0

Hotel Banthika,

“mereka menuntut satu bulan membatalkan pembangunan, Pak”
 “satu bulan ??!!! satu bulan cap tai kucing !!! hahahaha  !!!”
“jangankan satu bulan. Sepuluh hari dari sekarang, Bentos akan kita pancang ! biar aku yang menyampaikannya ke pihak Direksi !!” Bos Pelaksana tersenyum pongah penuh kemenangan. Laporan dari Toni malah terdengar menggelikan di benaknya. Sementara ditatapnya wajah Arman yang duduk di samping Toni.

“bagaimana dengan gejolak unjuk rasa, Pak ?” Arman tiba-tiba bereaksi.
“halaaaahh ! tak usah kau risaukan. Itu cuma aksi hangat tai kucing. Cuma sebentar. Percaya saja denganku,”

lelaki tua itu teramat yakin. Dan ia optimis kalau semua rencana telah berada di atas rel yang benar. Toni dan Arman telah menjalankan tugas dengan totalitas pengabdian. Ia merasa bangga. Bangga kepada Toni, bangga kepada Arman, dan juga bangga kepada dirinya sendiri yang telah sukses mengatur manajemen konflik.

“Ton, bagaimana dengan planningmobilisasi pemancangan, apa sudah siap seluruhnya ?”
ready Pak. Sebenarnya tim lapangan tinggal menunggu instruksi dari Bapak,” Toni menjelaskan dengan emosi tertahan.
“begini Ton, kalau sesuai schedule, kita akan melakukan pemancangan hari senin tanggal 10. Cuma akan kuajukan di hari minggu saja. Kalian tahu kan? faktor politis dan resistansi, kalau hari minggu kebanyakan dari mereka pasti molor di kasurnya masing-masing. Aku tak ingin mendengar suara pengacau saat pemancangan,” wajah sang Bos  Pelaksana menatap Toni tajam-tajam. Ia butuh reaksi.

“bagaimana dengan kesediaan pejabat yang meresmikan, Pak ?. Kita jauh-jauh hari sudah bersepakat untuk tanggal sepuluh,“ Arman meluruskan duduk permasalahan.
“kalau untuk urusan itu jangan khawatir. Aku bisa mengganti jadwal seenak perut,”
Kata-kata Bos membuat Toni dan Arman sedikit tersentak.

“kalian mau bukti ?” lelaki tua itu menantang anak buahnya. Tangannya seketika merogoh saku baju, ia mengambil ponsel.

Sementara Toni dan Arman terdiam tak bersuara. Mereka kagum dengan perangkat dan cara kerja sang Bos memenangkan conflict of interest.

Dan benar saja. Lelaki tua itu langsung menelepon Penguasa di  depan Toni dan Arman. Tanpa basa basi, tanpa pula tedeng aling-aling. Ia langsung berbicara laksana seorang majikan kepada pembantunya. Tangannya bergerak penuh ekspresi, suaranya meninggi dan meremehkan.

“ingat itu, Pak ! tolong diatur lah ! itu kan masalah sepele dan gampang .. hari minggu jadi ya !! okeh-okeh  .. Selamat malam,” kata-kata terakhirnya menutup percakapan dengan Penguasa. Toni dan Arman masih terkagum dengan kemampuan lobi tingkat tinggi lelaki tua itu.

“ingat Ton ! dan kau juga Arman ! seekor anjing liar akan terus menyalak ketika lapar ! mereka tak mengenal siapa tuannya ! tapi yang jelas, siapapun yang memberi potongan daging, maka ia akan dianggap sebagai tuannya,” Sang Bos tertawa dingin. Aura wajahnya dikuasai keculasan.

Sementara itu wajah Toni serba salah, namun Arman nampak sumringah. Bagi Toni, peperangan di dalam batinnya adalah gangguan yang mencanggungkan. Ia belum berdiri di satu pihak. Membela kata-kata nurani, atau hanyut terseret realitas.

