0


22 April, Hari Bumi

Malam menggantang, tandan rembulan redup berpendar. Malam ini bukanlah malam purnama yang bintang-bintang segan keluar. Nampak di langit cerah bintang-bintang berpendaran. Dan rupanya setelah hujan deras tercurah, awan-awan merasa lelah dan tak tak lagi menampakkan batang hidungnya.  

Audrey, Rania, dan Zweta sepakat bertemu langsung di halaman gedung student center. Dan tepat sebelum acara dimulai, mereka bertiga telah berkumpul dengan para penikmat seni yang sebagian besar merupakan aktivis lingkungan hidup. Suasana terlihat cukup ramai, dinginnya udara seakan terhapus kehangatan canda dan tawa mereka yang menghadiri acara.

Setelah mengisi lembar daftar hadir, panitia penyambut tamu mempersilahkan mereka menikmati suguhan pisang, ketela rebus, singkong rebus, kacang rebus, dan masih banyak lagi makanan yang lainnya. Semua makanan yang tersedia berasal dari hasil bumi dan hanya diolah dengan cara dikukus, direbus, ataupun dibakar. Semua pemandangan nampak alami, dan semua yang disuguhkan pun teramat natural. Acara pentas rakyat yang berlangsung malam ini difasilitasi oleh mahasiswa teater yang tergabung dalam FORSEKOT, Forum Seni Kota, dan juga bekerja sama dengan para aktivis lingkungan hidup. Lokasi acara kali ini tepat berada di depan gedung student center, tak jauh dari  UKM tempat Audrey melatih taeguk- atau jurus Tae Kwon Do  nya. 

Beberapa spanduk terbentang bertuliskan slogan penyelamatan alam. Dan bagi para pejuang lingkungan, Hari Bumi adalah momen perenungan untuk berkontemplasi sekaligus merapatkan barisan. Melihat bentuk panggung terbuka yang didesain eksotis, Rania yakin jikalau pertunjukan seni kali ini akan berbeda dengan konser musik yang seringkali ia tonton. Bentuk panggung ditata memanjang, lampu panggung menyorot remang-remang cenderung suram, sedangkan tepat di tengah panggung dipenuhi dedaunan kering yang berserakan. Sang arsitek seolah mendesain panggung agar semirip mungkin dengan kondisi alam bebas yang tak jauh dari pepohonan, karena itulah di kanan kiri panggung terdapat puluhan pohon pinus dan cemara setinggi 1.5 meter. 

“acara ini pasti menarik,” Rania tak bisa menyembunyikan ketertarikan.  

Acara dimulai ketika jam menunjuk pukul 18.30. Sang pembawa acara, Kang Diman yang berambut gondrong dan bergiwang, langsung tanpa basa-basi mengumumkan jadwal susunan acara yang akan dilaksanakan. Ada pembacaan puisi, aksi teatrikal, dan juga konser musik rakyat. Suara Kang Diman yang berwibawa terdengar parau seperti burung gagak mengintai mangsa. Kang Diman sekaligus mengumumkan jika acara pentas rakyat mengharapkan partisipasi seni dari penonton yang hadir.

Setelah Kang Diman menghias panggung dengan suaranya yang serak parau, salah seorang pentolan aktivis penggiat alam bebas didapuk mengisi sebuah orasi yang bertujuan membangkitkan semangat. Lelaki tua yang akrab dipanggil Abah naik ke atas panggung dan berdiri dengan tegak dan gagah. Ia lebih banyak melakukan orasi sikap yang menceritakan perjalanannya melakukan kampanye cinta lingkungan. Tiap kalimat pembuka yang meluncur dari bibirnya mengesankan pengalaman batinnya yang kaya. Ia bercerita bagaimana harmoninya alam ketika mampu berinteraksi dengan manusia.

