0


Areal camp Arcopodo
16 Agustus
12.30

Zweta dan Emma akhirnya sampai di Arcopodo. Sebuah areal camp terakhir sekaligus tertinggi bagi mereka yang bersiap menaklukkan Mahameru. Tempat itu ternaungi pepohonan cemara yang tinggi menjulang, hingga tak nampak sedikitpun pemandangan yang tersaji di sekeliling Arcopodo. Jurang dan ceruk pasir tak lagi nampak, namun seringkali pencaran awan kabut membawa butiran air dingin yang menjamahi tubuh para pendaki. 

Kini Rania dan Audrey beristirahat di dalam dome. Sedangkan Emma tak kuasa lagi menahan kantuk. Ia menggelar matras dan merebahkan diri di tempat terbuka. Rasa lelah yang menghebat cepat-cepat menuntun Emma memasuki alam mimpi.

Zweta bersandar di samping Emma yang pulas tertidur. Ia asyik menyaksikan para pendaki beristirahat melepas lelah. Mereka pun menyiapkan fisik untuk summit attack dini hari nanti, selepas jam baru saja mengganti hari.

Walau sang raja siang tepat berada di atas kepala, Zweta tak merasakan terik matahari. Malah hawa dingin menyelimutinya lantaran hempas angin terus menerus memencarkan kabut-kabut.

“Ma,“
“sampai mana, Ma. Ganti,“ Zweta mencoba berkomunikasi.
Berkali-kali Zweta menghubungi Mamanya tapi yang menyahut hanyalah gemerasak suara HT yang mengganggu telinga.

mungkin sinyal masih terganggu,
 Zweta menduga dalam hati. 

Sementara siang ini pendaki gunung terus berdatangan, hampir tiga ratus pendaki telah berkumpul di Arcopodo, dan entahlah, berapa banyak lagi yang masih dalam perjalanan. 

Akhirnya kelelahan menuntun Zweta memejam mata. Ia pun jatuh tertidur sambil menyandarkan punggung di pohon cemara besar.

Sementara matahari terus menyinar terik, sesakan langkah pendaki yang melintas di pinggir dome tak membangunkan Emma dan Zweta yang pulas tertidur.

Ketika mata mengatup dan kesadaran menguncup, akhirnya malaikat mimpi
menuntun Zweta memasuki padangilalang yang luas. Luas, seluas
mata memandang hingga batas padanghanyalah lengkung kurva  tak beraturan yang
merupakan pucuk-pucuk gugusan bukit yang rebah memanjang di kejauhan.

Sejenak Zweta terkesiap, ia bingung. Ia tertegun menyaksikan tempat yang
tak pernah terbersik walaupun dalam pikirannya. Ia menoleh ke belakang dan kemudian
menyaksikan jalan yang tak lebih lebar dari jalur pedati, memanjang
berkelok hingga akhirnya lenyap terputus di balik bukit.


Dimana ini, Ta.
Zweta menanyai dirinya sendiri.

Namun ketika tak menemukan jawaban dari keheranannya, Zweta pun kemudian
sekilas memandang kearah matahari yang mulai melingsir hingga bayangan
tubuhnya sedikit lebih panjang dari tubuhnya. Ia menimbang arah perjalanan.


Di langit, ceraian kabut-kabut berhamburan terhempas angin. Kabut yang
membawa butiran air dingin memencar-mencar tak karuan, sementara di atas
bumi pertunjukan sang angin seakan tak henti-hentinya mengajak pucuk
ilalang menari berpilinan.


Zweta memutuskan berjalan kearah matahari menarik diri. Ia tahu  harus
segera mencari tempat berteduh, mengingat tak lebih dari dua jam lagi,
seluruh padangpastilah lenyap tertelan gelap.


Zweta cepat melangkah, kaki-kaki lincahnya menapak rikat, menyusuri jalan
tanah yang berkelok dan kemudian menghilang di balik gundukan bukit.


Terasa mencekat dingin udara yang menyelimuti tubuhnya. Angin yang
berhembus menampar-nampar tak keras, dan memang di tengah padangseperti
ini, angin selalu saja mengusik  tak mau diam. Sejenak ingatannya menaut
padang Mahapena di sisi timur pegunungan Arjuno-Welirang, padangyang
ketika senja menasbihkan gambaran siluet terindah lantaran cahaya matahari
tertahan bukit. Jadilah cerat-cerat panjang sinar membentuk  labirin cahaya
di atas padang. Luas langit yang tertangkupi labirin cahaya berwarna merah
senja, sementara padangilalang di tengah lembah terlihat samar-samar
dinaungi bayangan bukit. Ah, padangMahapena memang indah dan memukaunya,
dan karena kepukauannya atas siluet senja Mahapena, Zweta pun memilih nama
Mapena sebagai nama pena-nya.


Semakin mendekati bukit yang menjadi ujung jalan,  Zweta mulai mencium
aroma air yang terbawa angin. Telinganya kemudian menangkap gemeracak air
yang menabraki bebatuan, persis bunyi gemeracak aliran air di kali Genjo.


Ketika langkahnya tak jauh lagi dari kaki bukit, terlihatlah cekungan lembah
yang cukup luas. Namun tiba-tiba kesadarannya tersentak.

Pondok pendaki ?!!
Zweta mengernyit,


ah  tidak, terlalu sederhana untuk ukuran pondok pendaki,
Zweta bergumam lirih.


Seketika langkahnya semakin cepat, apalagi kemudian di balik bukit ia menyaksikan bentangan danau kecil yang melinang-linang keperakan. Rupanya bentangan danau itulah yang aromanya tercium hingga kejauhan.


“ya, Tuhan, indah sekali”
Zweta tertegun dan sempat berhenti,


Ia kemudian melangkah namun tatap matanya terus terpaku memandangi danau.
Hingga ketika semakin dekat, samar-samar di kejauhan, di depan pondok,
terlihat sosok lelaki sedang termenung memandangi danau.


Langit belumlah gelap, namun entah mengapa di lembah ini kicauan burung
sama sekali tak terdengar, bahkan serangga-serangga senja yang biasanya
bersuara panjang saling bersahutan pun tak nampak. Sunyi. Lembah ini
teramat sunyi, sesunyi surga ketika ditinggal penghuninya turun ke bumi.


Zweta kian mendekati danau dengan jarak yang tak jauh. Langkahnya tak lagi
sabar, ia melangkah setengah berlari.


Tiba-tiba Zweta terkesiap. Jantungnya berdetak cepat. Muncul perasaan ganjil yang mengatakan jika ia mengenal sosok di depannya. Ya, ia mengenal dengan baik. Tubuh yang tegap, tangan yang kekar, rambut yang ikal tak penuh, menyaksikannya membuat jantung Zweta berdegub kian kencang. 

Apalagi ketika lelaki di depannya menggeser tubuh dan kemudian bangkit menyongsongnya. Ah ! Zweta tak tahu harus berbuat apa. Seketika langkah kakinya berhenti, tubuhnya terpancang berdiri sambil menahan buncahan emosi yang mengamuk menghantami jiwanya. Hingga akhirnya bibirnya bergetar tak percaya, sementara kelopak matanya berembun air mata.


“Malaikat kecilku,“ 
“Papa . .“
Teramat lirih Zweta menyahut hingga seakan bibirnya bergerak tanpa arti. Namun ketika lelaki itu tersenyum, Zweta segera berlari menghambur. 

Dipeluknya lelaki itu erat-erat. Amukan rindu ditumpahkan, dan mungkin hanya badai lautan-lah yang sanggup menyamai geloranya.

