0

Lelaki tua berbadan tipis duduk bersimpuh di  lantai mushollah. Subuh masih menyisa hawa dingin, tasbih dan doa lamat-lamat dipanjatkannya ke hadirat Tuhan. Adalukisan kepasrahan yang tergambar di dalam simpuh tubuhnya. Dan ketika tautan jemarinya bergerak memutar buah tasbih, wajahnya teramat gembira menikmati hubungan mesra dengan penciptanya. Ia tunduk, ia takluk, ia pun pasrah. Serupa cinta tertinggi diserahkannya bulat-bulat tanpa tawaran lagi. Serupa ilalang yang pasrah bergerak setelah tertiup angin. Dipenuhinya sisa-sisa waktu dengan perbincangan karib dan doa-doa yang terbang menghambur menembus langit.

“Tuhan, hambaMu ini menyaksi banyak peristiwa, ampunilah jika ada yang seharusnya mampu kulakukan, tetapi ternyata aku diam saja”. Begitulah kata-kata dalam doanya.

Lelaki tipis itu telah kenyang mencicipi asam garam kehidupan. Umurnya yang menginjak kepala delapan menjadikannya serupa dongeng sejarah yang masih tersisa. Ingatannya masih kuat, demikian juga dengan fisiknya. Walau sesekali sesak nafas mengunjungi, ia terus bersyukur mengingat tak ada penyakit serius lain yang datang bersama umur tuanya.

Lelaki tipis perlahan keluar dari musholah. Langkahnya gontai, gaya berjalannya sedikit terhuyung, persis seperti juntaian batang padi yang bergerak lelah setelah tertiup angin. Terompah kayunya yang berat mengeluarkan bunyi  gemeletak seperti batang kayu yang dipukulkan di atas batu, dan kini ia berjalan menuju beranda  rumahnya yang menghadap gunung Panderman. Disana lelaki tipis itu terbiasa menghabiskan pagi dengan memandangi sekawanan awan, menghirup udara pagi yang segar, dan menanti matahari meninggi membawa waktu Dhuha. Dan di saat ia duduk di kursi goyang, biasanya lelaki desa mulai berangkat menuju kebun-kebun bunga –sementara perempuan desa tengah sibuk mengepras dedaunan layu pada bunga hias yang tertancap di media tanam.
Suara deritan yang keluar dari ayunan kursi goyang lelaki tipis itu, persis suara parau gagak muda ketika pasangannya.

Sering dalam ingatan lelaki tipis itu tergambar jelas. Saat-saat ketika ia melihat sesuatu yang dirasanya merupakan misteri sekaligus tragedi. Sesuatu yang ia juga tak penuh memahami permasalahan, sesuatu yang kabur tak terjelaskan. Namun umur tuanya yang kaya pengalaman telah banyak membantunya mengetahui akar permasalahan walaupun tidaklah sepenuhnya.

sabar Inong, Tuhan tidak tidur,” lelaki itu teringat kata-katanya tatkala menjumpai perempuan muda dengan kedua bocah manis menggelayut manja di kedua tangannya. Saat mereka baru tiba di kampung dan tak memiliki sanak keluarga, hanya rasa iba lah yang memintanya berbuat sesuatu. Perempuan yang kala itu terlihat putus asa dan patah semangat, perempuan retak dengan sedikit sisa kekuatan setelah dihempas badai tragedi. Ya, ia masih mengingat dengan baik. Kini setelah semuanya berlalu, melihat kedua anak manis itu, Zweta dan Andro tumbuh besar, ingatannya sesekali masih terbayang belasan tahun lalu, selebihnya kenyataan waktu telah menunjukkan kebenaran ucapannya, bahwa Tuhan beserta segala kemurahanNya sampai kapanpun tidak akan pernah tertidur.