Mereka terus larut mengikuti obrolan Bos Pelaksana, tetapi  suara batin Toni membuat wajahnya terasa tawas dan canggung. Dan ketika gurauan Bos besar sesekali keluar, senyum Toni seakan nampak dipaksakan.

“ada masalah yang mengganggumu, Ton ?” suara Bos Besar serak setelah puas tertawa. Tatap matanya menyapu pelan wajah Toni, persis seorang Bapak yang menawarkan perlindungan bagi anaknya.

Toni tak berbicara. Ia masih terdiam. Pikirannya melayang membayangkan situasi pemancangan.

“Ada Bos, website kita belum bisa diluncurkan, Bos” tiba-tiba Arman memotong suasana. Toni sedikit tersentak. Dipandangnya wajah Arman yang nampak kikuk karena tatap matanya.
“kenapa, Arman ? bukannya seminggu lalu sudah selesai ?” Bos Tua pandangannya beralih. Ia mengerutkan alis.
“ada yang mengganggu, Pak”, Toni akhirnya memilih bersuara.
“maksudmu ?”
“website kita dikontrol orang, Pak” Arman akhirnya bercerita dengan bahasa yang dipahami Bos Besarnya. Ia menceritakan dengan tenang dan bertahap. Tangannya bergerak-gerak. Ia mampu membuat Bos Besar mengerti dan mengangguk-angguk.

Sementara Toni nampak keberatan dengan tindakan Arman. Masalah seperti ini seharusnya tak usah dilaporkan kepada Bos Besar karena tidak seharusnya sang Bos ikut berpikir masalah yang sepele. Namun entahlah, kenapa Pak Bos yang biasanya galak dan main perintah, kini terlihat begitu perhatian dengan mereka. Toni berasumsi kalau-kalau sikap sang Bos sebagai sebuah dukungan moral ketika anak buahnya berada dalam situasi yang tertekan. Ya, dan benar saja. Mereka berdua memang sedang dalam tekanan mental yang tinggi.

“seharusnya bisa saja kalian menyewa orang pintar di kota ini,” Pak Bos mencoba memberi solusi. Tangannya bergerak penuh semangat.
“kemarin kita sudah coba, Pak. Tetapi website milik mereka juga dikacaukan,” Arman lagi-lagi menjelaskan.
“hmmm .. kira-kira apa maunya ?” Pak Bos mengernyitkan kening. ia terheran. Tak mungkin kalau proyek Bentos diganggu lewat pemberitaan yang kontraproduktif. Segalanya harus berjalan mulus tanpa hambatan. Wataknya yang perfeksionis selalu menuntut kesempurnaan pekerjaan, walau jalan untuk mencapai kesempurnaan terkadang ditempuh dengan cara yang kasar dan keras.

“cobalah kalian berdamai dengan pengacau itu, menjalin kontak. Kalau sudah ketemu. Tawari saja duit !” Pak Bos akhirnya mengambil inisiatif.

***

Arman dan Toni akhirnya memacu mobil meninggalkan Hotel. Mereka masih terkagum dengan cara Bos Pelaksana menata konflik kepentingan. Dan yang lebih mengherankan lagi, tak seperti biasanya Bos Besar bersikap lunak penuh perhatian. Mereka mulai hafal watak lelaki tua yang menjadi maestro lobi itu. Tindakan dan sepak terjangnya yang dingin membuat dirinya menjadi seseorang yang berkarakter. Tatap mata yang tajam, kata-kata yang keras seperti cadas, tiap hasratnya menjelma sumpah yang harus diwujudkan menjadi kenyataan. Terlalu sering mereka berdua menyaksikan keajaiban lelaki tua itu. Kalau Bos Besar sudah meminta sesuatu, maka tak butuh lama, permintaannya harus segera diikuti dan dipenuhi. Lelaki itu mampu menggenggam keniscayaan ketika manusia lain menyerah kalah. Di mata Arman, Bos Besar adalah seorang penyihir yang mampu membuat ketidakmungkinan menjadi mungkin.

