0


Apa yang tak bisa terlihat oleh mata, justru membuat Damar merasa sakit. Tak pernah dirinya teramat bingung. Ya, ia merasa sedemikian bingung, ia tak bisa melawan. Bagai seekor gajah perkasa yang kebingungan ketika harus melawan berpuluh semut merah yang memasuki lobang telinganya. Ia tak bisa memegangnya, ia bahkan tak bisa melempar musuhnya hingga jauh dan tak nampak oleh kelopak matanya.

Namun, ini bukan masalah menang atau kalah. Segala hal yang menyangkut perasaan, adalah sesuatu yang menancapkan penasaran yang tak pernah terpuaskan. Bagai ketika kapal pecah dan terapung di tengah lautan, maka tiap manusia akan tergoda menenggak ir laut. Sekali meminumnya, maka selamanya tenggorokan akan menagih rasa haus yang terlipatgandakan. Ya, perasaan itulah yang kini mengamuk di dada Damar. Sebuah kerinduan. Ah tidak, Damar berusaha untuk mengingkari jika amukan perasaan di dadanya adalah sebuah kerinduan. Ia pernah berkali-kali menyumpah.

“gua bukan tipe lelaki picisan,” begitu ia mencoba memberi alasan. Dan entahlah, ia pun seketika bingung dan marah. Namun anehnya ia pun tak tahu harus marah  kepada siapa. Hingga tibalah malam ini. Malam ketika ia merasa kalah. Kalah dalam mempertahankan ego. Kalah pula mempertahankan kenyataan bahwa ia bukanlah lelaki super yang mampu membendung gelombang perasaannya.

“Sial Men ! gua emang lagi jatuh cinta !”

dipandanginya langit-langit kamar kost-nya. Ia masih sedikit tak percaya. Ia berusaha meneguhkan sesuatu yang baru ia percayai.  

Seluruh indera Damar seketika membalik buku waktu. Ia tak kenal baik dengan perempuan ini. Perempuan yang mampu mencuri kesadaran dan keteguhannya untuk tetap menjadi lelaki sombong tak butuh cinta. Akhirnya ia mencoba menimbang fakta yang tersaji. Ia cuma kenal dan berstatus sebagai kawan seangkatan, dan ia pun tak punya sesuatu yang bisa dibanggakan di depan perempuan itu. Kuliah berantakan, wajahnya pas-pasan, demikian pula dengan kemampuan yang lain, semuanya serba nanggung. Yang jelas, akhirnya ia menyimpulkan kalau dirinya hanya akan menjadi pilihan yang kesekian bagi perempuan normal, termasuk Chantal Cafe –perempuan yang kini menggelisahkannya.

“Ah Damar, lu ini lelaki yang kalah sebelum berperang. Mental lu terserang syndrome ejakulasi dini,” Damar berusaha meratapi diri. Ia mengusap wajah seperti tentara kalah perang.

Akhirnya buku-buku waktu memberi hisapan candu bagi manusia yang diamuk cinta. Damar teringat ketika bercengkrama dengan perempuan itu. Ya, pernah beberapa kali, ah bukannya beberapa kali, tapi cukup sering. Ah cinta, betapa indah mengingat saat-saat bercengkrama dengan pujaan hati, Damar bahkan mencoba menghitungnya. Ia teringat betul, malah teramat ingat, dan kini ia tersenyum sendiri. Ah cinta, inilah keajaibanmu. Damar merasakan rekahan energimu. Hal yang teramat biasa menjadi sangat indah ketika disentuh olehmu, kalimat prosa bagai puisi, denotasi seperti memendam makna konotasi. Ah cinta, kini Damar linglung terpukau sentuhmu, lelaki itu menyerah tertancap panahmu.