“manusia itu bagian dari alam, karena itulah ketika manusia berupaya menaklukkan atau merusak alam, sama artinya dengan menghancurkan fitrahnya sendiri. Dan kelakuan seperti itu hanya akan memicu terjadinya bencana berkepanjangan,” begitu ia menyampaikan pandangannya.

“kita sebenarnya salah dalam mengartikan makna dari bencana alam. Segala yang ada di bumi merupakan peristiwa sebab akibat. Dan ketika kita menyaksikan bencana banjir atau tanah longsor karena ulah tangan kita yang menggunduli bukit dan hutan-hutan, maka itu sebenarnya bukanlah bencana alam, tetapi bencana kemanusiaan.”

“anda tahu berapa lama pohon pinus ini tumbuh ?“ lelaki tua itu menambahkan sambil menunjuk pohon pinus setingi 1.5 meter di depannya.
“pohon ini bukannya tumbuh sehari, tapi berbulan-bulan. Namun lihatlah ! “,
JRASSS !!! JRASS !! JRASS !! BRUGG !!
Tangannya bergerak cepat membabat pohon dengan pedang yang sebelumnya tersengkelit di pinggang. Pohon itu seketika terbelah dan tumbang ke panggung.
“lihatlah ! bagaimana kerusakan terjadi dengan sangat cepat. Yang saya pakai ini baru pedang ! “, ia berkata sambil mengacungkan pedangnya.

“tapi disana ! di Sumatera ! Kalimantan! Papua ! dan banyak tempat di negeri ini, penebangan hutan bukan hanya menggunakan pedang. Tapi pemusnahan hutan telah menggunakan alat berat, alat pemerintahan, juga atas nama kebijakan penguasa !” suara lelaki tua itu meninggi dan bersemangat.

“setiap tahun hampir 2.8 juta hektar !! bayangkan !! 2.8 juta hektar hutan kita hancur !!”,
“ah tidak !! tak tepat rasanya jika saya menyebut bahwa hutan kita hancur !! hutan kita sebanyak itu sengaja dihancurkan !!!” Ia tak bisa menyembunyikan emosi kesedihan.

“dan ketahuilah rekan-rekan. Negeri ini telah kehilangan lebih dari 72% wilayah hutan alam !!!  dan 40% dari tutupan hutannya hancur sama sekali !!!”

Semua yang hadir terpaku. Tak ada yang dapat menghentikan orasinya, kata-katanya terasa meluncur jatuh begitu deras.

“dan kalau alam hancur karena tangan-tangan kita sendiri, maka jangan pernah berbangga menyebut diri kita sebagai Khalifah atau wakil tuhan di muka bumi. Karena gelar Penjaga Bumi adalah gelar manusia yang dikumandangkan Tuhan kepada seluruh makhluk ciptaannya”

Dan akhirnya lelaki tua itu menutup orasi dengan memberikan pesan,
“tanamlah pohon, karena dengan menanam pohon kita bisa bersedekah kepada kehidupan di muka bumi. Selamat Hari Bumi !!! SALAM RIMBA !!!”

“LESTARI !! ”, tangan kanan terkepal ke udara dan serempak menjawab salam rimba, sebuah salam yang khas bagi para penggiat alam.

Seluruh yang hadir bertepuk tangan penuh semangat. Abah tersenyum santun sambil menuruni panggung. Setelah orasi Abah, acara dilanjutkan dengan aksi teatrikal. Adayang mengisahkan bagaimana perampokan bumi dilakukan banyak pihak. Ada pula yang berteriak-teriak mengisahkan bumi yang kesakitan. Semua menjadi seru dan makin membuat penasaran. Audrey mengangguk-angguk dan menepuk pundak Rania. Ia sangat menikmati pertunjukan teater kali ini.