Setiba di kantor representatif, saat mesin mobil baru saja diam. Sosok lelaki ramping datang menyongsong tergopoh-gopoh. Wajahnya gusar, tatap mata yang menyala berloncatan tak fokus.  

“Pak Toni, Pak Arman .. ” suaranya sedikit menggeram
“tenanglah, Degar ! tak perlu kau mondar mandir seperti menunggui istri beranak. Urusan itu sudah beres,” Arman seakan jengah melihat Degar, pimpinan preman yang digandeng Pak Misto.
“Tapi, Pak. Bagaimanapun juga saya juga harus menjelaskan kepada keluarganya. Saya tetap meminta kebijaksanaan,” Degar beralasan.

Tatap mata Degar yang sebelumnya menyala berangsur lunak di hadapan Toni dan Arman. Walau dunia yang keras telah lama menempanya, namun ada kode etik yang tak mungkin ditanggalkan Degar. Ia harus melindungi orang-orang yang berada dalam tanggung jawabnya, termasuk keluarga mereka ketika tersandung masalah. Sebagai seorang pimpinan –ia faham benar bagaimana bersikap layaknya pemimpin sejati. Karena itulah ia berkali-kali menemui Arman dan Toni hanya untuk mendapat kepastian kalau anak istri Tejo, anak buahnya yang mendekam di penjara, akan mendapatkan insentif selama ia ditahan karena melakukan penganiayaan tempo hari.

“Oke lah !! oke !! Kita pasti akan menanggungnya,” Pak Arman cepat-cepat berteriak. Ia sendiri dalam keadaan tertekan, emosinya sudah tak stabil. Ia tak ingin berlama-lama menghabiskan energi meladeni Degar yang berulang kali datang meminta kebijaksanaan.

“terima kasih, Pak. Terima kasih,” Degar menyalami Arman dan Toni bergantian. Senyumnya terkembang. Dan kemudian lelaki ramping itu melangkah pergi.

“Pak Misto kemana ?” Toni memecah suasana sambil mengantar Degar lewat tatap matanya. Ia menghela nafas panjang.
“entahlah. Dia belum kasih kabar lagi,” Arman menjawab gundah. Wajahnya lesu dan butuh istirahat.
“kau capek, Pak Arman ! pulanglah !” Toni memandang kosong ke arah Arman.
“Oke, Pak,  saya pamit dulu,” Arman bergerak lunglai. Langkah kakinya pelan menetap-netap. Dan ketika Toni memasuki ruang kantor, suara deru mobil terdengar makin menjauh hingga lenyap terjejak jarak.

Sendirian merebahkan punggung di atas sofa yang empuk, Toni memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pening. Ia lelah, bahkan teramat lelah. Ingatannya melayang jauh, mengurai banyak masalah sekaligus peristiwa belakangan ini. Ia tiba di kotaini mengemban sebuah tugas. Ya. Tugas sebagai seorang Project Leader pembangunan mall Bentos.

Sejak lulus dari kampus, Toni cuma dua kali berganti perusahaan. Dan perusahaan yang kedua inilah yang mengantarkan dirinya meraih kemapanan. Tak butuh waktu lama, selang waktu delapan tahun, ia berhasil memegang jabatan pimpinan proyek di divisi regional III. Namun karena pembangunan Bentos di kota ini terhadang resitansi yang terlalu besar, akhirnya Bos Pelaksana menyuruhnya turun tangan langsung. Toni memang  tipikal problem solver. Lelaki yang punya banyak strategi, sabar bertindak, dan terkadang seluruh konflik bisa diselesaikan dengan skala resiko yang paling kecil. Tak heran jika Bos Pelaksana selalu bersikap lunak ketika melihat dirinya ditumpuki oleh beban berat.


Toni tiba-tiba bangkit menuju meja kerja. Di atas meja hitam itu, ia meraih sebuah foto berbingkai. Sebuah foto yang diam statis. Namun menjadi simbol kekuatan dirinya agar tegar mengarungi derasnya kehidupan.