Jiwa lelaki tipis itu hadir lagi setelah diterbangkan buku waktu.  Ia duduk di beranda menikmati kopi pahit buatan istri setianya, seorang perempuan yang telah menemaninya lebih dari enam puluh tahun. Sementara pagi menautkan matahari, sementara burung berkicau dan kelelawar lelah tertidur, kursi yang bergoyang pelan memapah batinnya menikmati keindahan sisa waktu di dalam hidupnya. 
***

Tatkala matahari beranjak dan menyentuhkan belainya di bebukitan dan kebun-kebun bunga, Andro mengayun kaki berolah raga. Kini badannya terasa segar penuh semangat setelah berlari menyisiri jalan memanjang di tepi kali Genjo. Sambil terus berlari, Andro mengagumi pemandangan hutan dan kebun-kebun bunga, menikmati aroma pinus memenuhi rongga dada, menikmati gambaran bukit-bukit dan gunung Panderman yang puncaknya tertutupi gugusan awan comulus. Suara burung-burung di tepi hutan membuatnya damai. Burung-burung yang lincah mereguk kebebasan, burung yang berhamburan berkelompok, dan burung yang kicau cericitnya menyegarkan seluruh pikirannya.
“buat apa orang-orang memenjarakan burung dalam kurungan jika mereka mendapatkan suasana seperti ini,” Andro berhenti sejenak memandangi lima ekor burung jalak yang berloncatan dari dahan ke dahan.
“barangkali hanya keegoisan yang menggerakkan manusia memenjarakan kebebasan para binatang,” hatinya kembali lagi berbicara. Burung-burung itu sedang memainkan koreografi tarian untuk menyambut mentari pagi. Bersama paduan kepak sayap dan tarian kaki, keluarlah kicauan yang terdengar seperti siulan meliuk-liuk. Andro tersenyum takjub melihatnya, ia serasa bebas. Ia merasa menjadi bagian dari pertunjukan kuasa Tuhan, menyaksi keindahan teatrikal burung bersama pepohonan pinus yang tegak menjulang menunjuk langit.

Sementara dari seberang hamparan lapang, nampak pula sekawanan burung- pipit melesat serempak, mereka terbang berhamburan dan hinggap di saat yang nyaris bersamaan. Kelincahannya bagai sekelompok penari balet yang kelebihan gayadan tenaga. Dari tepi hutan Andro berjalan menuju tepi kali Genjo. Ia berjongkok dan menggayung air menggunakan telapak tangannya. Wajahnya terbasuh air dingin, kini Andro terasa lebih segar.

Dan air yang membasuh wajahnya menetes kembali ke permukaan kali. 

***
“Rambut gimbal itu potong saja, An !” 
Rambut gondrong Andro sejak seminggu lalu menjadi topik panas pembicaraan Mamanya.
 “kenapa Ma ? kan gagah. Cool !!!“ Andro berargumen.
“mending kalau rapi, itu rambut persis pohon bambu diterjang angin puyuh ! kaku dan rebah tak karuan ! cocok buat sarang burung manyar !” Mamanya telah lelah berargumen.

Tetapi bukannya Andro kalau menyerah begitu saja dengan kata-kata Mamanya. Ia kini berusaha tampil modis dan rajin menyisir rambut. Ia berharap pandangan Mamanya berubah. Dan benar saja –Mamanya tak  lagi membicarakan rambut gondrongnya. Setelah mandi pagi, dirinya terasa sempurna. Olahraga pagi yang rutin telah memberikan kebugaran tubuh yang prima.

“An, Adik kamu cuma sibuk kuliah, kan ?” Mama seringkali mengajukan pertanyaan semacam itu kepadanya. Suara mamanya menyirat nada kekhawatiran yang tersembunyi.
“sepertinya begitu, Ma.” Andro menjawab sekenanya.
“kamu juga jangan macem-macem, An. Kuliah saja yang bener,“ sekali lagi Mama menasehati.
“aku lagi bikin rumah singgah sama kawan-kawan, Ma. Semacam perpustakaan gitu, di jalan Pahlawan”
“tujuannya ?”
“itu semacam rumah persinggahan bagi banyak anak jalanan, Ma. Kita menyediakan buku bacaan,” Andro menjelaskan.
“nggak bersentuhan sama politik, kan ?”
“kita ini mahasiswa, Ma. Bukan politisi,” Andro seenaknya saja berlogika
“ya sudah ..” perempuan paruh baya itu menyimpan kekhawatiran tersembunyi. Setiap akhir pekan Zweta pulang ke rumah, setiap kali itu pula dinasehati anak perempuannya menjauhi hal-hal yang bisa menganggu konsentrasi belajarnya.