Tak lama berselang, pentas puisi mulai ambil bagian dalam acara. Beberapa puisi mengisahkan keprihatinan atas kerusakan dan kemunduran bumi. Beberapa penyair membacakan puisi sambil diiringi gitar, perkusi, harmonika, biola, dan alat-alat musik lain. Kang Diman dengan suara paraunya menyampaikan puisi berjudul “Bumi Untuk Manusia”, sebuah puisi yang menceritakan perbincangan Tuhan dan malaikat ketika Adam dipersiapkan menjadi khalifah di muka bumi. Puisi itu dibawakannya dengan sangat menyentuh dan bersahaja.

“puisi bumi untuk manusia “



Acara menjadi semakin menarik, Abah untuk kedua kalinya di dapuk naik ke atas panggung, namun kali ini bukanlah berorasi tetapi menyanyikan lagu-lagu kebebasan khas pecinta alam. Beberapa lagu Abah berlirik lucu dan membuat penonton terpingkal-pingkal, sementara lagu terakhir Abah tak urung mengritik kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada alam.

“kamu nggak nyumbang puisi, Ta ?” Audrey bertanya singkat. Dirasanya ada keinginan  Zweta membacakan puisinya.
“pinginnya sih” Zweta menjawab ragu.
“puisinya sudah ada belum ?” Rania menimpali 
“aku hafal kok. Kamu mau mengiringi puisiku ?” Zweta bertanya dan memandang Rania.
“boleh. Tapi pake biola ...”, Rania menjawab singkat, ia seketika memandang pemain biola yang masih mengiringi Abah menyanyikan lagu-lagu kebebasannya.

***

Ketika nama Zweta dipanggil, ia bangkit berdiri menyungging senyum, demikian juga dengan Rania. Tepuk tangan riuh mengiringi tatapan mata yang menatap keduanya dengan pandangan jeli. Zweta perlahan naik ke atas panggung, sementara Rania berjalan mengikuti dari belakang.

Di bangku penonton, Audrey menatap dengan pandangan tak percaya, ia menoleh kiri-kanan dan melihat kehebohan penonton di sekelilingnya. Ada perasaan bangga tatkala melihat kedua kawannya menjadi pusat perhatian. Kalau urusan seni mereka berdua jagonya, sedangkan Audrey nyaris tak mempunyai hobi dalam bidang seni kecuali seni beladiri. Dan lagipula tak satupun alat musik bisa dimainkannya.

Sementara sorot lampu meremang, daun-daun kering berserakan menambah suasana natural. Zweta mengucap salam dan mengenalkan diri, sementara Rania bergerak meraih biola yang bertengger di atas penyangga. Abah menatap kedua perempuan itu tak berkedip.

Rania mulai menggesek biola dengan penuh penghayatan, ia memainkan melodi the butterfly yang dimainkan Celtic Woman. Saat itulah Zweta sadar kalau Rania ternyata pemain biola yang handal, dan memang sebelumnya ia tak pernah menyaksikan Rania memainkan biola. Ia hanya tahu Rania menggemari musik klasik, dan dilihatnya juga kotak biola di kamar Rania.

Duduk di bangku penonton, Audrey merasa takjub. Dilihatnya Rania sedang ekstase memainkan nada-nada, Busur biola bergerak harmoni mengikuti gerakan tangan kanannya, sementara jemari tangan kiri menari lincah di papan jari. Bunyi biola yang mengalir terdengar menyayat sedih, namun semakin lama berubah tempo dan menggambarkan semangat. Rania semakin ekstase, wajahnya yang lembut menyiratkan penghayatan yang dalam. Jari tangan yang menyentuh senar biola terkadang bergetar. Rania semakin menyatu. Dan ketika tempo biola kembali melambat, lewat kode gerakan kepala Rania, Zweta mulai membacakan puisinya.

Ada apa dengan manusia yang mengagumi matahari, rembulan, bintang, dan rimba belantara.
Ada pemikir yang bilang, mereka mencintai itu semua karena mereka mencintai keberanian hidup.
burung-burung yang hinggap di pepohonan akan berkicau kembali.