Akhirnya Damar memilih bangkit dan berusaha sadar dari liukan candu. Ia tersenyum. Rasa penasaran yang pernah menuntunnya mencari pemilik suara indah telah melabuhkan perasaannya. Walau seringkali ke café, ia sendiri heran, kenapa teramat jarang ia bertemu Emma. Bahkan di kampus, selama hampir dua tahun tak lebih dari duaratus kali ia berbincang-bincang dengan Emma. Kala berbicara, mereka pun berbincang secukupnya, apa adanya. Namun entahlah, kini perempuan itu lebih banyak menghilang dari kampus, dirinya pun demikian. Semuanya seakan serba tak ketemu.  

Dua bulan lalu di café Umbrella, Damar sempat bertemu dengan Emma. Namun rasa naïf merampas kesempatannya, dan kini ia menyesal. Ia meratapi kekerdilan dan kepengecutannya menghadapi sapaan cinta. Dan lagipula saat itu Emma sedang berkumpul dengan kawan-kawan nongkrong yang tak satupun dikenalnya. ia merasa tak nyaman.

Rasa sadar yang dipilih Damar ternyata tak bertahan lama. Ia kembali mengingat buku-buku waktu. Ia mengingat sebuah kejadian indah. Suatu ketika ia duduk berdua dengan Emma tiga bulan lalu. Ah tidak, itu terjadi dua bulan lalu. Dan itu adalah saat terakhir ia bertemu di café Umbrella.

“kok lu malem-malem gini masih disini, Em ? tak ada kuliah besok ?” saat itu Damar bertanya. Namun Emma tak segera menjawab. Pikirannya seolah tersandera di tempat yang jauh. Damar merasa kalau-kalau pertanyannya kurang tepat ditujukan kepada Emma.

“nggak tau nih, Mar. Suntuk terus bawaannya, lah kamu ngapain masih disini ?, bolos juga besok ?” Emma saat itu menjawab sekenanya, perempuan itu tersenyum ringan tak bermakna.

Damar tak bisa menjawab. Ia akhirnya memilih topik lain untuk mengalihkan. Mendengar kata-kata Emma, Ia merasa sayang kalau Emma menyia-nyiakan studinya yang kini berantakan. Tetapi entahlah, mengapa Damar lebih menyayangkan Emma daripada dirinya sendiri. Dan kini, ketika buku-buku waktu berangsur menutup kembali, ia sekali lagi hadir dalam kesadaran.

“semoga Emma bertambah cantik,” begitu bisiknya dalam hati, ia tersenyum sendiri.  

Kemudian lelaki coklat itu bangkit berdiri sambil meraih tas yang berisi laptop kesayangannya. Berharap bunga cintanya sedikit tersirami, ia melangkah gontai menuju titik pusat kala perasaannya terpanah rasa cinta, Cafe Umbrella.

***

Petang baru saja menggulir waktu. Ketika di sisi lain lelaki coklat berjalan gontai menuju tempat peraduan hati, disisi lain, di bawah sinar rembulan yang redup tertutup awan separuh, ada gambaran lain dari cinta yang retak. Seolah cinta itu bagaikan sekuntum bunga letih yang tinggal menunggu tangkainya patah.

Adalah benar jikalau mata adalah jendela hati. Ketika tatapan kedua manusia beradu, seketika muncul lukisan hati. Seolah tatapan mata mampu melukis gambar yang gamblang dari tiap kejadian yang telah mereka alami. Walau demikian adanya, sesekali tatapan kedua kekasih itu menjadi terlampau lelah untuk menafsir perasaan yang berkecamuk. Amalia tak mampu meneruskan tatap matanya, ia membuang pandangan.

“An, bagaimana bisa kamu sedemikian baik terhadapku,” Amalia kembali lagi menatap Andro dengan luka yang dalam. Lelaki yang ditatapnya mendiam. Namun sorot matanya melukis dengan jelas perasaan yang sangat sulit digambarkan. Hanya Amalia-lah yang faham tatapan itu,  tatap mata yang sanggup membuat hati Amalia serasa jatuh.