Setelah Andro selesai sarapan, ia berangkat kuliah mengendarai motor tuanya. Perempuan paruh baya itu menatap kepergian anak lelakinya dengan tatapan penuh cinta. Pandangan yang menyiratkan kebanggaan dan harapan, sekaligus gambaran takut kehilangan. Perempuan itu sehari-harinya menunggui toko bunga yang telah ia kelola bertahun tahun. Toko yang terletak di pinggir jalan besar dan menyediakan bunga-bunga hias beraneka macam. Sebenarnya toko itu adalah halaman rumah yang beratap terang tembus cahaya, dengan itu bunga-bunga masih bisa menerima terik sinar matahari walaupun secara tak langsung. Aktivitas Mama Zweta tiap hari adalah menunggu pembeli datang, dan menjual bunga-bunga yang ia rawat dengan baik. Deretan Anggrek ditatanya di bagian atas membentuk deretan eksotis, menjulurkan tangkai dan kelopak bunga anggrek yang terlihat seperti sekumpulan kupu-kupu hinggap di batang kayu. Sedangkan bunga-bunga pot dan tanaman keras tersebar di seluruh bagian toko, membentuk rimbunan tanaman yang berkumpul berdasar jenis dan ukuran. Penataan yang baik membuat pengunjung seolah memasuki stan pameran bunga hias. Senyum dan kelihaian perempuan itu memanajemen toko telah mengantarkan anak-anaknya memasuki pendidikan tinggi, dan memang telah jamak jikalau toko-toko bunga di desa ini mampu memberikan penghidupan yang layak bagi pengelolanya. Setelah berniaga bertahun-tahun, perempuan ini merasa cukup dengan penghasilan yang ia terima sebagai penjual bunga, walaupun sebenarnya bisa dikatakan jikalau penghasilannya tidaklah berlebih.

Walau berusaha melipur dengan kegiatan sehari-hari, sesekali perempuan paruh baya itu mengingat peristiwa pahit yang membalik jalan hidupnya. Ia terpaksa menyingkir dan mengasingkan diri, menjauhi mimpi buruk agar anak-anaknya tidak tumbuh besar dalam ketakutan. Ia tak ingin anak-anaknya dibayangi traumatis berkepanjangan. Namun kemudian, ketika jaman berangsur berubah, seiring dua buah hatinya beranjak tumbuh dewasa, entah kenapa ingatannya makin sering terpelanting ke masa lalu.  Ada kerinduan yang mengamuk dan menghantami jiwanya. Perasaan rindu yang terus mengusik, bagai gempuran ombak yang menerjang dinding karang setelah diantar angin laut yang jauh. Alunan rindu yang teramat dalam, ingatan cinta yang berselimut keraguan dan pertanyaan.

Sementara dari ujung sebuah jalan kampung, dari rumah joglo yang menghadap Gunung Panderman, melangkahlah sosok lelaki tipis meninggalkan kursi goyangnya. Kopi pahit yang tinggal setengah dibiarkannya dingin di atas meja. Ia berjalan terseok-seok, menetak terompahnya yang berkelotak ritmis memukuli jalanan aspal. Ia menuju rumah di tepi jalan raya yang halamannya dipenuhi bunga hias.


“Inong,” lelaki tipis itu menyapa perempuan yang sedang memercik Anggrek menggunakan penyemprot bunga.

“Bapak,” perempuan itu sedikit terkejut. Ia tergopoh dan segera menyongsong. Dilihatnya senyum lelaki tua tersungging menggambar keriput. Ada gurat-gurat waktu yang terlukis jelas di sekitar matanya.  
“rame pembeli ?” lelaki tipis itu melangkah pelan hingga akhirnya duduk di kursi pelanggan bunga.
“alhamdulillah Bapak,” perempuan itu menjawab ramah, ia menguntai senyum syukur.
“alhamdulillah” lelaki tipis itu menyahuti jawaban perempuan yang dipanggilnya Inong. Sejenak kemudian matanya menyapu banyak tempat.
“Endro sudah berangkat kuliah ?” lanjut lelaki tipis, dilafalkannya Andro dengan endro.    
“baru saja berangkat, Pak. Saya bikinkan kopi ya ?” perempuan itu beranjak ke dalam rumah.
“aku sudah minum kopi pahit buatan ibumu, pagi-pagi terlalu banyak minum kopi nanti kembung,” lelaki itu menjawab ringan sambil tertawa kecil. 
“kalau begitu Bapak saya buatkan teh hangat,” perempuan itu seketika menyahut dan tak menunggu reaksi.  

