0

'Bulan Maret 2000, Danau Ranu Kumbolo. Cuaca cerah, suhu berkisar 4 derajat'
Dengan jari bergetar kutulis catatan harian selepas turun dari puncak gunung. Untunglah, malam ini cuaca cerah. Kupilih bertenda di tepi danau sebelum turun ke desa terakhir, Ranupane.
Langit malam menyebar bintang. Bulatan rembulan terpantul beriak di airdanau. Aku duduk menyila kaki menikmati radiasi perapian. Di depanku, jauh di seberang danau, tersebar ratusan titik-titik cahaya serupa kunang-kunang. Cahaya itu adalah lampu tenda yang tersebar di kanan base camp. Beberapa dari mereka summit attackbersamaku dini hari tadi, beberapa rombongan lain baru tiba di Ranukumbolo dan hendak melanjutkan perjalanan esok pagi.
Kujerang air, menyeduh kopi panas penghangat tubuh. Ruas jari yang beku menyulitkanku menulis catatan perjalanan. Terdengar suara anjing hutan Cuon Alpinus di kejauhan. Lolongan panjangnya menggetarkan dadaku. Sekilas kulihat sekelebatan bayang-bayang manusia mendekatiku.
"sendirian .. " sapanya.
Suara perempuan. Aku terkesiap. Menutup catatan harian. Kuikuti gerakan bayang-bayang tubuhnya yang samar-samar mendekatiku.
"boleh numpang api ?" tanyanya, denganlembut sedikit serak. Suara yang halus,berkesan menggoda.  Samar-samar radiasi perapian memberiku kesempatan memandang parasnyaWajah yang ayu, bermata sayu, sementara seluruh tubuhnya disembunyikan jaket tebal hingga mirip kepompong. Rambut panjangnya yang lurus jatuh terurai di bahu.
“boleh, dengan senang hati. Jauh lebih baik ada kawan ngobrol. Sini-sini, duduk deket api,” Jawabku yang tersenyum.
“jauh amat buka tenda disini ..  nggak sama rombongan ?” tanyanya, yang kemudian duduk di seberang perapian.
"gue pendaki solo. Seneng sendirian, dan lebih suka menyendiri .. " gurauku, "kalo lu buka tenda dimana ?" tanyaku, membalas keakrabannya,
"di seberang sana, dekat rumpunan pinus," jawabnya, menunjuk perapiandi seberang danau yang nampak kecil berpendar. Dia kemudian tersenyum kepadaku. Tersenyum senang karena menerima keramahan.
"loh, bukannya disana juga sepi ?" tanyaku, sedikit heran
"yup. Aku suka sepi. Suka menyendiri, sama seperti kamu. Tapi aku bukan pendaki solo. Aku kesini sama rombongan," gadis di depanku ini kemudian mendekap tangan, mengusap-lengannya, kedinginan.
"sini –sini .. lebih merapat ke perapian .. Gue buatkan kopi. Gue punya stok segudang. Mau kopi apa ? kopi tubruk ? kopi susu ? kopi jahe ? asal jangan kopi luwak. Luwaknya belum ketangkep."
" ah bisa aja. Kalah, dong, toko” senyumnya pecah. “aku pesen kopi pahit. Ada ?”
“yaaahh, jauh-jauh ke gunung malah nyari kopi pahitt. Ngggak yang laen apa ?  Tapi .. tentu saja ada, Non. Tenang saja .. kalo urusan kopi, ransel gue isinya lebih lengkap dari pada di supermarket.  By the way, lu pernah baca penelitian, nggak ? kalo orang yang doyan kopi pahit punya kesempatan lebih cepet kaya ketimbang yang nggak doyan,” ujarku