“Papa, aku. . aku ..“ Zweta terbata tak menemukan kata. Hanya lelehan air mata mewakili buncahan emosinya. 

Lelaki itu tersenyum, ia melonggarkan pelukan, ditatapnya paras Zweta sambil meletakkan telunjuknya di bibir putrinya. Wajahnya tenang dan teduh. Tatap matanya tajam, namun berangsur lembut selembut mentari pagi.

Dalam diam, pandangan lelaki itu serasa menjelajah tiap lekuk paras putrinya, tatap matanya jauh menembus benak Zweta. Dan Zweta seakan menemukan sorot matanya sendiri.

“Papa... ini . . ini  ..  dimana  ?“ senyum dan tangis Zweta bertautan. Ia terisak dan kembali  membenamkan kepala di dada Papanya.

Lelaki itu tak menjawab. Ia tersenyum tenang. Tangannya menyibak lembut rambut Zweta, membelai rambutnya, mengecup keningnya berkali-kali.

“Malaikat kecilku,“
“kamu telah tumbuh besar, secantik mawar liar di lembah gunung,“ ia tersenyum lembut. Matanya berkaca-kaca.
“Pa, jawab pertanyaan Zweta, Pa. Ini dimana ?“
“apakah penting, Putriku. Dimanapun Papa berada yang jelas Papa bangga melihatmu tumbuh besar,“
“tetapi, Pa ..“
“ya, Sayang. Papa mengerti. Maafkan Papa .. “

Zweta pun tersenyum, ia terharu, gembira, tetapi suaranya mengisak tangis. Ia tetap tak mengerti.

Lelaki itu kemudian membimbing Zweta dan mendudukkannya di depan pondok. 

Di langit, matahari terus menuruni orbitnya sambil menabur cerat-cerat merah senja. Warnanya yang lembut tersiak-siak, seakan menjadi bunga yang tertabur ketika sang baginda menuruni tahtanya. 

“Sayang, Papa tak bisa berlama-lama,“
Lembut suara lelaki itu mengejutkan putrinya,
“Nggak mau ! Papa harus pulang,“
Zweta merajuk seakan tak terima 

“Papa harus melanjutkan perjalanan, Sayang“
“Zweta ngikut,“
“jangan, Sayang. Tak boleh,“
“kenapa, Pa ? pokoknya aku harus ikut !!“ Zweta merajuk manja di sela isak tangisnya.
“keras kepala  .. ha ha ha, “
“tak boleh, Sayang. Tak boleh. Perjalanan ini cuma buat Papa,“
“kenapa cuma buat, Papa ? kenapa aku tidak ?“
“entahlah, Papa sendiri tak tahu,“
“pokoknya Papa tak boleh pergi tanpa aku !“ Zweta memeluk Papanya sedemikian erat.

“Malaikat kecilku,“ lelaki tak dapat berbuat apa-apa selain membelai putrinya.
“kau pun tahu betapa aku mencintaimu. Tetapi Papa harus melanjutkan perjalanan,“ lelaki itu mengecup kening putrinya berkali-kali. Menyibak rambut dan terus membelainya. 

“kau malaikat kecilku, tegaklah seperti gunung, bergeloralah seperti gelombang, sebelum telingamu mendengar kata-kata yang lain, dengarkanlah kata-kata nuranimu, karena hanya suara itulah yang dititipkan Tuhan kepada manusia,“ lelaki itu berkaca-kaca ketika melepas putrinya. Tangan kukuhnya lagi-lagi menyibak rambut Zweta, bibirnya mengecup kening putrinya lebih lama.
“Tuhan, maafkan aku“
Lelaki itu kemudian perlahan bangkit dan memutar tubuh melangkah. Ia melepas pelukan putrinya.

“Pa ! aku ikut, Pa“ Zweta cepat-cepat menyusul, namun entah mengapa langkah gontai Papanya seakan tak terkejar. Serasa ada kekuatan magis yang membentengi dan menariknya kembali.

“Papa  !!!“, “mau kemana, Pa !!“, “tunggu aku !!“ 
Zweta berteriak kencang. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia jatuh bangun mengejar langkah Papanya. Jatuh berkali-kali tapi Zweta bangkit seketika. Sosok yang dikejarnya semakin jauh, Zweta kembali jatuh walau meronta mengerahkan seluruh tenaganya.

“Papa !!!  tunggu aku, Pa !!“ Zweta akhirnya jatuh tersungkur tak kuasa bangkit. Ia menangis, ia meradang, air matanya jatuh berderai. Ia serasa diajak terbang ke langit namun seketika dijatuhkan ke muka bumi.   

“Ta, kenapa, Ta .. Ran ! Drey !!“
Emma berteriak cemas memanggil Rania dan Audrey, kedua perempuan itu pun berlari.
“Ta, Zweta !“ Rania menggoyang Zweta kuat-kuat. Induksi mimpi mencengkeram Zweta hingga memasuki alam sadar.
Zweta menangis, air matanya jatuh berderai.  
“istighfar, Ta ! istighfar !“ Rania memeluk Zweta yang seketika terbangun. 
“kenapa, Ta ? kenapa ?“ Audrey dicekam kecemasan. Namun Zweta menggeleng pelan sambil memejam mata. Tenaganya luruh, ia tak percaya. Zweta pun menangis sejadi-jadinya.

***

Lima puluh meter ke atas dari areal camp Arcopodo,
Hampir di batas Vegetasi dan Puncak Pasir Vulkanik.
16 Agustus
17.25

Sepuluh pendaki berkumpul di puncak tebing yang dasarnya teramat dalam. Mereka terpukau dan takjub memandangi  hamparan hutan dan warna langit yang gelap, namun memerah di sisi barat. Hutan belantara yang tergelar di dasar tebing membentang luas tak bertepi, pepohonan nampak bagai bintil-bintil kecil penyusun warna hijau permadani yang tersulam rapi.

Sementara dasar tebing merupakan ceruk jurang yang mahabesar. Tak jauh dari mereka berdiri, tertampak batas vegetasi antara material vulkanik dan areal yang masih bisa ditumbuhi pepohonan. Bekas longsoran material vulkanik terlihat jelas, dan reruntuhan material yang teronggok di dasar tebing menggentarkan siapapun yang menatapnya.

“ya Tuhan“,

Rania ngeri menatap dasar tebing. Ia menahan nafas. Muncul perasaan gentar saat mendekati bibir tebing, apalagi terlihat tanda-tanda bekas longsoran yang tak jauh dari kakinya memijak.

Senja di Arcopodo menampakkan kecantikannya yang sempurna. Warna merah mentari yang pulang ke peraduan, menghiasi gugusan awan comulus yang memenuhi  petaka langit. Sinarnya menyirat panjang, dan merah senja menyajikan siluet warna surga yang membuat hati penatapnya berdesir takjub.

“siluet terindah yang pernah kusaksikan sepanjang hidupku,“ hati Audrey beresonansi. 

“inilah gambaran surga itu, Drey“ Zweta berkata lirih, ia tak ingin melewatkan detik-demi detik perjalanan matahari yang mulai turun dari tahtanya. Dan ia menyungging senyum saat wajahnya terbelai cahaya senja.

Emma termangu. Ada kekaguman, ada kengerian, ada pula kegentaran yang menyelimuti dirinya saat memandang keajaiban yang kini terbentang. Ia mematung tak bersuara.

Sementara keenam pendaki di samping mereka bersibuk diri mengabadikan gambar senja di Arcopodo. Mereka berdecak-decak mengagumi tiap penyusun kecantikan.