Tangan lelaki tipis bergerak pelan. Telapak tangannya mengelus pegangan bangku tanpa maksud, dan kedua matanya terpaku menatap puluhan tangkai bunga Anggrek yang masih menguncup, kemudian tatap matanya beralih mengamati rimbunan anthurium.

“syukurlah,” ia menghembuskan nafas dalam-dalam. Ada kebanggaan yang menyeruak batinnya tatkala menatap jajaran kembang hias yang tertata rapi. Ia sesekali mengusap  wajah menggunakan telapak tangannya.

Perempuan paruh baya akhirnya keluar sambil membawa nampan berisi teh dan singkong rebus yang lumer merekah. Uap singkong tercium harum, memancing hasrat lelaki tua untuk tersenyum bahagia sekali lagi.
“rasa-rasanya lengkap sudah kebahagiaan hari ini,” lelaki tua itu terkekeh saat aroma singkong rebus tertangkap penciumannya. Seketika ia membayangkan kelezatan singkong yang lumer di lidah,  rasa sedikit asin, gurih, dan empuknya singkong saat tergigit giginya yang tak lagi sempurna.

Hingga akhirnya mereka berdua berbicara mengalir, layaknya seorang bapak yang sekian lama tak bertemu buah hatinya. Inong, demikian panggilan lelaki tipis untuk perempuan paruh baya, menyimak dengan penuh perhatian ketika lelaki tipis berbicara dengannya.

Endro dan Zweta sudah tahu, Inong ?” Lelaki tipis itu bertanya lirih. Wajahnya pasrah seperti manusia kehabisan tenaga.  

Namun Inong terpekur, matanya menerawang jauh menembus awan.

“mungkin .. mungkin sudah, Bapak” ia menjawab dengan sedikit keyakinan. Ada keraguan yang berdiri tegak diantara kata-katanya.
“kenapa mungkin ?”  lelaki tipis itu menyahut lembut, mata tuanya menyorot kesedihan.
“mereka tak pernah bertanya lagi ...” mata Inong bertemu dengan mata lelaki tipis. Ia menahan kesedihan agar kelopak matanya tak mengembun.

“suatu ketika mereka harus mengerti,” lelaki tipis menarik nafas dalam-dalam, pandangan matanya beralih perlahan . Ia berusaha mengeluarkan perempuan itu dari pilinan emosi.
“ya Bapak, mungkin sebentar lagi,” Inong mengiyakan. Perasaan sedih tergambar jelas di wajahnya.
“ya-ya-ya,” lelaki tipis menganggukkan kepalanya.

***
Inong kembali memercik anggrek ketika lelaki tipis pamit kembali ke rumahnya. Pandang matanya jeli, mengamati jenis Anggrek yang tergantung di dinding-dinding. Diamatinya kelopak anggrek yang masih menguncup terkatup. Serupa kepompong, kuncup-kuncup kecil menempel di sepanjang juluran tangkai. Ia tersenyum takjub saat menatap keindahannya, senyum yang terpancar adalah senyum kekaguman yang menyiratkan kebahagiaan.

Jam menunjuk pukul 8 pagi, pembeli dari kota ataupun wisatawan yang berkunjung masih belum ramai, dan kini ia duduk terpekur di atas kursi. Pandang matanya menerawang jauh, jiwanya hadir di tempat para awan.

Saat ketika dibalut kesepian seperti sekarang, dirasanya amukan kerinduan itu datang kembali. Perasaan itu mengusiknya seperti dulu-dulu. Dan entah kenapa ketika dua buah hatinya telah tumbuh besar, muncul lagi perasaan ganjil yang acapkali menyeretnya memasuki masa lalu.

Ia mengingat bagaimana kekasih yang ia cintai datang dalam hidupnya. Lelaki yang kharismatik, penuh pesona, bergelora, dan apa adanya. Ia teringat tatkala tangannya dibimbing mendaki keterjalan punggung bukit, menyusuri hutan, menapaki jalur setapak. Ia teringat tatkala menyandarkan kepala di pelukan kekasihnya. Ya, ketika kehangatan api unggun menyaksikan pagutan cintanya, ketika langit malam menyuguhkan keindahan bintang gemintang.  Ah –matanya kini berembun, ia tak mampu menepis emosi yang terlanjur menyeretnya memasuki pusaran  masa lalu. Ia kalah, perempuan itu seakan terjatuh dari tempat tinggal para bintang.

