0

Puncak Mahameru, 3676 M dpl.
17 Agustus 05.23 Wib
Ketika Sang matahari menjelang terbit

“Ta, terima kasih,“ Emma berkata-kata penuh emosi.
Perempuan itu berdecak kagum memandangi keagungan dan kecantikan yang terpampang di depannya. 

Lautan awan terbentang merumbai-rumbai. Dan di sebelah timur, nampak batas garis horison yang memisahkan langit dan lautan awan. Perlahan-lahan warna awan itu mulai memerah di sisi atas. Dan kini, dari titik tertinggi di Pulau Jawa -seluruh pendaki yang berhasil menaklukkan puncak Mahameru menanti detik-detik terbitnya matahari. Mata mereka terpaku memandang ke sisi timur, wajah-wajah mereka tak sabar menantikan pertunjukan paling eksotis yang disajikan alam raya.

Dan tepat kala matahari mulai mengintip, letupan kawah Jonggring Saloka  mengantar sinar-sinar panjang yang memerah. Letupan itu terdengar keras memuntahkan pasir dan debu-debu Mahameru ke udara. Kepulan debu-debu perlahan membesar, membentuk gumpalan cendawan raksasa yang menyingkir tercerai-berai setelah dihempas angin. Seluruh pendaki gunung menikmati belaian lembut sunrise yang perlahan mengintip di balik lautan awan. Dan setelah mereka  merayap di jalur terjal, dihempas angin gunung, dan dihadang keangkuhan medan vulkanik, kini semuanya serasa pupus terbayarkan. Keagungan lukisan Tuhan menyisakan ketakjuban yang tertancap dalam.

“memang tepat kalau jalan pasir yang kita lalui dinamakan Jalan Menuju Surga,“
tatap mata Audrey jauh menyentuhi lautan awan dan intipan matahari yang perlahan membesar.
“puncak ini tamannya, Drey“ Rania menambahkan

“taman surga yang berada di atas awan,“ Emma meneguhkan gambaran kecantikan yang kini tergambar. Ada emosi kuat dalam tiap kata-katanya. Ia tak pernah bermimpi menyaksikan matahari terbit di Puncak Mahameru. Namun seolah Tuhan memberikan kesempatan itu kepadanya. Dan kini Emma semakin menghargai makna kehidupan. 

Sementara dinginnya Puncak Mahameru mulai terusir terik matahari, namun entahlah, sang angin gunung seolah-olah tak pernah lelah menampar. 

Tuhan, terima kasih kau berikan aku kesempatan sekali lagi berdiam diri di Puncak GunungMu. Untuk mendengar dan merasakan suara kebebasan.  Untuk mengenal cantik rupaMu dengan cara yang kupilih sendiri. Terima kasih,

Bergetar hati Zweta kala mengucapkan kata-katanya, ia memejam mata menghirup nafas dalam-dalam.

Emma menyanyikan lagu Born Free, & Mahameru
.“, suara Emma bersenandung merdu.
Zweta menatap lembut. Rania tertawa kecil
“lagu siapa, Ran ?“, Zweta bertanya
“Borrowed Heaven“

Audrey tersenyum mendengar Emma bernyanyi. Dilingkarkan tangan kanannya memeluk pundak Emma.

Sementara tak jauh dari mereka, serombongan pendaki baru tiba di puncak Mahameru.  Mereka berteriak-histeris mengepalkan tangan ke angkasa, bilik batinnya dibanjiri luapan emosi. Kegembiraan menaklukkan puncak Mahameru seakan tak tertandingi. Zweta, Rania, Audrey, dan Emma, saling berpandangan menyaksikan pendaki itu berekspresi.

“lihatlah  . . betapa gembiranya,” Rania tertawa pelan. Kegembiraan itu menginduksi hatinya.

“Selamat datang di puncak Mahameru !!! ” Audrey berteriak sambil mengangkat kepalan tangan kirinya, dan seketika teriakan Audrey disambut tawa dan ucapan terima kasih.

Setelah matahari membundar penuh, Zweta mengajak ketiga kawannya berkeliling menyaksikan keajaiban puncak. Mereka menyaksikan bayang-bayang kerucut mahabesar yang melingkupi rimba belantara di sisi barat.  

“ya Tuhan, bukankah itu bayangan gunung  ??!!!”, Emma berdecak kagum menyaksikan bayang-bayang kerucut mahabesar yang menaungi belantara. Bayangan gunung setinggi 3676 meter di atas permukaan laut perlahan-lahan memanjang, membentuk strato sempurna, melingkupi dataran tinggi beserta gugusan bukit dan sungai-sungai yang bersimpuh kaki Sang Mahameru. 