“Nggak. Nggak pernah. kok bisa gitu ?” keningnya berkerut sembari menggeleng.
“lah iya ! ngirit gula ! gula kan mahal!! hahahaha !!”
Lamat-lamat, senyumnya retak merekah sebagaimana kayu kering dilalap jilatan api. Percakapan kami hangat, menyenangkan, penuh persaudaraan. Memang beginilah adat kami para pendaki. Tak kenal,jadi kenal. Alam raya mencairkan jarak yang beku. Perempuan di depanku ini mengenalkan dirinya bernama Raisya, dan Raisya bilang jika dirinya tertinggal dari rombongan ketika menurunigunung. Sambil menyeruput kopi pahit, dia bercerita panjang lebar.
"kok Lu bisa ketinggalan gitu ? teledor banget kawan-kawan, Lu."
"entahlah, rombonganku anggotanya banyak, keselip pas ngabsen kali," Raisya tersenyum manja.
"eh, alasan itu ga bisa dipakai, Non, ini ketinggalan di hutan, bukan di Ragunan. No woman left behind," ujarku geleng-geleng kepala,
"trus rencana lo gimana ? Ngejar mereka ?" lanjutku.
"nggak, percuma ngejar mereka. Lagian, mereka pasti sudah nyampe di rumah masing-masing," jawabnya
"loh. Lu nggak dicari  ?"
"kalo urusan ditinggal, aku sudah biasa. Lagian tempat ini keren abis, aku akan nikmatin tempat ini sepuas-puasnya,sebebas-bebasnya. Tempat serasa jadi milik sendiri, rumah sendiri. Kita mesti enjoy di kondisi apapun. Tul, nggak ?" bola mata Raisya berbinar saat mengucap. Hatiku serasa dijentik melihatnya. Selebihnya, aku kagum dengan semangatnya menghadapi kondisi pelik.
"bener-bener salut deh Gue. Lu pendaki paling tenang yang pernah Gue kenal. Padalah, Lulagi ngadepin masalah krusial. Ketinggalan di gunung itu bukan masalah sepele, Non, bisa jadi itu urusan hidup dan mati. Untung saja Lu bisa nyampe Ranu Kumbolo," decakku kagum. Raisya tertawa-tawa sambil sesekali menyeruput kopi.
"entahlah, aku seolah merasa danau ini rumah idamanku, dan aku tenang di tempat ini. Bayangkan, setiap hari kita bisa mendengar angin mendesau di pucuk pinus, ilalang yang menari, kabut-kabut yang berjalan rendah,"
"ah, kalo yang itu Lu terlalu sentimentil, Sya" sahutku menanggapi Raisya.
"Sentimentil ? Sentimentil dari mana ? ucapanku semuanya realita ! kamu berapa kali kemari ?" ujar Raisya membela diri.
"lima kali," jawabku singkat .
"nah, lima kali ! Bukti bahwa dirimu kecanduan mendaki ! Iya, kan ? Kamu lebih sentimentil daripada aku. Aku aja cuman dua kali kemari. Dan yang kedua kalinya malah ketinggalan," Raisya kembali tertawa, sembari jemarinya diregangkan menangkapi radiasi perapian. Kalimat Raisya kali ini benar. Aku memilih cengengesan. Memang, kecantikan alam raya seringkali membuat para pendaki jadi sentimentil. Rasa sentimentil itulah yang menjelma ketagihan berpetualang. Kutuangkan seduhan kopi pahit ke dalam gelasnya yang kosong. Dan dia tidak menolak. Bola matanya berbinar menyirat terima kasih.
"eh, Sya. Memangnya Lu ketinggalan gini ga dicariin pacar ? Memang sih aman-aman aja .. Tapi .. Ketinggalan kayak gini pasti membuat cowok Lu stress,"