“istriku,” hati Toni berdesir mengingat perempuan yang ditinggalkannya di Jakarta. Telah lebih sebulan ia tak pulang. Dan memandang foto cantik itu, tiba-tiba mata Toni berubah sayu. Wajahnya berubah teduh, tatap matanya berangsur lembut.

“ia pasti kesepian,” Arman lagi lagi mengusap foto istrinya. Ia mempelakukan layaknya benda hidup.

Lagi-lagi hatinya seakan menjadi medan tempur. Suara-suara sumbang saling beradu argumen. Antara teriakan keras logika yang berwatak pragmatis, melawan suara-suara yang berbisik lembut dari dalam nuraninya.

Ya. Lelaki seperti Toni seakan terjebak. Dirinya hanya menjadi obyek dan bukan subyek. Lelaki itu tak berani berdiri di satu pihak. Memilih berpihak dengan logika yang pragmatis, atau memilih mendengar bisik lembut hati nurani. Dan sepertinya ia terlalu jauh melangkah hingga takut kembali. Toni terkadang bersedih ketika mengingat segala hal yang telah dilakukan. Ia tak ragu lagi menubruk semua aturan yang ada. Tatakrama, kode etik, aturan moral, semuanya. Namun seringkali ia melipur diri dengan menunda waktu, atau membesarkan hati bahwa ia akan berubah. Suatu saat, walau itu entah kapan.  

“Segala pengetahuan yang kamu miliki bukan hanya milik kamu, tapi milik masyarakat, bangsa, dan negaramu. Jadilah insinyur yang selalu memegang kode etik profesi, jadilah insinyur yang selalu memegang teguh hati nurani, dan jadilah insinyur yang bisa menjaga nama baik almamatermu,” lagi-lagi Toni tertegun mendengar nuraninya berbisik, ia terpekur semakin dalam.  Kata-kata dosen pengujinya ketika yudisium terasa seperti baru kemarin terdengar. Dan, sekali lagi dipandangnya foto berbingkai. Ia dinaung kebimbangan.

Sementara rembulan menampakkan tandan-nya. Bagai sabit bercahaya yang melengkung sempurna, ia lembut berpendar. Bintang gemintang yang tertabur terlihat terang. Bulan sabit mewakilkan cahaya langit kepada semburat jutaan titik-titik yang diam, dan yang berkedip. Dan dibalik kesunyian malam, ada jiwa manusia yang kesepian merenungi jalan hidupnya. Suara klakson kendaraan di Jalan Pahlawan seolah memanggilnya. Limbungan lampu dari botol bekas tak lagi nampak. Hanya reruntuhan warung yang tersisa. Dan selebihnya hanya julangan gedung-gedung yang terdiam membisu menanti datangnya pagi.

Toni masih terpekur mengurai benang kusut pikirannya. Ia merasa bagai penggali sumur yang tak lagi bisa ke atas setelah melubangi bumi terlalu dalam. Terlalu melelahkan, lubang pun sudah terlalu dalam, Toni gamang dan akhirnya mempertanya apakah dirinya ditakdir terjebak seumur hidup di lubang gelap. Apalah arti label jahat dan label baik. Apakah semuanya diserahkan kepada manusia untuk memilih. Ataukah segalanya memang sengaja dikonstruksi oleh jaring-jaring sosial rantai kehidupan.  

Andai boleh memilih, Toni tak ingin mengingkari nurani. Ia ingin bekerja dan beretika. Namun saat ini, ia tak bisa menemukan korelasi antara bekerja dan beribadah. Ketika bekerja, ditanggalkannya suara hati. Yang tertinggal hanyalah logika otak dan tuntutan tugas. Bagai seorang tentara yang bertugas membunuh lawan, ia harus menanggalkan pikiran yang membuat dirinya terbunuh sebelum membunuh. Ia harus fokus. Ia harus teguh berpendirian. Ah –dirinya bukan seorang tentara, kenapa harus mengandaikan kalau dirinya seorang tentara.