Detik-demi detik berlalu, mereka tak melewatkan waktu memandang kecantikan sunset yang semakin lama semakin teduh. Hingga belantara dan dasar ceruk perlahan-lahan ditinggalkan matahari, kaki mereka masih berdiri di puncak tebing menyaksikan cerat senja terakhir tertarik lenyap di garis batas antara langit dan bumi.

***

Areal Camp Arcopodo
16 Agustus, 19.00 Wib
 di kala angin gunung berisik tak kenal henti,

Puluhan lentera pendaki berpendar pelan. Malam makin dingin, namun seolah tak sedingin hawa di Ranupane –saat para pendaki gunung baru beradaptasi dengan pelukan angin gunung.

Rania, Audrey, Emma, dan Zweta larut dalam suasana keakraban. Mereka berkumpul dengan ratusan pendaki gunung yang kini memenuhi Arcopodo. Jaket, balaclava, dan sarung tangan menyelimuti tubuh masing-masing. Sementara mereka terus bercengkrama melingkar di sebuah tempat lapang yang telah mereka sepakati.

“Assalamualaikum kawan-kawan. Salam Rimba !!!“,
“lestari !!!“,
seluruh pendaki menjawabnya serentak. Beberapa dari mereka masih berbincang dengan kawan disampingnya.

“terima kasih atas kehadiran kawan-kawan dalam acara koordinasi pendakian, sesuai dengan undangan yang kami sebar tadi sore,“

Seorang perempuan paruh baya yang menjadi center acara, membuka kata-katanya.

“Dini hari besok, kita melakukan pendakian ke puncak Mahameru. Dan tepat pukul tujuh kita akan melaksanakan upacara bendera di sana. Jalur yang akan kita tapaki merupakan jalur pendakian terberat. Banyak material batuan dan pasir yang lepas, sehingga kita harus berkoordinasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan,“

“di samping itu, acara kali ini bertujuan membentuk panitia upacara. Saya harap kesediaan dari kawan-kawan untuk menjadi pengibar bendera, inspektur upacara, atau dirijen memimpin lagu,“

“wahahhaha !“, “kau saja, Nyo !“
pendaki yang lain  mulai riuh tertawa-tawa. Mereka saling tunjuk dan bergurau.

“adakah Pak Jambrong hadir ?” kembali perempuan paruh baya berkata sambil mencari-cari
“pak Jambrong ?” Emma kebingungan
“dia berhenti di Ranukumbolo, Mbak” tiba-tiba Zweta menyahut
“oh,”
“kalau begitu kamu saja, Ta” lanjut perempuan paruh baya setelah berekpresi

“setuju-setuju !” pendaki lokal berwajah tirus berujar cengengesan
eits … bentar-bentar .. kalo jadi pengibar bendera, aku mau,  tapi kalau inspektur upacara .. jangan deh .. ” cepat-cepat Zweta menimpali
“kenapa ?”
“ya .. gimana ya Mbak, nggak enak aja ..”
”aahh .. gara-gara Pak Jambrong nih,” protes Zweta

“kalo Mbak aja yang jadi inspektur upacara gimana ?
”lah aku kandirijen , Ta”

“ah iya,“
“Bapak Ranger aja deh  ..” spontan Zweta memberi usul,

Kebekuan Arcopodo tak mampu  mengusik perbincangan para pendaki. Sambil menikmati hangatnya kopi dan sepotong-sepotong biscuit yang telah dingin, mereka bercengkrama mengarungi waktu sekaligus melakukan koordinasi pendakian.

Sementara pendar lentera berusaha menyambung cahaya rembulan yang menyorot lembut dari sela dedaunan cemara. Namun di tengah rimba belantara, apalah artinya setitik sinar dibanding kegelapan yang kini bersimpuh di kaki Mahameru. Begitu kecil, teramat tak berarti.

Malam kian gelap, tenda yang tertebar di punggung Arcopodo seakan diam menunggu waktu. Ya. mereka terdiam menunggu penghuninya merapat tubuh.

 “oke, kalau memang semua posisi sudah fix, acara koordinasi kita tutup sampai disini, mengingat kita harus beristirahat menyiapkan fisik. Besok dini hari, tepat pukul 00.30, tim perintis akan membuka jalan  .. dan ..  semoga Tuhan menyertai kita”

“amin,”, “amin”

 “Kode Etik Pecinta Alam Indonesia!!” seorang lelaki tiba-tiba berkata lantang penuh semangat. Dengan suara lantangnya yang menggugah, tiap pendaki kemudian menirukan kata-katanya dengan penuh kesadaran..
“1. Mengabdi kepada Tuhan YME.”
“2. Memelihara alam beserta isinya, serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhan.”
“3. Mengabdi kepada Bangsa dan Tanah Air.”
“4. Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitarnya, serta menghargai manusia sesuai dengan martabatnya.”
“5. Berusaha mempererat tali persaudaraan sesama pecinta alam sesuai dengan tujuan dari pecinta alam.”
“6. Berusaha saling membantu, saling menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah Air.”


Rembulan terus melangkah memanjati langit. Cahayanya yang teduh memencar di sela dahan cemara, menyibak kegelapan dan kemudian melukis bayang-bayang panjang pendaki gunung yang melangkah gontai menuju tenda masing-masing.

Tak terbayangkan suasana Arcopodo tanpa pendaki gunung. Malam yang dingin membeku, rimba belantara beserta jurang-jurang dan ceruk pasir menganga, sementara tebing-tebing tinggi berdiri perkasa menantang angin. Ah, Arcopodo di masa itu pastilah kesepian. Ya, Arcopodo pastilah kesepian.
***

Batas Vegetasi antara Arcopodo dan Puncak Mahameru
17 Agustus
00.37

Tebing tempat menyaksikan sunset telah terlewati. Kini mereka berkumpul di tanah lapang terakhir yang tak lebar. Batas vegetasi puncak Mahameru hanya terpaut duapuluh meter dari tempat mereka berdiri.

Seluruh pendaki berhenti. Mereka berkumpul mengelilingi tugu memorial para pendaki yang menjadi korban pendakian. Tugu-tugu yang diam membeku, menyirat gambar kepasrahan tertinggi bahwa hanya Tuhanlah pemilik segala kuasa dan kehendak.

“mereka siapa, Ta“ suara Emma serak bergetar membaca pahatan aksara di tugu memorial.
“mereka pendaki yang mengalami kecelakaan, Em,“ Zweta berkata lirih. Nada suaranya bersedih.

Hingga seluruh sinar senter menyorot terang ke tengah, menerangi aksara yang terpahat jelas di tugu-tugu memorial. Sebuah nama, catatan peristiwa, prasasti yang membeku tak bicara namun menjadi saksi kesedihan.

“kawan-kawan, sebelum berangkat ke puncak, marilah mengheningkan cipta bagi rekan-rekan yang telah mendahului kita. Semoga jiwa mereka selalu teduh dan damai disisiNya,“ lembut suara seorang pendaki memecah kebisuan dini hari. Beberapa yang hadir menggigil menahan dingin.

“mengheningkan cipta. Mulai,“

Seluruh kepala serentak menunduk. Mengheningkan segenap cipta merenungi bukti kekuasaan Tuhan yang menguasai tiap detak kehidupan. Mahameru dengan segala keindahannya telah menarik para petualang menyaksikan kecantikannya. Namun demikianlah Tuhan berkuasa di atas segala kehendak. Beberapa kali kecelakaan gunung merenggut nyawa pendaki gunung, bahkan beberapa diantaranya dinyatakan hilang dan belum ditemukan hingga sekarang. Doa-doa yang dibisikkan terus mengepak menembus langit. Berharap keteduhan menaungi jiwa mereka yang masih tertinggal di Arcopodo. Berharap Tuhan memberikan kekuatan dan perlindungan bagi perjalanan terberat yang akan ditempuh.