Seluruh yang menyaksikan bertepuk tangan. Audrey menyimak emosi puisi dengan seksama, dan baru kali ini ia merasakan puisi datang menyentuh hatinya. Hingga tak terasa hatinya berdesir pelan, seolah malam menabur begitu banyak makna.

Acara pentas berlangsung terus. Lagu, puisi, dan segala macam ekspresi meluncur deras. Hingga acara inipun ditutup dengan kepuasan yang memenuhi rongga dada. Bagi Audrey, Zweta, dan Rania, terasa ada perasaan tergugah, ya –mereka mendapatkan pencerahan, apalagi ketika kemudian mereka menemui Abah, sang tokoh kharismatik yang  sangat konsen dengan isu sosial.

“Abah” Audrey menyapa segan, dijabatnya tangan lelaki tua yang masih terlihat gagah itu. Rania dan Zweta mengikuti Audrey menjabat tangan Abah.

“Wah-wah-wah kalian ini. Saya bangga sekali, anak muda seperti kalian harus belajar peka dengan isu lingkungan,“ Abah menggelengkan kagum.

“ya Abah, terima kasih. Acara tadi memberikan kami pencerahan,” Audrey menyambut keramahan Abah. Rania dan Zweta menambahkannya dengan untaian senyum.

“Dan lagi, puisi yang kamu bacakan tadi mengingatkan saya jaman muda dulu, ketika masih sering mendaki gunung bersama kawan-kawan. Rasa-rasanya memori ekspedisi yang pernah saya lakukan muncul kembali. Apalagi ternyata neng geulis satu ini pandai sekali menggesek biola. buaagus sekali, terima kasih. Hahahahaha ... ” Abah tak henti-hentinya tertawa puas.

“terima kasih Abah“, Zweta menjawab tersipu, Rania menguntai senyum melatinya.
“aku tahu kamu pasti sering mendaki gunung, dan aku yakin kalau puisi itu kamu tulis di puncak gunung, betul ?“ Abah melanjutkan lagi kalimatnya, kali ini pandangannya mengarah Zweta.
“ya Abah, di puncak gunung,“ Zweta menjawab cepat sementara Audrey dan Rania memperhatikan raut wajah Abah. Mereka makin kagum dengan lelaki kharismatik yang menjadi simbol kepekaan dan kepedulian lingkungan itu.

“hahaha ..  ya .. ya .. alam memang memberikan banyak inspirasi. Semakin kita dekat dengan alam, semakin pula kita disuguhi misteri yang tersembunyi. Banyak sekali pandangan hidup seseorang berubah  setelah mendekatkan diri dengan alam, mereka lebih menghargai hidup”, Kata-kata dan nada bicara yang meluncur dari bibir Abah tak pernah lepas dari kecintaannya terhadap alam.

“dalam hidup Abah, siapakah orang yang paling memberikan inspirasi untuk mencintai alam dan lingkungan ?” Audrey tak mampu menyembunyikan rasa penasarannya, dan mendengar pertanyaan itu Abah mengurai senyum bangga. Tatapan teduh lelaki itu menggambarkan penghargaan atas sebuah kenangan indah dalam hidupnya.

“pertanyaan kamu sangat menyentuh saya,” lelaki itu berhenti dan menarik nafas penuh kebanggaan
“Dulu ketika kecil, saya diajari seseorang untuk menghargai setiap pohon yang tumbuh di sekitar rumah. Beliau berkata begini, ‘Anakku, pepohonan ini sangat berjasa kepada banyak manusia. Mereka memberikan udara jernih setiap hari, karena itu jagalah. Dan kalau engkau ingin bersedekah kepada umat manusia, maka tanamlah pohon. Karena dari tiap pohon yang engkau tanam akan keluar udara jernih setiap hari, dan itu sama artinya engkau bersedekah udara jernih kepada seluruh kehidupan’, pesan itu begitu terpatri dan menjadi inspirasi saya dalam menjalani pengabdian, semoga pengajarannya menjadi amal baik,” raut wajah Abah menggambar keharuan.
“beliau yang mengajari nilai baik itu siapa, Abah ?” Audrey bertanya lagi.
“beliau almarhum bapak saya,” lelaki tua itu tersenyum, ia menitipkan kebanggaan dalam tiap kata-katanya. Betapa kenangan dan kegaguman seorang anak atas pengajaran Bapaknya, jauh terkenang hingga lubuk hati yang paling dalam.