Hingga kemudian mereka berjalan mengagumi kecantikan panorama dari tiap sisi. Menyaksikan gugusan kurva pegunungan dan cekungan besar di sisi utara yang membiru, itulah kaldera gunung Bromo yang terus mengepulkan asap tipisnya.

Audrey terpukau, Rania takjub, hingga dari puncak Mahameru mereka tak percaya telah berhasil menggapai puncak. Apalagi ketika menyaksikan rute terjal lurus memanjang yang menghilang di batas vegetasi Arcopodo, mereka pun mampu melihat padang Kalimati yang berada di lembah Gunung Kepolo.
 
“yuk ke sisi selatan,” Zweta menyentuh pelan lengan Audrey yang masih terpukau.

Sementara para pendaki lain berkerumun di banyak tempat. Berbincang-bincang, bercengkrama, bahkan beberapa diantaranya terlihat menunggu letupan material vulkanik dari kawah Jonggring Saloka. Namun di tengah puncak, terdapat tujuh pendaki yang membentuk lingkaran saling berhadapan. Mereka berteriak menyanyi walau suara mereka sumbang tak merdu.

“antara hidup dan mati
Takkan pernah aku kembali
Niatku sudah terpatri
Antara hidup dan mati

Darah keringat di batu
Terikat tali kehidupan
Rasa takut dan ragu-ragu
Mengundang dewa kematian

Berada di ketinggian
Menjawab segala tekanan
Angin kencang sebagai godaan
Kita harus mampu bertahan”

“itu lagu siapa, Ta.” Emma tertarik mendengar lirik lagu yang dinyanyikan para pendaki.
 “kalian tak pernah mendengar ?”, Zweta tersenyum
“nggak pernah,” Emma menggeleng pelan, Rania menunggu.
“itu Lagu Pemanjat”
“lagu pemanjat ?”,
“ya ..  lagu yang dinyanyikan Iwan Fals, akrab sekali di telinga para pemanjat tebing dan pendaki gunung,”
“asik juga syairnya” timpal Rania
“ya. syairnya memang dalam. Intinya semangat dan kepasrahan. Mungkin mereka para pemanjat tebing yang mampir kemari,” Zweta tersenyum simpul. 

Sementara ketujuh pendaki terus bernyanyi dengan suara serak parau. Mereka tak peduli dan terus menggerakkan tubuh berekspresi. 

“Lagu pemanjat bukan lagu orang sekarat
Lagu pemanjat lagu orang yang kuat
Lagu pemanjat bukan sekedar kuat
Lagu pemanjat lagu jiwa yang liat

Dinding dingin tebing terjal
Terus melambai-lambaikan tangannya
Memanggil aku untuk tetap memanjati
Kehidupan yang penuh dengan misteri

Sang Jari menari jangan berhenti
Kupasrahkan diriku di genggamanmu
Sang nyali bernyanyi di ujung kaki
Ku ikhlaskan hidupku  ..  ya kuikhlaskan

Lagu pemanjat bukan lagu orang sekarat
Lagu pemanjat lagu orang yang kuat
Lagu pemanjat bukan sekedar kuat
Lagu pemanjat lagu jiwa yang liat ”

Lamat-lamat lagu pemanjat terus dinyanyikan hingga selesai. Dan setelahnya, mereka berteriak-teriak meluapkan emosi. Berangkulan, menaut genggaman, saling memukul lengan masing-masing.

Zweta kemudian membawa Emma, Audrey dan Rania mengagumi dinding kawah Mahameru. Mereka takjub memandangi julangan pasir terjal yang berada di sisi selatan. Nampak sekali kemiringan dinding vulkanik yang nyaris tegak. Sementara di belakang dinding kawah tertutupi Jonggring Saloka yang terlarang didekati, lantaran lontaran material vulkanik dan batu-batu pijar membahayakan para pendaki gunung. Bahkan saat letupan material dari kawah terjadi, para pendaki di puncak Mahameru bisa menyaksikan batu-batu panas berwana hitam yang terlontar dan jatuh menggelinding di tepi dinding kawah.

Mereka berempat akhirnya puas mengagumi puncak Mahameru. Dan mereka pun berjalan ke tengah puncak.

Tiba-tiba Rania tersita perhatiannya, 

“Ta,” Rania menyentuh pelan lengan Zweta.
“ya, Ran.” Zweta menyahut.
Namun Rania tak mempedulikan sahutan Zweta dan terus melangkah.