“amin,“ pelan suara masing-masing pendaki menutup doanya. Keharuan pun menyeruak di waktu dini hari. 

Setelah mengheningkan cipta, satu persatu para pendaki meninggalkan Arcopodo. Mereka bergerak pelan menapaki jalur pendakian yang sempit dan berbahaya. Jalur selebar satu meter, dibatasi oleh rantai pengaman yang terpasang di pucuk tiang-tiang beton setinggi 1 meter yang juga telah miring tak tegak. Sementara di sisi kanan menganga bibir jurang teramat dalam, dan di sisi kiri menganga cekungan ceruk yang mengerikan.

Tak butuh lama mereka meniti jalur selebar satu meter itu, akhirnya seluruh pendaki berjuang keras menapaki medan pasir vulkanik yang sering disebut “jalan menuju surga“.
Tak ada lagi pepohonan cemara, tak ada lagi vegetasi yang mampu tumbuh.

Emma, Zweta, Rania, dan Audrey memilih berada di deretan tengah para pendaki. Sementara tim perintis summit attack berada di barisan terdepan. Mereka  berhati-hati membuka jalur pendakian yang masih terselimuti kegelapan.

Wajah dingin Arcopodo melepas kepergian para pendaki meniti jalan menuju surga. Sayup-sayup terdengar pijak kaki beradu menjejak keterjalan pasir vulkanik,

Srrk.. Srrkk.. Srkk..

sementara sorot sinar senter memanjang –membelah kepekatan jalan yang tersembunyi rapat laiknya misteri. Tamparan angin gunung terasa keras,  suara berisik  pucuk-pucuk cemara mulai menjauh, sedangkan bintang gemintang berkerlip pelan menemani pijak kaki yang terbenam.

Punggung Audrey bergerak cepat mengikuti tarik dan hembus nafas yang terburu. Bersama seluruh rombongan pendaki, ia berjuang keras mendaki keterjalan medan pasir lepas. Maju lima langkah, seolah tergelincir tiga langkah ke bawah. Debu-debu beterbangan, sementara tipisnya oksigen menambah sesak pernafasan.

“aduhhh,“ Audrey berusaha keras menahan keseimbangan. Kaki-kakinya tak lagi berkompromi. Beberapa kali tergelincir dan melorot ke belakang, kini Audrey tak sabar lagi untuk merayap menggunakan kedua tangannya yang terbungkus rapat sarung tangan.

Jalur pendakian semakin menanjak. Semakin tinggi posisi, semakin kasar angin gunung menampar. Sementara tak ada vegetasi yang melindungi tubuh dari terpaan angin gunung. Malam ini hawa dingin dan terpaan angin membekukan tubuh para pendaki yang berhenti sejenak melepas lelah.

“AAAHHHH !!“

Seorang pendaki jatuh berlutut sambil tangannya bergetar hebat. Jari jemarinya tersengat dingin. Berkali-kali ia pukulkan telapak tangannya agar normal kembali. Dan memang ia tak menggunakan sarung tangan saat merayap. Lelaki itu mengerang kesakitan.

Nafas yang terburu terdengar semakin jelas. Beberapa kali terdengar teriakan melengking memanggil anggota masing-masing rombongan yang tercecer di belakang. Rasa letih dan beratnya medan pendakian membuat koordinasi berantakan tak karuan.  

Semakin tinggi menapak, semakin berat pula rintangan yang harus dihadapi. Kemiringan medan yang nyaris tegak, menantang ego sekaligus mental para pendaki. Mereka ditantang menaklukkan medan pasir vulkanik yang ganas. Merayap dan menahan berat beban saat melintasi jalur penuh gravel. Bahkan merayap pelan menghindari guguran bolder di sepanjang jalur. Semakin lama sinar senter berkelebat tak pasti seiring goyangan tubuh menahan keseimbangan. Dan butir pasir mulai menyelinap di sela-sela sepatu walau gutter pelindung telah terpasang.

Sementara sesekali tiupan keras angin menerbangkan debu-debu hingga membuat mata terpicing pedih.

Suhu minus 4° celsius melingkupi jangkauan puncak pasir Mahameru. Tamparan keras angin gunung menambah efek windchill. Ganasnya medan pendakian sedikit demi sedikit meretakkan mental pendaki. Mereka berjuang keras mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Merayap menggunakan tangan, melompati cekungan kecil, hingga jatuh bangun ketika terperosok di pasir labil. 

Hingga setelah sejam lebih menempuh perjalanan, Rania mulai kelelahan. Dinginnya udara membuat hidungnya berair, sementara tipisnya oksigen dan tamparan angin gunung membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Ia duduk  mengatur pernafasan, menyandarkan punggung pada satu-satunya pohon cemara yang masih tersisa. Ya – satu-satunya vegetasi yang mampu tumbuh di medan pasir vulkanik adalah Cemoro Tunggal.

Tak lama kemudian, Audrey, Emma, dan Zweta menyusul. Mereka terengah-engah sambil memicing mata lantaran debu-debu beterbangan dihempas angin. Audrey membanting tubuh. Sementara Emma menjatuhkan tubuhnya yang kelelahan. 

“masih jauh, Ta ?“ Emma memelas. Nafasnya tak lagi berkompromi.
“kalian mau jawaban jujur ?“ nafas Zweta masih tak stabil
“nggak usah dijawab, Ta“ Audrey pasrah. Bibirnya bergetar menahan dingin.
“memangnya kenapa ?“ Zweta tertawa tak percaya
“iya . . kenapa, Drey.“ Emma menoleh lemah,
“aku nggak peduli ini masih lama atau nggak . .  yang penting kita harus sampai puncak. Harus !! kita sudah sejauh ini  .. “
“Sepakat, Drey. Kita harus ke puncak,“ Rania menegaskan sambil tubuhnya bergetar menahan dingin. Terpaan alam membuat perempuan lembut itu menjadi keras. Ia ingin menuntaskan seluruh perjalanan yang telah diretasnya. Ia bertekad melawan keterjalan “jalan menuju surga“.
 
“ya Tuhan . . betapa indah langitMu,“ Zweta terpaku takjub. Ia terpana menyaksikan bintang yang nampak dekat. Sementara sinar rembulan terang benderang. Langit bersih tak nampak tudungan awan. Seolah langit malam menampakkan wajah paling cantik malam ini. 

“Ran, jangan terlalu lama beristirahat . .  ayo mendaki lagi,“ Zweta bangkit secepatnya. Hawa dingin mulai menerobos balaclava. Dan ia harus segera mendaki mumpung seluruh persendian belum membeku.

“kalau memungkinkan, istirahatlah sambil berdiri. Jangan merebahkan diri di pasir dingin,“ Zweta berkata sambil mengulurkan tangan. Ia membantu Emma bangkit

Dari Cemoro tunggal, mereka bergerak melanjutkan summit attack. Angin gunung bertiup makin kencang menerbangkan debu-debu Mahameru. Gerakan angin menelusup cepat melewati ceruk-ceruk pasir dan seketika menghempas menampar wajah dan melingkupi tubuh pendaki gunung. Sementara beberapa pendaki nampak terduduk lemas, bahkan beberapa diantara mereka secara tak sengaja tertidur saat merebahkan punggung di tepi jalur pendakian. Tipisnya oksigen, serta lelah yang yang merajalela membuat kesadaran mereka rapuh, bahkan beberapa di antara mereka tergelincir ke bawah saat tertidur di jalur terjal.