***

Sepulang dari acara pentas rakyat di halaman student center, mereka bertiga pergi ke warung lesehan di jalan Pahlawan. Mereka memesan makanan dan minuman di salah satu warung beratap ilalang. Warung itu didekorasi menarik hingga nampak natural.

Dan di sepanjang jalan Pahlawan, entah kenapa mulai dipenuhi warung lesehan. Puluhan warung buka setiap senja dan menyediakan makanan dan minuman, mulai dari makanan ringan, hingga makanan paling berat sekaliber nasi dan lalapan ayam goreng. Mereka menggelar tikar dan menyediakan bangku-bangku kecil sebagai tempat makanan dan minuman. Dan sepertinya secangkir kopi murni menjadi primadona mahasiswa ketika nongkrong di tempat ini. Beberapa warung kopi malah menjadi langganan para aktivis ketika melakukan rapat dan diskusi. Maklum saja, tempat mangkal itu baru tutup sekitar jam 03.00 dini hari.

Sementara lampu minyak bersumbu yang terbuat dari botol bekas berderet memanjang sejarak 5 meteran. Panjang jajaran lampu nyaris mencapai 2 kilometer. Dan nyala lampu berlimbungan tatkala dihembus pilinan angin yang terpelanting dari lesatan laju kendaraan.

“kenapa kamu suka puisi, Ta ?” Rania tiba-tiba bertanya sambil meraih teh botol yang tinggal separuh.
“kenapa kamu tanya itu ?” Zweta balik bertanya.  

“pengen tahu aja,” Rania tersenyum kecil, bibirnya menyentuh pipa sedotan.

“mungkin alasan setiap penikmat puisi berbeda-beda, Ran. Cuma bagiku, puisi membantuku memahami sesuatu. Kita berusaha menyuarakan sesuatu yang memang disuarakan hati kita,”  
“dasar pemikir”, Audrey berolok-olok.  
“bukan begitu Drey, soalnya ada beberapa puisi yang multitafsir, jadilah terkadang kita mencari arti kata-kata kiasan untuk menafsirkannya. Dan itu melatih kita berpikir,” Zweta mencoba menjelaskan.

“mmm.. apa asiknya dengan itu ?” Rania kembali bertanya. ia terlihat tertarik dengan penjelasan Zweta.
“puisi itu lahir atas dasar kejujuran, itu yang aku pahami. Tapi ingat, aku bukan mahasiswa sastra yang tahu makna puisi secara teoritis. Tapi sejauh aku mencoba membuat puisi, aku tak pernah bisa membuat larik puisi yang isinya bertentangan dengan suara hatiku, itu yang kumaksud sebagai kejujuran. Suara hati, Ran.”