Raisya diam sejenak, menyeruput kopi pahit yang mengeluarkan uap beraroma harum. Tatap mata Raisya berangsur-angsur menerawang.
"pastinya dia nyariin aku. Tapi kejadian seperti ini sudah berlangsung lima tahun,"
"apa ?! Jadi Lu sudah biasa ketinggalan dong ! Kasihan bener cowok Lu."
Raisya tersenyum kecil mendengar keterjutanku. Tapi,lagi-lagi tatap matanya menerawang jauh membelah danau seolah ada yang sedang ia pikirkan.
"eh, sudah, ya, by the way .. thanks atas kopinya, aku pamit balik tenda," ujarnya tiba-tiba.
"buru-buru amat, Non"
"dingin banget, aku mau istirahat. Kalo besok kamu ada waktu, mampir ke tendaku,"
"lah, disini kan ada api unggun, Lu nggak mungkin kedinginan. Tapi terserah Lu kalo mau balik tenda. Tenda Lu disana, kan ?" kuacungkan telunjuk ke arah nyala perapian yang menyendiri.
"yup, tempat itu, tepat di bawah rumpun pohon pinus,"
"oke-oke, besok sebelum turun ke Ranupane, Gue pasti mampir. Gimana kalo sekalian kita turun bareng ?" ajakku, “lagian, Sya. Lu mesti melapor ke Ranger kalo Lu ketinggalan. Biar ga disangka hilang. Kasihan rombongan Lu,” lanjutku.
Raisya menggeleng pelan.
"aku masih lama disini. Masih -"
"all right, i see. Lu masih ingin mendengar angin di pucuk pinus, menikmati ilalang yang menari, memegangi kabut-kabut yang berjalan rendah. Jujur, Sya. Itu kata-kata paling sentimentil yang pernah Gue dengar. hahaha" potongku yang tersenyum melepas. Raisya mengangguk sambil tertawa renyah hingga nampak deretan giginya berbaris rapi.
“oke, see u next, thanks kopi pahitnya.” Raisya menatapku lembut, mengulurkan gelasnya yang sisa separuh.
“habisin kopinya, nanggung,” ujarku
“cukup. Kebanyakan bikin kembung,” sahutnya tersenyum. Aku pun mengangguk mengiyakan.
Raisya kemudian berdiri, melempar senyum. Bagiku senyumnya serupa anggrek hutan yang eksotik. Ah, kasihan benar dia. Tapi aku kagum dengan keberaniannya. Dia kemudian menjabat tanganku. Aku pun tersenyum melepasnya.
Raisya kemudian memutar punggung, melangkah anggun, tetapi tidak ke arah jalan setapak –tempat ia datang semula. Raisya malah melangkah ke bibir danau.
“Eh, Lu mau kemana, Sya !! Lu salah jalan !!” teriakku. Sekejap aku ingin menariknya. Tapi –
Raisya terus melangkah ke tengah, bergerak maju. Raisya melayang di atas air.
Leherku mendadak kaku. Lidahku beku. Darah di tubuhku terkesiap seiring detak jantung melompat-lompat.
Raisya terus menjauh ke tengah danau, pijak kakinya tak nampak lagi.Samar-samar cahaya rembulan memantulkan bayang-bayang tubuhnya di permukaan.
Dadaku berdentam-dentam, kelopak mataku berhenti berkedip. Nafasku sesak sesesak-sesaknya.
"Raisya sudah lima tahun tertinggal .. dia sudah lima tahun tertinggal. Danau ini rumahnya .. Danau ini peristirahatannya , ya, Tuhan."
Samar-samar perlahan-lahan kusaksikan tubuh Raisya terbenam ke dalam danau.
***
Maraisya Anandita, nama itu kutemukan terpahat di tugu memoriam pendaki di bawah pohon pinus terbesar, di sisi selatan Danau Ranukumbolo.
MARAISYA ANANDITA
Lahir : Bandung, 23 Juni 1978.
Hilang : Semeru 23 Desember 1995.
***
Ranupane, 26 Mei 2014

ditulis untuk mengenang gadis yang bersemayam di linang-linang air Ranu Kumbolo.

Posting Komentar

 
Top