Sementara malam masih panjang. Ceruk dingin yang tersebar di puncak pasir Mahameru menggambar keangkuhan alam yang menantang mental para penakluk. Ratusan sinar senter terus berkelebat tak beraturan. Dan semua cahaya bergerak perlahan, membentuk rangkaian titik-titik kecil yang membelah kegelapan medan.

Deretan pendaki Mahameru tercecer memanjang. Mereka yang berada di posisi terdepan telah menempuh duapertiga jalur vulkanik. Tenaga nyaris habis, demikian juga dengan ketahanan fisik yang terus-menerus tertampar angin gunung. Beberapa rombongan pendaki mengalami kerusakan koordinasi. Perjalanan anggota tim yang sebelumnya solid, perlahan-lahan tercecer buyar. Beberapa anggota terpisah, mereka yang tak kuat fisik tertinggal jauh di belakang.

Rania, Audrey, Emma, dan Zweta masih mampu mempertahankan diri mendaki beriringan. Rasa lelah ditangguhkan, dan tubuh mereka terus menggigil walau terlindungi pakaian hangat. Sementara pendaki lain kian bertumbangan. Beberapa di antara mereka menjatuhkan tubuh di tepi jalur dan tak lagi peduli apakah meneruskan summit attack atau kembali ke Arcopodo. Sisa-sisa ketahanan tubuh tak mampu lagi berkompromi menghadapi ganasnya medan dan tamparan angin gunung. 

Hingga jutaan bintang terus berpendar, rembulan nampak condong sejajar. Di saat kelelahan merajalela, kesadaran para pendaki semakin tipis. Konsentrasi teralihkan, keliaran alam menghapus naluri kepekaan. 

Sementara sesak langkah terdengar keras ketika menjejak medan berpasir. Rania terus tabah mendaki walau sesekali merayap dengan kedua tangan. Sedari lima menit yang lalu nalurinya menangkap firasat aneh. Sebuah sinar berkedip pelan membentuk pola tertentu.

Blap Blap Blap ! Blaaap Blaaap Blaaap ! Blap Blap Blap !

Ah,  ia masih tak mengerti dan berusaha mengartikan firasatnya.

“YA TUHAN ,“ Rania terhenyak seketika. Ia berhenti mendaki.

Sisa-sisa kesadaran membimbingnya menyaksikan pola ganjil sorot sinar di kejauhan.

Blap Blap Blap ! Blaaap Blaaap Blaaap ! Blap Blap Blap !

Sinar itu timbul tenggelam terhalangi gundukan pasir yang tak tinggi.  Posisinya berada di sebelah kiri arah pendakian dan menyimpang terlalu jauh dari jalur pendakian semestinya. Rania bergerak menyingkir dari jalur pendakian agar lebih jelas menangkap sorot sinar. Hingga Rania dengan sisa kesadaran berusaha menafsirkan firasatnya.

“Kenapa, Ran ?” Zweta berteriak sepuluh meter di bawah Rania. 

“aku melihat morse, Ta ! ” Rania berteriak mencoba meyakinkan dirinya.
“morse ?” Zweta terkejut. Seketika ia bergerak cepat mendahului Audrey dan Emma.  

“dimana, Ran ?”, Zweta terengah-engah mengatur nafas setiba di samping Rania.

“disana, Ta. Di sebelah kiri atas,” Rania menunjuk setitik cahaya yang berkedip pelan membentuk pola tertentu.

Sementara Zweta masih tak jelas, ia menyingkir lebih jauh memastikan pola cahaya. Bibirnya bergerak-gerak menafsirkan arti morse. Sementara Audrey dan Emma memilih berhenti mengatur nafas. Mereka tak mengerti.

“ya, Ran. Itu Morse !” akhirnya Zweta memastikan
“SOS bukan ?”
“ya. Pendek tiga kali, panjang tiga kali, pendek lagi tiga kali. Itu S-O-S !!” Wajah Zweta menegang, ia menimbang keputusan.

“Ran ! kamu disini saja dan berkoordinasi dengan Ranger. Mereka pasti telah bergerak ke atas. Coba kamu hubungi frekuensi mereka,” Zweta berbicara setengah  berteriak.

“Ta, kenapa, Ta ?” Emma yang berhenti di jalur pendakian seketika gugup mendengar suara Zweta. Namun pertanyannya seolah sepi dan segera lenyap disapu angin gunung.

“aku akan kesana, Ran !”  Zweta cepat memutuskan. Ia berusaha menenangkan diri.
“Ta, kamu sendirian ?” Rania mulai khawatir.
“ya. Kamu disini saja.  Titip pesen buat Audrey dan Emma agar berhati-hati, suruh mereka gabung dengan rombongan pendaki lain. Jangan sampai terpisah. Hati-hati bolder ! ”
***

Zweta melangkah secepat mungkin. Debu-debu beterbangan, tamparan kasar angin gunung tak mampu menghentikan kecepatannya. Ia kini bergerak cepat menjauhi jalur pendakian. Melintasi beberapa ceruk kecil hingga merayap di jalur terjal. Isyarat morse yang ditangkap Rania membangkitkan kesadarannya. Dan kini Zweta menerjang medan tertutup sekaligus terlarang bagi para pendaki gunung.  

Posisi kedipan sinar berada di sebelah kiri jalur pendakian, membentuk sudut 150 derajat dari azimuth utara kompas. Seketika setelah tahu posisi awal di peta navigasi, Zweta memastikan jikalau posisi kedipan sinar berada di west-north yang merupakan medan vulkanik berceruk curam sekaligus rawan longsor, bahkan beberapa ceruk di antaranya menganga membentuk jurang-jurang dalam yang tak terjamah.

“Tuhan,“ Zweta terus menyebut kata-kata itu ketika nafasnya terburu kelelahan. Keringatnya deras bercucuran walau hawa dingin melingkupi seluruh areal pasir vulkanik.

“Tuhan. Beri aku kekuatan,” Zweta berdoa lirih sambil merayap. Nyala lampu yang menempel di kepalanya terus menyala sebagai tanda posisi. Ia terus mendaki, bahkan kaki-kakinya semakin ganas menerjang dinginnya pasir dan debu-debu Mahameru yang membeku.

Zweta sesekali berhenti. Ia melakukan orientasi medansambil mengirim morse komunikasi. Sementara Rania berhasil mengubungi tim SAR yang juga telah meluncur dari Arcopodo. 

Kaki Zweta terus menerjang mengepulkan debu-debu. Dan kini medan angkuh yang menghadang di depannya dipenuhi bolder berukuran besar, bahkan diantaranya berukuran tiga meter lebih. Ia harus berhati-hati melangkah.

Hingga kegelapan malam menyembunyikan misteri alam raya yang liar. Jurang dan ceruk curam tersamarkan, keganasan alam tak terprediksi, namun Zweta berusaha tabah. Tangan dan kakinya terus bergerak merayap. Pijak kakinya sesekali terbenam di pasir lepas. Kini samar-samar di depannya terlihat tebing pasir setinggi dua meter, sementara sebuah bolder berukuran satu meter tergeletak labil di tepi tebing pasir. Zweta berusaha mencari jalan, namun tak ditemukannya celah menghindari jalur tegak.

