0


“Dewan Mandul ! Dewan Impotensi ! Dewan sudah tak berpihak kepada rakyat ! Dewan macam begini tak butuh sidang paripurna khusus ! mereka malah harus disidang di depan Rakyat !” Kang Diman tertelan kalimat orasinya. Rambut Gondrongnya berurai, Giwangnya bergoyang-goyang.

“betulllll !!!!” ratusan orang bertepuk tangan menyambut.

“Dewan yang ada hanya perpanjangan tangan dari kapitalis busuk ! makelar-makelar kebijakan ! mucikari undang-undang ! dan sekaligus merangkap tukang palak ! maka sodara-sodara, saya tanya kepada anda semua ! buat apa Dewan sontoloyo macam begini ?” urat leher Kang Diman menegang. Suaranya yang parau menerjang telinga. Telunjuknya teracung bergerak gerak
“digaruk !”,seru lelaki dari ujung kiri sambil cengengesan.   
“dikencingi saja !!!” lelaki kriwul yang acak-acakan tak bisa menyembunyikan emosinya
“huuuuuuuuuuu” teriak pengunjuk rasa sambil bertepuk tangan riuh.

“lihat saja tingkah polah mereka ! disaat tata kota dihancurkan, mereka malah tidak memihak kepada kita. Mereka malah berusaha merevisi dan mengubah PERDA agar sesuai dengan kehendak kapitalis. Dewan-dewan bayaran itu telah mengingkari amanat rakyat”
“hidup rakyat !!“ salah seorang berjaket bangkit dan berteriak kencang di akhir kalimat Mang Diman. Dikepalkannya tangan bersemangat.
“Hiduuuup !”
“kita disini untuk apa sodara-sodara sekalian ?” Kang Diman berteriak lagi, suaranya semakin parau.

“kita disini untuk menyuarakan hati nurani dan mempertanyakan nurani Dewan Legislasi  ! apakah suara lantang yang kita harapkan dari mereka sudah berubah menjadi suara kentut dan suara sendawa kekenyangan uang !”
“coba lihat ! disaat kita hadir disini untuk menyampaikan aspirasi ! tak satu pun dari mereka yang datang ! telinga mereka Pekak dan Budheg ! ”
“huuuuuuuuu”, “otak singkong !!! “

“Dewan Legislasi sudah menjelma menjadi beo-beo politik dan bebek-bebek birokrasi. Mereka lebih memilih menjadi penipu ! dan yang lebih menyakitkan, kitalah yang ditipu ! kita sodara-sodara !! yang memilih mereka !! bukan orang lain !!” Kang Diman muntab dan mengeluarkan ocehan yang memerahkan telinga. Seandainya umpatannya didengar anggota Dewan Legislasi, tentunya mereka pasti terbakar emosi.

“mari kita angkat kepalan tangan sebagai simbol perlawanan terhadap penjudi dan pemerkosa tata kota!!!”
Seluruh peserta yang hadir mengangkat kepalan tangan kiri sebagai simbol perlawanan terhadap kesewenangan. Mereka berusaha menyuarakan nurani yang menjerit tak terima.

“kita hadir disini ingin membuktikan apakah  mereka masih berani merevisi PERDA dan menggantinya dengan pasal-pasal tai kucing !!! pasal –pasal kapitalistik !!!” kalimat Kang Diman berubah menjadi kutukan.

“kami ingin Ketua Fraksi Legislasi sekarang juga ! kami ingin ketua Dewan Legislasi sekarang juga ! kami ingin membuktikan apakah mereka masih bisa bicara menggunakan mulut dan tidak menggunakan perut ! karena suara yang dari perut cuma sendawa dan bunyi kentut !”

“kita mau bertanya kepada mereka ! kenapa mereka malas menemui kita ! barangkali mereka terkena wasir segedhe telor angsa sehingga susah berjalan ! “
“hahahahahahahah “ seluruh peserta unjuk rasa tak kuasa menahan tawa.

“ya kami mau mereka jujur ! kemana saja mereka sehingga tak peduli dengan aspirasi kita !

“molor ! molor !”, “minggat !!!”
“huuuuuuuuuuuu  .. . “

Tangan kiri mereka masih meninju angkasa.

“hidup Rakyat !!” lagi-lagi lelaki berjaket melompat sambil meneriakkan slogan hidup rakyat


“sodara-sodara sekalian ! kawan-kawan seperjuangan ! dimana sumpah serapah pemilu yang diteriakkan dulu ! mereka sudah lupa ! muka-muka berpeci, bersorban, dan sok suci itu tak mau menemui kita ! ya ! mereka tak sudi lagi bicara dengan kita sodara-sodara ! “ Ekspresi Kang Diman, makin lama makin tak karuan. Suaranya nerocos kesana kemari. Semuanya kini bernada umpatan. Hal ini dikarenakan aksi mereka tak ditanggapi oleh beberapa Dewan yang sedang bersembunyi di Gedung Sidang. Beberapa polisi berjaga-jaga dengan cukup santai. Mereka yakin tak akan terjadi anarkisme kali ini.

