendaki Bandungterheran sambil sekilas memandang Zweta.
“malah ada yang sudah mendaki lima puluh kali !! kalau kalian beruntung pasti menjumpainya,” kata-kata  Zweta makin membuat penasaran.
“beneran, Ta ?”, Rania tak percaya. Sementara pendaki lain ternganga.
“iya bener ... aku pernah bertemu,”  Zweta menjawab meyakinkan.
“heehhh ??? goblok apa gendheng itu orang ??” pendaki lokal berujar sekenanya 
“lah kalo kamu termasuk yang mana ? yang goblok apa yang gendheng ? toh kamu juga sudah dua belas kali,” Zweta tergelak
Cok !!  pilihane nggak enak kabeh !!! goblok karo gendheng !”
“pilihan sontoloyo !!” umpat pendaki lokal bermuka tirus.
Seketika saja kata-katanya disambut tawa renyah  seisi bak terbuka.

 “sik-sik,bukane dua tahun kemarin kamu pengibar bendera di Mahameru??”
Pendaki bermuka tirus nampak menyelidik menatap Zweta.
“halaahh .. dasar sok tahu,” Zweta pura-pura tak menanggapi sambil melempar senyum.

Selang 20 menit membelah jalan raya, hardtop kemudian berhenti di Gubuk Klakah, di kantor Balai Konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) untuk meregistrasi rombongan yang akan memasuki taman nasional. Di tempat itu, masing-masing perwakilan rombongan memperoleh informasi terkini mengenai status terakhir pemantauan gunung.  

“statusnya waspada, Ta” Rania yang mewakili rombongan sedikit was-was.
“waspada ?!! maksudnya, Ran ?” Emma bertanya cemas
“tadi dikasih tahu adanya peningkatan aktivitas vulkanik,”
“duhh ...meletus dong !” Emma khawatir.
“statusnya waspada, Em. Bukannya meletus,“ Audrey ikutan nimbrung.
“pendakian ke puncak gimana, Ran  ? ditutup ?” cepat-cepat Zweta bertanya.
“pendakian ke puncak masih memungkinkan. Mereka memberi kuota 400 pendaki. Tapi, kita disarankan tidak berlama-lama karena jangkauan material dari kawah bisa sampai ke puncak Mahameru,”
“oke deh, Ran. Jangan lupa catat frekuensi komunikasi,” Zweta mengingatkan.
  

Setelah beberapa menit berhenti di Gubuk Klakah, mereka melanjutkan perjalanan. Hardtop pun melesat cepat, meraung-raung menantang jalanan yang kian menanjak. 

Tak butuh lama dari Gubuk Klakah, akhirnya mereka memasuki kawasan perkebunan apel. Di kanan kiri jalan, terhampar kebun-kebun apel milik penduduk desa. Sebagian pohon sedang berbunga, sementara yang lain mengeluarkan pentil-pentil buah yang masih kecil. Ah, tak banyak yang tahu apel dari tempat ini, Apel Poncokusumo. Buah apel ranum berwarna hijau kemerahan, renyah tergigit, berasa manis semu-semu masam. Tiap minggunya dari tempat ini didistribusikan buah khas itu ke Surabaya, ke Jakarta, ke Semarang,  ke Bandung, namun tak ayal kebesaran nama kawasan ini sebagai penumbuh buah-buahan terbaik tak jua kunjung terdengar. Kawasan ini tetap sepi, tetap bersahaja, dan juga apa adanya.

Setelah menyapai pepohonan apel yang rindang semampai, hardtop kemudian memasuki kawasan Wanawisata Coban Pelangi, yaitu sebuah kawasan wisata alam air terjun yang percikan-percikan airnya mampu menyuguhkan pelangi ketika tersinari terik mentari. Namun hardtop tak peduli, roda-rodanya terus berputar diburu waktu. Jalanan mulai bergelombang, tak rata, sempit, dan berkelok.


Jalan aspal memang masih ada, namun lubang-lubang yang menganga mulai bercekungan sepanjang jalan.

Posting Komentar

 
Top