“ya Tuhan, tak ada jalan lain kah ?”
Zweta yang mulai kelelahan memutuskan memanjat. Dicarinya posisi yang cukup stabil, dan ia mulai menjejakkan kaki sambil tangannya menggapai-gapai mencengkeram.
“hups !” Zweta mencengkeram, kakinya menjejak mencari pijakan. Dirasanya ia harus cepat-cepat menyingkir dari tebing labil ini. Atau ,

BRRRRRLLLLLLL !!!!!
“aahhhh !!! “
SSSRRRRKKKKKK !!!
JLEGG !!!

“YA TUHAN  !! YA TUHAN !!”,

 SSRRRRRRRRTTTTTTTTTT....     SSRRRAAAAKKKKKK  !!!!

  “YA TUHAN !!!”

SSRRRKKKK ... BBRRRLL !!

“ROCK ! ROCK ! ROCK !”,

SRRRKKKKK !!!
“YA TUHAAAANNNNN  ... MAAFKAN AKU”

BRRREEGGG !!! SRRRRRRRAAAAAAAKKKKK .....

Zweta terseret berguling-guling. Tebing pasir yang dipanjatnya runtuh seketika menggelindingkan bolder besar hingga jatuh menghantam dasar jurang setinggi sepuluh meter. Tubuh Zweta terpelanting berkali-kali, hingga kemudian tergeletak kalah dipenuhi pasir dan debu-debu Mahameru. Hatinya bergetar takut,  apalagi ketika tangan kanannya menggapai rongga kosong di bibir jurang. Ah, bayangan kematian seketika menghampiri. Untunglah tubuhnya tak mengikuti gelinding bolder dan menghujam keras di dasar jurang. Nyaris saja, hampir saja, batas hidup dan mati tak lagi jelas.

 Sementara malam menggantang kebisuan. Medan terlarang di Mahameru telah terbelah, Zweta berusaha menyingkir dari bibir jurang dengan perlahan menggulingkan tubuh menjauh.

Langit menasbihkan kepekaman kata. Bibir Zweta bergetar rapuh, sementara lututnya bergetar-getar menahan kepasrahan yang sangat. Dan ia pun mengisak tangis. Betapa dirasa jikalau hidup dan mati hanya dipisah selembar labirin teramat tipis. Ia merasa gentar. Namun Zweta berusaha mengumpulkan repih-repih semangat, perlahan-lahan ia bangkit dan menyeka debu pasir yang menutupi tubuhnya.

Hingga semangatnya terus membumbung menggelora, pijak kakinya kembali menjejak, membelah medan yang ia sendiri tak pernah menjelajah sebelumnya.

 “Tuhan, maafkan aku. Aku berjanji akan berdamai dengan hidupku. Ampuni aku Tuhan, kumohon kuatkan aku,” Zweta mengadu dalam hati. Bayangan senyum Papanya yang menemui di dalam mimpi sesekali muncul. Ia terus mendaki sambil sesekali memandangi langit. Dan debu-debu Mahameru terus terkepul. Ia melaju melintasi tepi jurang dan ceruk-ceruk pasir yang membeku kaku.

Hingga limabelas menit kemudian ia melihat sinar senter yang terus berkedip sejarak dua puluh limabelas meter di atasnya, dan sayup-sayup terdengar lolongan mengerikan yang timbul tenggelam dihempas angin gunung.

Zweta terus merayap sekuat tenaga. Ia tak ingin membuang waktu. Hingga di kegelapan malam, sinar senternya menangkap sosok tubuh terlentang tak bergerak. Sedangkan di samping tubuh itu, terduduk sosok lelaki yang bergetar hebat menahan dingin. Wajah lelaki itu kotor dan pucat, sepucat warna putih dari sehelai bendera tua yang lusuh tak terpakai.

***

“ya  Tuhan”, Zweta berlari mendekat dengan nafas terburu. Ia menjatuhkan diri di samping sosok tubuh yang kaku tak bergerak. Sementara nyala senter menerangi tangannya yang perlahan menyibak tudung kepala.

“Fona !!!  ya Tuhan !!!” Zweta tergagap. Ia tak percaya.
Mata perempuan itu terpejam rapat. Wajahnya pun telah pucat seperti warna pasir dan debu yang kini menumpu kepalanya. Zweta berusaha memeriksa hembusan nafas dengan berlutut mendekatkan telinga di dekat lubang hidung Fona.

Sementara lelaki di sampingnya terus mengeluarkan lolongan panjang yang menyayat. Tangannya yang kaku bergetar hebat. Tatap matanya hampir-hampir tak lagi fokus. Mental lelaki itu telah hancur berkeping. Kesadarannya hanya tinggal sisa-sisa.

Zweta terus bergerak. Tak didengarnya nafas, tak dirasanya hembusan udara yang mengalir lewat hidung. Dan kini ia mulai memeriksa denyut nadi di leher Fona yang masih terselimuti jaket tebal.

“Ya Tuhaaannnn,” Zweta berseloroh cemas. Degub jantungnya semakin cepat. Wajahnya menegang.

“sejak kapan !! “ suara Zweta bergetar
“Jawab !! sejak kapan ?!! ” Zweta berteriak ke arah lelaki di sampingnya  sambil memastikan denyut nadi. Suaranya menahan sedih. Namun lelaki itu tak mampu berkata-kata. Tatap matanya kosong. Suara yang keluar dari bibirnya hanyalah lolongan panjang yang mengerikan.

“Demi Engkau Tuhan, tolonglah aku,” Zweta akhirnya pasrah dan sekilas memandang langit. Lelaki disampingnya tak lagi bisa diharapkan. Benak Zweta bergetar hebat saat denyut nadi Fona tak mampu ia temukan.

“Ya Tuhaaannn  . . tolonglah aku,“ Zweta makin gugup.

Sementara malam makin dingin. Hembusan angin gunung terus mengisi ceruk-ceruk pasir dan seketika menghempas menampar tubuh Zweta dan lelaki di sampingnya. Menghamburkan debu-debu dingin yang terasa pedih saat terselip kelopak mata.

“bb .. bbaru sajjaa .. bb.. bbaru sajaa ..” lelaki itu berbisik pelan. Sementara kelopak mata Zweta mulai hangat. Ia tak lagi bisa menguasai emosi yang menyeruak menghantami jiwanya. Ia tak terima. Air mata menggenangi kelopak matanya.

Detik-demi detik terasa sedemikian berharga. Sementara kedip bintang terus menyaksikan jiwa anak manusia yang berjuang kembali ketika tersesat di medantak bertuan.

“Tuhan, aku tahu hidup itu punyaMu, tapi jangan sekarang Tuhan,“
Zweta menangis tersedu. Ia tak berdaya menghadapi misteri tipis yang membatasi hidup dan mati.

Zweta kini menegakkan dagu Fona untuk membuka pernafasan. Wajah perempuan itu beku, matanya tertutup rapat, bibirnya memucat. Seolah senyum manis yang pernah tersungging saat berjumpa di Ranupane tak pernah hadir. Semua senyum dan tawanya lenyap tak berbekas.

Zweta berusaha menautkan alir nafas kehidupan. Ia menarik nafas kuat-kuat dan mempertemukan bibirnya dengan bibir Fona. Terasa dingin tatkala bibirnya menyentuh bibir Fona, Zweta seolah merasakan bibir manusia yang berada di garis batas kehidupan, namun setelah berulang kali mencoba, tak dilihatnya gerakan pernafasan di dada Fona. Tak dirasakan pula denyut nadi di leher Fona. Zweta menangis tersedu. Ia terpukul.

“Fona ! jangan sekarang, Fon,” Zweta berteriak memanggil Fona sambil menyeka air matanya yang meleleh. Ia merasa yakin jika jiwa perempuan itu masih berada di dekat tubuhnya.  Jiwa Fona diyakininya masih duduk diam menunggui tubuhnya di pasir dingin Mahameru.