“An,” Amalia memanggil nama kekasihnya dan kemudian menaut tangan kekasihnya perlahan. Digoncangnya telapak tangan Andro yang kokoh.
 “katakan sesuatu, An.” Amalia merintih pelan. Wajahnya sayu hingga nampak sama dengan wajah rembulan malam ini.

“apakah ada yang bisa aku lakukan selain diam,”  Andro balik bertanya. Tatap matanya serasa lelah dan tak pasti.

Mendengar itu, Amalia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya menatap Andro dengan mata berkaca-kaca.

“aku mencintai kamu dengan sangat Li, dan atas dasar itulah, aku  menuruti semua apa yang kamu minta. Seseorang pernah mengatakan kepadaku, apabila seseorang mencintai dengan tulus, maka ia akan membiarkan orang yang dicintainya merasa bebas. Dan sekarang kamu bebas, Li. Aku tak ingin kalau diriku hanya akan menjadi beban bagimu,”


“tetapi, An ...” Amalia mencoba berkata-kata namun terhenti.
“Li, jika kamu memilih aku sebagai lelaki yang kau harap akan menemani kamu, maka seperti inilah aku Li. Seseorang yang hanya hidup dalam pikiranku sendiri, dan –dan, aku juga tak ingin melihat perempuan yang kucintai merasa sedih. Buat apa aku berada di dekat perempuan yang kucintai kalau hanya untuk melihatnya bersedih. Buat apa ?!”, Andro mencoba berkata dengan sisa-sisa repihan hatinya. Ia berkata dengan nada teramat lembut.

“Androku, maafkan aku. Maafkan Amalia. Aku merasa kalau-kalau kita tak akan bisa menjalaninya. Aku terlalu takut An, terlalu ragu.” Amalia kini mengisak tangis. Ada  rasa tak terima dengan keadaan yang telah ia jalani. Kepasrahan yang selama ini menjadi kawan yang ia percayai kini telah terlepaskan. Ia tak lagi tegar.

Perempuan itu kemudian jatuh di pelukan Andro. Lelaki itu tak bisa berbuat apa-apa. Dibiarkannya perempuan itu mengisak tangis melepaskan emosi.

Malam masih belumlah larut. Demikian juga dengan burung-burung malam yang baru saja berkelepak.

Sementara perempuan itu kemudian melepaskan dirinya dari pelukan Andro.

“terima kasih atas segala yang indah dan tak indah selama ini, An. Maafkan aku, Androku,” Amalia menyentuh pipi  Andro dengan lembut. Untuk beberapa saat dibiarkannya telapak tangan yang halus menyentuh pipi kekasihnya.

Kata-kata “Androku” terasa miris didengar gendang telinga Andro. Namun apa daya, ketika cinta tak bisa menemukan takdirnya, maka sudah seharusnya jikalau diakhiri dengan cara yang baik. Penghormatan Andro kepada Amalia sudah sampai dititik tertinggi. Andro hanya bisa rela ketika simpul cinta yang ditautkan kepada Amalia dikembalikan lagi padanya.

“kamu harus tegar sayang, kamu kan calon doktor,” Andro berusaha membuat Amalia tersenyum. Mendengar itu Amalia sedikit terlipur, ia tertawa kecil walau masih menyisakan suara tangis dan lelehan air mata.
“masih boleh kupanggil Damaya Amalia dengan sebutan sayang ?” Andro menyungging senyum menipu perasaan.
“boleh, An. Tapi besok sudah nggak,” suara Amalia terdengar merajuk.

Dan malam masih memberikan sisa tautan rindu pada cinta yang menjelang patah. Ah- cinta, sedemikian berlikunya jejak yang kau siratkan. Begitu licin, begitu memabukkan, begitu tak terduga.

Sementara awan masih mengiringi sinar rembulan yang jatuh tak sempurna. Maka demikianlah, malam masih memberikan waktu bagi dua anak manusia yang terjatuh dalam ujung candu rindu, hingga akhirnya kecupan bibir Amalia tulus menautkan ucapan cinta yang telah patah di tengah jalan.

***

Posting Komentar

 
Top