“rumit amat,“ Audrey berkomentar singkat. Tapi ia juga tertarik untuk mendengarkan dan mencoba menyelami jalan pikiran Zweta.
“nggak juga, Drey. Yang penting kejujuran itu yang menjadi dasarnya. Ketika hati kamu yang paling dalam ingin bicara, saat itulah yang disebut moment poetica, tuh istilahnya kamu lagi dapet ilham alias intuisi. Ada suara hati kamu yang natural bersuara,”
“kasih contoh,Ta“ Rania menjentikkan jari tangannya hingga berbunyi.
“ketika kamu melihat kejadian tertentu dan hati kamu ingin bicara, maka bicaralah dengan menggunakan kata-kata yang menurut kamu paling pas, paling indah, dan paling mewakili seluruh perasaan kamu. Itu proses kreatifnya. Penyair itu terkadang seperti anak kecil, Ran”
“kenapa bisa begitu ?” Rania mengernyitkan dahi
“soalnya begini, penyair itu terkadang mempunyai kepekaan yang lebih. Kalau seseorang yang bukan penyair melihat langit, maka ia akan melihat langit dalam arti harfiah nya. Tetapi ketika seorang penyair melihat langit, maka ia akan menggunakan dan menafsirkan kata-kata langit dengan  banyak makna. Bisa keindahan, keagungan, tempat bermain awan, atau juga representasi dari kekerdilan manusia. Langit mungkin sesuatu yang biasa bagi banyak orang, tapi tidak bagi para penyair. Tapi ingat .. setiap orang bisa menjadi penyair .. cuma modal kata hati”
“Oke. Aku mulai mengerti,” Rania berkomentar. Sementara Audrey memilih diam tak berpendapat.
“aku mau nanya, kenapa seseorang yang lagi jatuh cinta tiba-tiba menjadi penyair dadakan ?” Zweta bertanya ke Rania, Audrey jadi ingat kalau dirinya berkali-kali dihadiahi puisi yang terkadang sama sekali tak ia fahami. Puisi-puisi itu diartikannya sebagai rayuan dan rengekan cowok mengharap cinta.
“mmm kenapa ya, mungkin karena egois,”  Rania menjawab asal asalan
“ Loh ! kok gitu , Ran ?” Audrey meminta penjelasan
“ya gimana lagi. Orang jatuh cinta itu cenderung egois. Ia ingin membuat batas buat kesenangannya sendiri, contohnya ya . . mas Baldo yang ingin memiliki Jeng Audrey ini secara sepenuhnya, tidak bagi yang lain.” Rania menjelaskan sambil tertawa ringan. Audrey hanya nyengir tak menanggapi gurauan Rania.  Ia asik menghabiskan es campur yang tinggal setengah mangkuk.

“nah sekarang giliran aku yang bertanya. Kenapa kamu suka musik klasik, Ran ?” Zweta bertanya penasaran.
“musik Klasik ? mmm apa yaaa.. ada sesuatu yang kurasa . . asik disana. Semangat. Atau seperti katamu dulu Ta, Optimisme. Walau terkadang musik itu memiliki alunan sedih, namun tak ada nada ratapan. Yang ada optimisme. Itu yang aku rasakan,” Rania mengangguk mengakhiri penjelasannya.
“Kalo Dangdut ?”  potong Audrey
“Dangdut itu musik kebebasan, Drey !” Zweta menjawabnya cepat.
“kenapa bisa begitu ?” Audrey tak terima dan menuntut penjelasan.
“Coba aja kamu lihat. Setiap alunan gendang dipukul, tak terasa para penggila musik dangdut langsung berekspresi, dan mereka bebas mau joged seperti apa. Mau bergaya narik layang-layang, gayakupu-kupu, mau tangan diangkat, tangan diputer deket dada. bebas ! semuanya bebas ! Tak ada yang melarang, tak ada pakemnya. Itulah hebatnya Dangdut. Musik yang murah, tapi menjunjung tinggi kebebasan berekspresi,“ Zweta menjelaskan sambil tertawa dan menggerakkan tangannya menirukan joged Dangdut.
“sepakat, Ta. Aku setuju uraian kamu,” Rania mengiyakan.
“sepertinya memang ada sesuatu yang agung dalam kaidah seni,” lanjut Rania
“ya. Semua seni memang indah kok,” Audrey kini menyepakati. Bayangannya seketika merefleksikan taeguk tingkat 9 yang kini berusaha dikuasainya.
“lagian menikmati seni atau lebih luasnya mempelajari budaya, dapat membuat kita menjadi manusia yang terbuka dan toleran. Seni itu tak ada sekat, tak ada batas, tak punya label,” Zweta memaparkan pendapatnya.
“aku tak sepakat kalo kamu bilang seni tak ada label. Seni itu punya warna, Ta.” Audrey mendebat
“kalau warna atau aliran sih memang ada. Tapi kalau menurutku sih, seni itu seperti pisau, ia terserah mau dipakai oleh siapa dan untuk apa. Coba kamu pikir, seandainya ada alunan musik gambus namun berlirik cabul, apakah itu disebut musik reliji ? atau, ada jenis musik cadas namun isinya menggambarkan pengaguman terhadap Tuhan ? nah ! tinggal bagaimana kita memaknainya, kan ?!! ” Zweta berargumen.