Dan kini Zweta menautkan jemari tangan kanannya di punggung tangan kiri. Ia bersiap melakukan chest compression.

“Fona ! kamu akan terus mendaki, Fon !!! kamu akan mendaki Mahameru lagi !! kamu akan kembali lagi !!! ” Zweta berteriak sambil menangis sebelum menekan dada Fona. 

“satu –dua -tiga“,
 “satu-dua-tiga”,
 “satu-dua-tiga”,
Zweta menghitung lirih.

“Fona ! kembali, Fon !” Zweta terus menekan dengan ritme tertentu. Sekali dua kali, masih tak nampak dada fona bergerak.  Sementara waktu terus berdetak. Dan kelopak mata Zweta melelehkan air mata. Ia tak mempercayai ini semua. Seolah mimpi buruk nampak nyata di depan mata.

“satu –dua -tiga“,
 “satu-dua-tiga”,
“satu-dua-tiga”,

Tautan tangan Zweta terus menekan dada Fona. Angin gunung kian kasar menampar. Dan dilihatnya beberapa sinar senter bergerak mendekati posisinya. 

“Fona, jangan sekarang, Fon.” Zweta terisak pelan. Samar-samar ia melihat sosok pendaki perempuan yang duduk diam tak jauh darinya. Zweta menutup kedua matanya sambil berdoa, dan kali ini ia berdoa dengan jiwa yang bergetar rapuh. Sosok perempuan itu pun telah lenyap saat matanya kembali terbuka.

“satu-dua-tiga“,
“satu-dua-tiga”,
“satu-dua-tiga”,
Zweta terus mencoba chest compression. Berulangkali mencoba namun tanda-tanda kehidupan tak juga muncul kembali. Dan kini ia telah pasrah.

 “Fona,“ Zweta terisak mengalirkan air mata. Ditatapnya wajah beku Fona dan kemudian memandang paras langit dini hari. 

“Maafkan aku, Fon .. maafkan aku,” Zweta kembali menatap wajah Fona sambil menyeka lelehan air mata yang terasa dingin. Lamat-lamat doa dipanjatkan. Ia mengharap ketenangan Fona yang telah berpulang. Dilihatnya wajah perempuan itu mulai diganggu debu-debu yang diterbangkan angin. Tangan kanannya meraih triangular bandage dan berniat menudungkannya di wajah Fona. 

“beristirahatlah, Fon. Tenanglah,”  Zweta berusaha menguasai emosi. Bibirnya bergetar kala mengucap. 

“hhhhhh ... hh”,

“ya Tuhaaan, Fona !” Zweta memekik pelan.

Zweta mendengar tarikan nafas Fona. Seketika keharuan memenuhi bilik batinnya, dan ia pun menangis tersedu-sedu sambil membelai wajah Fona yang terus diganggu debu Mahameru.

Tarikan nafas lemah baru saja mengalir. Dan kini ia berlutut lagi memastikan. Carotid pulse di leher Fona berdetak. Dan ia menghitung ritme detak nadi untuk memastikan.

“terima kasih Tuhaaaan .. terima kasih,” tangis Zweta berderai. Isak tangisnya semakin keras, dan ia tak peduli. Sementara lelaki di sampingnya mulai jatuh tersungkur. Lelaki itu hampir kehilangan kesadaran. Ia tak kuasa lagi melawan terpaan hawa dingin.

Zweta kemudian cepat-cepat mengeluarkan isi tasnya. Beruntung sebelum summit attack, ia memenuhi termos dengan air hangat. Sementara beberapa batang coklat ia keluarkan. 

“Minumlah ! cepat !” Zweta merangkul lelaki itu dan menyeduhkan air hangat di  bibirnya yang telah memucat. Sementara ia membukakan sebatang coklat dan menggenggamkannya di tangan lelaki itu.

“bertahanlah ! aku mohon ! “ Zweta menatap lelaki itu dalam-dalam. Tatap mata lelaki itu meredup tak fokus.

[Ta, masuk , Ta], suara gemerasak HT terdengar.
“Ya, Ran” Zweta membalas panggilan Rania.
[bagaimana, Ta ? tim SAR sudah bergerak]
“survivor mengalami hypothermia akut, Ran”
[krrrsssk. Masuk-masuk . . tim SAR masuk, ganti ]
“silahkan, Pak”
[ada berapa survivor ?, ganti]
“dua Pak, cewek dan cowok, ganti”
[mohon bimbingan sinar, kita kehilangan orientasi posisi, ganti]
“baik, Pak”

“Kamu tenanglah,” Zweta berbisik pelan ke lelaki itu. Sejenak kemudian ia meraih senter lelaki itu dan menyalakannya terus menerus sebagai tanda posisi.

Ya, Tuhan. Berikanlah kemudahan,
Zweta menatap cemas sinar senter yang semakin cepat mendekat. 

Zweta kemudian menuang air hangat di botol plastik. Botol itu dibalutnya dengan triangular bandage, dan seketika ia membuka jaket dan baju Fona untuk meletakkan botol berisi air hangat di leher dan ketiak Fona.

“tidurlah, Fon”Zweta menatap dalam-dalam wajah perempuan itu saat menutup kembali baju dan jaket Fona. Dan sleeping bagnya yang masih tergulung diselimutkannya ke tubuh Fona. 

“masuk, Pak” Zweta kembali menekan tombol HT
[ya. masuk], terdengar suara yang diiringi dengus nafas terburu.
“survivor harus segera dievakuasi, Pak. Kondisinya kritis,” 
[oke. Semua telah siap. Setengah jam lagi kita sampai]

Di Puncak Gunung Mahameru, kulminasi hawa dingin terletak di kala dini hari. Tiupan angin gunung berpilinan menerbangkan debu-debu Mahameru. Menyeruak, menghantam, menampar-nampar tak kenal ampun.
Sementara dinginnya pasir vulkanik membekukan tubuh, suara angin gunung terdengar semakin keras menjamahi ceruk-ceruk curam beserta jurang-jurang tak terjamah.

Zweta kini menunggu, dan sebatang coklat menemaninya menghadang dingin yang mencekat. Gambaran langit semakin terang dan dipenuhi bintang gemintang, sementara rembulan telah menghilang tertutupi puncak pasir. Dan –jalur pendakian beserta sinar senter para pendaki telah lenyap tak berbekas.

“lewat sini –lewat sini,” teriakan anggota tim SAR lamat-lamat terdengar di telinganya. Dan nyala senter berkelebat menyorot dari tempat yang tak jauh.

***

“ah, kejadian seperti ini terulang lagi. Aku heran bagaimana bisa mereka menyimpang dari jalur pendakian,” seorang Ranger berkata pelan di samping Zweta yang membantu proses evakuasi.
“entahlah, Pak. Sepertinya mereka berangkat ke Puncak sebelum rombongan. Saya sendiri tak menjumpai mereka di Arcopodo, kemungkinan mereka summit attack dari Kalimati”

“kamu kenal mereka ?”
“mereka dari Jogja, Pak. Saya sempat ngobrol di Ranupane,”
“untunglah mereka masih disini. Sedikit lagi menyimpang ke kiri . . . Ah, entahlah . . aku tak bisa membayangkan. Tapi yang membuatku heran .. mereka ini masih dalam posisi mendaki, bukan menuruni jalur,” Ranger itu mengernyitkan dahi
“memangnya kenapa, Pak ?”
“biasanya kecelakaan pendakian diakibatkan salah interpretasi orientasi saat menuruni jalur, bukan pada saat mendaki”
“mereka baru pertama kali mendaki Mahameru, Pak. Mungkin salah menafsirkan tanda-tanda orientasi,” Zweta berkata dengan nada sedih.