IN MEMORIAM
SOE HOK GIE & IDHAN LUBIS

MAHAMERU, Gn Semeru, 16 Desember 1969 – 16 Desember 2002

INDONESIAN GREEN RANGER

MAHAMERU

Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan & kebebasan
Yang mencintai bumi

Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka tengadah & berkata, kesana-lah Soe Hok Gie & Idhan Lubis pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang

Sementara bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi
Sementara saputangan menahan tangis
Sementara Desember menabur gerimis

24 Desember 1969
SANENTO YULIMAN

Sebuah lempeng besi tertancap. Lempeng yang berukir sebuah kata-kata perenungan, juga kehilangan. Sebuah penghargaan agung atas makna persahabatan yang teruntai menggunakan bahasa puisi. Logam itu ditancap kuat-kuat di puncak Mahameru menggunakan enam batang baut. Dan nampak, dari sebuah goresan kuat, sebuah lontaran batu dari kawah Jonggring Saloka – pernah jatuh dan menimpa lempeng besi. 

Zweta, Audrey, dan Emma mengikuti Rania mendekati ke tugu memoriam. Mereka saling berpandangan. 

“Soe Hok Gie, Ta. Catatan Harian Seorang Demonstran ..”
“ya, Ran. In Memoriam Soe Hok Gie dan Idhan Lubis,” Zweta memandang Rania yang menatap teduh prasasti.
“siapa dia, Ta ?” Emma tak mengerti.
“yang jelas dia seorang manusia yang idealis, Em. Dia pernah bilang,  Patriotisme bukanlah tumbuh dari slogan-slogan, namun seseorang akan dapat mencintai obyek yang ia kenal secara obyektif apabila ia melihat langsung dari dekat obyek yang ia cintai. Karena alasan itulah maka kami naik gunung”
“ya, dan dia meninggal saat menaklukkan Mahameru,” Rania menambahkan
“meninggal ? meninggal kenapa, Ta ?” tatap mata Emma bersedih.
“entahlah,” Zweta menggeleng pelan. Ia terdiam.
“yang jelas, kita hanya diijinkan berada di Puncak Mahameru sampai jam 10 siang. Selebihnya angin akan meniup gas solfatara dari kawah menuju tempat ini”, Zweta akhirnya berucap setelah terjeda.

Rania entah kenapa tiba-tiba merangkul Zweta erat-erat. Demikian juga dengan Audrey dan Emma, Rania memeluknya bergantian.

“terima kasih, Drey”,
“terima kasih, Em”,
“terima kasih , Ta”, Rania berkata lembut penuh keharuan

“kenapa Ran ?” Zweta bertanya tak mengerti.

Namun Rania tak mengucap sepatah kata. Pendar matanya berkaca-kaca. Rania teringat peristiwa yang menimpa Fona dini hari tadi, betapa Zweta rela mempertaruhkan hidupnya demi menyelamatkan perempuan itu, dan ia tak bisa membayangkan seandainya peristiwa itu menimpa dirinya. Ia juga merasa kagum mengenal Audrey, perempuan itu pernah mati-matian melindunginya dari gangguan preman ketika turun ke jalan. Dan mengingat semua peristiwa itu membuat Rania terharu.

“aku.. aku  .. “ mata Emma seketika berkaca-kaca.
“terima kasih, Ta, Ran, dan kamu Drey  . .  sudah berbuat baik kepadaku ... sudah menjagaku ... Dan aku yakin sampai kapanpun takkan bisa membalas kebaikan kalian,” suara Emma bergetar penuh emosi. Perlahan-lahan air matanya  menitik.

“sudahlah, Em.” Zweta mendekat dan memeluk Emma, begitu pula Audrey dan Rania.

Entah kenapa puncak Mahameru membuncahkan emosi. Seolah perjalanan persahabatan yang selama ini ada terputar kembali.

 Menjelang pukul tujuh siang, hampir lima ratus pendaki berkumpul melingkar. Panji-panji pecinta alam dibentangkan, dan bendera merah-putih berkibar diiringi desir hati yang berikrar :

DISANALAH AKU BERDIRI JADI PANDU IBUKU,
PADAMU NEGERI JIWA RAGA KAMI

Tangan-tangan lurus menghormat. Debu-debu Mahameru menyaksikan anak-anak pertiwi berusaha menautkan tali sejarah. Betapa kemerdekaan adalah harga mati bagi kehidupan manusia. Hidup merdeka, bernafas merdeka, berpikir merdeka. Menikmati kemerdekaan dan kemudian berjuang melawan penghianat cita-cita kemerdekaan. Betapa menyaksikan paras ibu pertiwi yang rupawan menasbihkan cinta yang tertancap dalam. Patriotisme, yang tidak tumbuh atas dasar slogan dan dogma, namun tumbuh atas dasar kesadaran bahwa Tuhan menitipkan tanah air yang teramat cantik. Tanah yang subur beserta rimba belantara yang sepanjang waktu mengalirkan mata airnya yang paling jernih. 


***

Posting Komentar

 
Top