“kami mau Dewan ! kalau mereka tak mau turun menemui kita, akan kita tunggu disini sampai  pantat mereka jebol dan keluar monyetnya ! “ ,

“wahahahahahhaha !!!” seluruh hadirin tertawa dengan kata-kata stress lelaki lusuh yang memang seorang seniman rakyat itu.

“woi woi woi ! Dewan Woi !” seru lelaki berjaket yang sedari tadi meneriakkan hidup rakyat menunjuk seseorang.

Seketika saja berpuluh orang menyerbu dan mengerumuni orang itu. Kang Diman sebagai pemimpin unjuk rasa segera berlari dan menghalangi anggotanya yang mulai naik emosi”
“tunggu woi ! tunggu ! kasih jalan ! hayooohh kasih jalan ! biar bapak dewan yang terhormat ini bisa santai dan tenang,“ Mang Diman terkesan melindungi Anggotan Dewan Legislasi, namun dari nada suaranya ia cenderung mencemooh. Ia seolah olah memapah lelaki berkepala botak dan berbaju safari.

“nah ini dia ! kita dengar suaranya !”

Lelaki itu masih menampakkan kegugupan. Ia mencoba menguasai diri.
“apakah Bapak setuju dengan revisi Perda tata kota ?” cecaran pertanyaan datang dari Mang Diman.
“seb .. sebenarnya begini  . . . “ lelaki itu celingukan. Ia tergagap
“huuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu !! “ serentak peserta unjuk rasa mengolok-olok. Mereka faham benar dengan kalimat awal yang mbulet tak punya kepala tak punya ekor. Kalau ada Dewan yang bilang “sebenarnya begini”, alamat penjelasan itu akan mengambang dan tak kongkrit. Malah ada kesan mereka menutup-nutupi dengan mulut manis. Sontak anggota Dewan kikuk seperti kucing dikebiri.

“tenang-tenang ! biar ngomong dulu  ! ini negara demokrasi ! apapun itu biar kita dengar dulu, walaupun cuma sampah !“ lelaki berjaket itu niatnya baik, tapi malah ahir kalimatnya membuat muka Anggota Dewan ini memerah menahan malu.

“betul Bos ! intan walau keluar dari mulut anjing tetaplah intan ! hahahahah,“ lelaki kumal dan yang sedari tadi berkomentar jenaka menimpali cemoohan. Mereka tak kuasa menahan jengkel lantaran aksi mereka tak digubris sama sekali. Tak ada anggota Dewan berani menemui mereka, malah beberapa anggota Dewan melarikan diri secara sembunyi-sembunyi setelah rapat paripurna khusus yang membahas revisi Perda tata kotaselesai digelar.

“Tolong- tolong dengarkan dulu,” Kang Diman berusaha menengahi.

“Begg .. beggini ..” Sang Dewan makin tergagap-gagap. Kedua telapak tangannya terkembang ke depan mengatur diri. Ia tak lagi memiliki kadar intelektual setelah dikerumuni massayang tak sabar.

“halaaahhhh !!!”,
“suruh pulang !!!”, “belum makan dia !!! ngomong saja gelagapan !!”

Sontak suara geram berloncatan. Mereka akhirnya memaksa anggota Dewan legislasi itu untuk menandatangani pernyataan menolak revisi perda.


Gagal menemui anggota Dewan yang lain, massa memaksa untuk masuk gedung legislasi dan melakukan sweeping. Namun aksi sweeping berhasil dicegah pihak pengamanan.

“ahhhh ! Dewan Kentut ! bisanya cuma sembunyi ! pengecut !” 
“pengecut ! pengecut ! pengecut !” seluruh peserta mengepalkan tangan kirinya ke atas. Mereka mengacung-acungkan sambil berteriak serentak.

Tiba-tiba,

“woi ! kita kasih hadiah sajaaaa !” salah seorang berdiri sambil menggenggap cat semprot. Ia tak mempedulikan kanan kiri dan berlari kencang menuju tempat parkir. Entah dari mana cat semprot diperolehnya.

Lelaki itu secepat kilat menekan cat semprot di kaca mobil yang diparkir di depan gedung Dewan. Tiba-tiba puluhan orang berlari ke arah lelaki itu. Mereka meminta cat dari lelaki itu, dan jadilah, mobil salah satu anggota Dewan belepotan tak karuan rupa. Lelaki yang membawa cat menuju ke mobil yang berplat merah milik Penguasa Kota.

“hoi Sontoloyo !!! jangan !!!  itu milik negara !!!” Kang Diman berteriak keras.

Lelaki itu terkaget. Ia pun mengurungkan diri.


***

Posting Komentar

 
Top