Ya. kenangan indah itu seakan terpahat di lempeng batu. Ingatan itu terasa begitu jelas, begitu kuat. Ia kemudian teringat suatu ketika tatkala dirinya tersenyum manis, saat kekasihnya menunjuk cabangan dahan pada sebuah pohon tinggi. Kala itu pelupuk matanya memicing tak nampak, namun teropong binocular yang menggantung di leher lelaki itu diberikan kepadanya. Dan setelah penglihatannya mendekati lensa, ia seketika tersenyum. Ternyata di atas cabangan dahan terdapat sekumpulan anggrek liar yang memekar kemerahan, bunga itu terlihat bagai kupu-kupu kecil yang hinggap tenang di atas ranting.  Hatinya berdesir, kesadarannya tertakjubkan.

“cantik,” ia mengucap spontan sambil tersenyum. Lelaki itu membalas senyumnya tanpa sepatah kata pun yang keluar dari bibir. Kala itu pandangan matanya  bertemu dengan tatapan teduh lelaki itu. Pancaran energi natural mengalir. Ada perasaan ganjil, indah, namun juga agung. Kesadarannya terkesiap ketika telinganya menangkap suara berat dan serak. Suara itu untuk pertama kalinya  terdengar bagai bebunyian yang tertanam dalam hingga menembus benak jiwanya yang paling jauh.

“Cantik sekali,” pandangan teduh lelaki itu tak beralih dari wajahnya. Hatinya berdebar tak karuan, bibirnya menyungging senyum tertahan, dan ia pun tersipu malu membuang wajah.

Kala mengingat semua kejadian indah yang pernah dilaluinya, seluruh hidupnya seakan berhenti. Bilik jiwanya serasa memasuki masa jeda yang enggan lagi berdenyut. Seolah masa lalunya menggelayut erat tak ingin dilepaskan.

“Sayang,“
“Inong-ku,”

Sedemikian lama tak mendengar, suara berat dan serak itu pasti tak asing dikenali indera pendengarannya. Suara berat yang lembut ketika memanggil dirinya dengan panggilan kesayangan. Ketika seluruh ciptanya hening membuka buku masa lalu, dirinya yang merasa lemah tiba-tiba terangkat sayap-sayap kepasrahan. Hingga kedua matanya yang teduh lagi-lagi berembun air mata.

Kelopak matanya yang basah ia biarkan tak terseka, seketika ia bangkit dari tempat duduk dan melangkah menuju kamar. Diambilnya sebuah buku harian lusuh yang tersisa, sumber dari segala pertanyaan yang berkecamuk, berdentam-dentam, dan terus menerus mengganggu laksana mimpi sedih. Ia berulang kali membaca tulisan tangan kekasihnya, bagian paling indah, kata-kata yang membuat rindunya makin membuncah tak terkira,

“Ah Zweta, malaikat kecilku itu sebentar lagi berulang tahun yang ke empat. Semoga sifat manjanya semakin berkurang. Kemarin aku teramat bahagia melihatnya menari kegirangan waktu kuberikan boneka putri salju. Malaikatku itu kata Mama-nya semakin nakal dan usil saja. Seminggu yang lalu dia demam akibat bermain hujan di halaman.

Zweta, kelak kamu akan tumbuh menjadi perempuan secantik mawar liar di lembah gunung. Kamu akan memiliki mata dan kerling indah ibumu. Aku yakin itu. Tapi aku juga yakin kamu akan tumbuh menjadi perempuan yang keras kepala, sama seperti aku -ayahmu.

Dan Andro, malaikat pertamaku, dia semakin bandel. Kata-kata Mamanya susah untuk didengarkannya. Semoga saja, dia hanya kurang perhatian dariku. Yang membuatku khawatir, dia kemarin sudah berani bohong kepada Mamanya. Entahlah, semoga Andromedaku itu tidak kelewatan. Aku tahu ia cerdas.

Nahla “inong”-ku, bidadari yang melahirkan para malaikatku. Terima kasih Tuhan, dia adalah karunia mahabesarMu.

Leuser, 19 Juni 1990’

Mata perempuan itu semakin sembab. Embun air mata pelan menitik, membentuk alir panjang yang membasahi sisi lekuk wajahnya. 

Dan, tangkai bunga-bunga bergoyang syahdu tertiup angin.


***

Posting Komentar

 
Top