Pikiran Toni masih berputar-putar tak karuan. Dan kemudian ia teringat Degar yang beberapa jam lalu datang menemui. Ia merasa tak ada beda dengan Degar. Lelaki yang terhimpit tak punya pilihan. Degar mencari nafkah dengan menjual kesetiaan kepada siapapun yang memberinya uang, demi kehidupan anak istrinya.
“Ahhh ..” Toni menghela nafas panjang. Wajahnya terpaku menatap foto istrinya.

Apakah arti baik dan tidak baik ? ia kembali lagi bertanya. Dirinya dan Degar seolah bagai penghuni hutan yang mendapati rantai makanan telah rusak. Mereka kebingungan dengan sistem hidup yang telah rusak tatanan. Hatinya memberontak, ia berusaha mencari alasan. Ia tak mau disamakan seperti Arman. Ya –Ia berbeda dengan Arman yang tak diamuk badai keraguan di hatinya. Arman memang tak mau banyak pikir dalam bertindak. Selama hasil yang diperoleh memuaskan, asistennya itu akan terus maju tanpa banyak berpikir, persis seperti predator berdarah dingin. Mengendap, mengejar, membunuh, dan memakan.   

Toni semakin pusing, pikirannya berputar-putar, berloncatan tak tentu arah.

“di jaman seperti ini, anggap saja kita sedang tersesat di hutan belantara. Makan babi pun halal !! ya, Pak ! makan babi pun halal !!!“ suara Arman menggaung keras di telinganya. Seolah muka Arman tiba-tiba nongol di samping kuping dan menertawainya sinis. Ya. Bayangan wajah Arman seakan menistakan dirinya yang telah murtad dari kesadaran.

“sinting !!”, “sinting !!“ Toni terpekur makin dalam.

***

Sementara malam kian larut. Markas himpunan mahasiswa masih terlihat ramai. Mereka saling menukar informasi terkait perkembangan paling baru kasus Bentos.

Sayup-sayup terdengar suara lagu Iwan Fals dari Himpunan Mahasiswa. Entah kenapa dalam setiap perjuangan selalu muncul sebuah simbol. Dan di malam yang mulai dingin, suara perlawanan dari dalam diri mereka terasa terwakili oleh lengkingan lirik lagu Iwan fals. Mereka mengiyakan teriakannya, mereka bersepakat. Adaperasaan yang membuncah dari dalam dada mereka ketika berdiskusi dan berpikir.  

“buktikaaaaan !!“, mulut mereka mengikuti teriakan lirik lagu berjudul Buktikan 
“buktikaaaann ! itu yang di nanti-nanti !” hati mereka mengiyakan. Mereka menikmati kebebasan mengeluarkan isi kepala. Mereka mencoba mencari persesuaian. Mencari suara-suara yang sama dan seide dengan mereka. Suara yang masih gamang menghadapi kenyataan.

“kalau hanya omong ! burung Beo pun bisa !” mereka sedemikian menjiwai lagu itu. Sesekali mereka berteriak. Mencoba menautkan ruh semangat yang ada. Sebuah simbolisme, sebuah gambaran diri dan jiwa yang terwakili. Bagaikan panji-panji yang berkibar gagah ketika perang segera berlangsung. Semua manusia membutuhkan simbol-simbol diri yang menggambarkan gelora semangat.

Mereka telah ikut andil dalam sebuah perlawanan. Ya. Anak-anak muda itu tak lagi dipandang sebelah mata. Tak lagi dipandang sebagai anak kemarin sore yang membisu saja melihat ketimpangan.  

Agent of change ! agent of social control

Adatanggung jawab lebih yang terpikul di atas punggung. Karena buat apa mereka menjadi mahasiswa kalau tak menggunakan intelektualitas buat meneriakkan suara nurani. Mereka merasa harus mewarisi ruh semangat para pelajar Indonesia dari jaman ke jaman. Perhimpunan Indonesia, pelajar Stovia, Tentara Pelajar, Angkatan 66, Angkatan 98. mereka harus mewarisi impuls-impuls semangat dan menjadi garda pemikir yang hanya berdiri di satu pihak yaitu nurani. Cuma itu, bukan yang lain.


***

Posting Komentar

 
Top