”oke deh, kamu bilang kanseni itu terlahir dari kebebasan. Bagaimana menurutmu dengan kebebasan berekspresi, Ta.”  Audrey masih mengorek pendapat Zweta.

“kebebasan berekspesi dilindungi, silahkan dilakukan seluas-luasnya ! kita ini negara demokrasi Ran, Drey, kebebasan berekspresi dijamin undang-undang,” Zweta menjelaskan pemikirannya

“kalau yang mengatasnamakan ekspresi sampe buka-bukaan segala ?” Audrey meminta konfirmasi. Rania hanya tersenyum melihat kedua kawannya asik berdiskusi.

“Kalo itu sih penafsiran yang salah. Kebebasan tanpa tanggung jawab merupakan kebebasan yang timpang. Kebebasan tanpa kearifan, sama saja menabrak makna kebebasan itu sendiri, dan itu sama saja mengganggu kenyamanan orang lain. Kebebasan itu punya konsekuensi dan tanggung jawab moral, Drey. Kita ini bangsa Indonesiapunya kearifan budaya sendiri. Tanpa berpegang teguh kepada kearifan budaya bangsa, kita hanya akan menjadi sasaran tembak. Tak usah jauh-jauh bangsa lain datang ke negara ini buat menjajah, kita sudah dikuasai lewat otak dan isi kepala yang sudah jauh dari akar budaya. Fisik sih iya semi coklat sawo mateng gitu, cuman isi otak sudah bukan asli Indonesia. Justru inilah penjajahan yang sukar dilawan,” Zweta menjelaskan panjang lebar

“ah terlalu berat ! pusing aku, Ta !” Audrey protes
“terusin, Ta ..  biarin dia pusing. Lagian dari tadi protes melulu ..” Rania tertawa singkat sambil sekilas memandang Audrey.
“aku pernah mendengar kata-kata yang bagus dari seorang budayawan .. dia bilang begini .. ‘Anda yang terbiasa berbahasa prosa, maka belajarlah bahasa puisi. Yang terbiasa berbahasa hukum, maka belajarlah bahasa kemanusiaan. Dan anda- yang terbiasa berbahasa politis, maka belajarlah bahasa kebudayaan, karena bahasa kemanusiaan dan bahasa budaya adalah bahasa yang merekatkan dan tidak membuat jarak’ “,
“bagus sekali kata-katanya, Ta.” Rania mengangguk-angguk
“DASAR MAHASISWI SALAH JURUSAN !!” Audrey kembali berolok-olok


Tiba-tiba Rania mengernyitkan dahi, ia seolah melihat sosok yang dikenalnya namun tak seberapa jelas. Sosok lelaki itu sedang duduk dan berbicara serius dengan kawannya yang berpostur bulat.

“sudah malam, waktunya cabut.” Zweta berinisiatif menutup diskusi.
“eh itu Kompar bukan ?” Rania menunjuk sosok yang berjarak 15 meter dari posisi mereka.
“mana, Ran ?” Zweta mengikuti arah telunjuk Rania
“ya. itu memang Komar Parawan,” Audrey mengiyakan


***

Posting Komentar

 
Top