Sementara tim SAR terus berkoordinasi mengevakuasi Fona dan Kakaknya. Tandu darurat dipersiapkan, dan mereka bekerja cepat dibantu para porter. Tamparan angin gunung semakin kasar. Dan saat tubuh Fona dan Kakaknya terangkat tandu, para porter mulai bergerak lincah menyisiri jalur curam untuk mengevakuasi survivor. 


Sementara bintang gemintang terlihat semakin terang, para pendaki yang membelah jalur pendakian telah menempuh tiga perempat perjalanan. Sinar lampu senter terus berkedip membelah malam.

Emma dan Audrey terus mendaki mengikuti rombongan pendaki lain. Mereka meninggalkan Rania yang masih menanti Zweta. Lagi pula, Rania memang harus berkoordinasi dengan elemen SAR, dan kini ia ditemani dua Ranger dan beberapa porter yang menunggu proses evakuasi di tepi jalur pendakian. 

Dini hari semakin terang, terlihat corak merah fajar di arah timur. Dan saat Rania berjuang keras mengusir terpaan angin gunung, dari tempat yang tak seberapa jauh matanya menangkap sinar senter tim SAR yang berkelebat cepat mendekati posisinya. 

“itu mereka, Pak” Rania setengah berteriak. Dan kemudian seketika Ranger dan para porter bergerak menyongsong iring-iringan tandu evakuasi. Mereka bergantian menandu.

Di kegelapan malam mata Rania menangkap sosok Zweta yang bergerak cepat menyisir medan berpasir. Dan semakin lama sosok itu terlihat semakin  jelas, hingga Rania bisa mendengar suara teriakan yang memanggil namanya.

“Ran . . Audrey dan Emma ?” Zweta tiba didepannya dengan nafas terburu. Seluruh pakaiannya kotor terbalut debu, sementara Rania menatap Zweta dengan tatapan haru.

“mereka terus mendaki ke atas bersama rombongan lain,”
“Oh. Syukurlah,” Zweta menjatuhkan diri di tepi jalur pendakian. Ia kelelahan.
“kamu tak apa-apa, Ta ?” tatapan Rania menyapu Zweta keseluruhan.
“aku tak apa-apa,”
“pendaki itu ?”
“semoga tak apa-apa,” Zweta menjawab dengan tatap mata sedih. Lagi-lagi jemarinya menepis debu-debu yang menempel di jaketnya.

“kalian akan terus ke puncak ?” seorang Ranger tiba-tiba memecah percakapan Zweta dan Rania.
“Insya Allah, Pak.” Zweta menghela nafas panjang.
“baiklah kalau begitu . . terima kasih, Zweta, Rania. Sampai ketemu di bawah,” Ranger itu pamit sambil mengulurkan jabatan tangan. Dan kemudian ia bergegas mengikuti tandu evakuasi yang dengan cepat menuruni jalur pendakian.

“terima kasih, Ran”, Zweta menatap wajah Rania yang samar-samar diterangi cahaya rembulan.
“siapa mereka, Ta ? Aku mendengar dari HT kalau mereka pendaki dari Jogja,” Rania bertanya lembut penuh kesedihan.
“Fona dan Kakaknya, “
“ya Tuhan . . Fona,” Rania memekik tak percaya
“beruntunglah kamu melihat morse itu, Ran. Seandainya kamu terlambat sedikit saja, ceritanya akan lain,” Zweta menatap dalam-dalam wajah sahabatnya itu. Ia terpekur sedih.
“semoga mereka baik-baik saja, Ta”
“ya. semoga”

Fajar merah di langit timur semakin jelas. Jam menunjuk pukul 04.00. Hanya segelintir pendaki yang menjejakkan kaki di puncak Mahameru. Salah seorang bersujud, satu lagi terdiam, dua orang di antaranya terpaku takjub menatap kebesaran alam raya yang tergambar nyata di depan mata.

“Ran, fisik kamu masih fit ?”  Zweta bertanya lembut.
“insya Allah, Ta. Kenapa ?”
“kamu masih ingin menyaksikan sunrise di puncak ?”
“tentu. Kalau memang kita mampu menaklukkan puncak sebelum matahari terbit,”
“kalau begitu kita harus mendaki tempo cepat,“ Zweta menyarankan.
“tapi fisik kamu sudah habis, Ta”
“iya. Tapi kamu harus melihat sunrise itu, Ran .. cantik sekali,” Zweta tersenyum letih.
“dan lagipula ... sebenarnya di dalam hati aku sudah berjanji untuk mengantar kalian menyaksikan matahari terbit disana,”

“kalau memang fisik kita masih memungkinkan, ayo.” Rania setuju menganggukkan pelan. Hatinya dilingkupi keharuan.

Dan kemudian Rania bangkit serta mengulurkan tangan membantu Zweta berdiri. Perlahan namun  pasti kedua perempuan itu membelah sisa jalur pendakian. Gigir-gigir pasir dan gundukan-gundukan debu vulkanik berdiri angkuh di kanan-kiri “jalan menuju surga”. Samar-samar terlihat jejak pendaki yang jatuh bangun menaklukkan medan. Dan di sepanjang rute pendakian, terlihat beberapa longsoran kecil setelah ratusan kaki menapaki medan yang sama.

Di sepanjang perjalanan Zweta masih teringat Fona. Ia tak menduga jika sosok yang ditemuinya adalah Fona yang mendaki Mahameru bersama Kakaknya. Betapa lelaki itu terpukul dan melolong tak berdaya saat melihat adiknya tergeletak tak berdaya. Mengingat kedua bersaudara itu seolah mengingatkan dirinya dan Andro, Kakaknya, yang acapkali setia menyusulnya mendaki gunung ketika kesedihan menjajahnya.

Zweta dan Rania terus berjuang menapakkan kaki. Jalur pasir yang menghadang seolah tak berpengaruh dengan kecepatan mendakinya. Beberapa kali mereka menjumpai pendaki gunung yang bertumbangan di tengah jalur.  Pendaki itu terduduk letih tak berdaya, bahkan beberapa pendaki memilih kembali menuruni puncak pasir menuju basecamp di Arcopodo.

Sementara hawa dingin mencapai titik tertinggi. Dan angin gunung serasa mengamuk, Rania dan Zweta menggigil-gigil melawan tamparan angin.

Dengan tempo pendakian yang konstan terjaga, empat puluh limamenit kemudian mata mereka menangkap deretan panjang pendaki gunung yang berjuang menamatkan sisa jalur pendakian.

“Audrey dan Emma pasti hampir sampai, Ran.” mata Zweta menatap ke atas. Nafasnya terburu. Dilihatnya sinar senter pendaki satu persatu menghilang di titik tertinggi.

“semoga mereka baik-baik saja, Ta.” suara Rania menyirat khawatir
“selama mereka mengikuti jalur ini, mereka akan baik-baik saja,” Zweta menandaskan.

Sementara Audrey dan Emma dihadang keganasan Jalan menuju Surga. Nafas mereka terburu, punggung mereka bergerak cepat mengikuti tarikan nafas. Jalur angkuh itu seolah tak ada habisnya. Berkali kali Emma dan Audrey tergelincir jatuh bangun.

Emma menyeringai, hidungnya sedikit perih. Ia berkali-kali jemarinya menyeka hidung yang terus menerus berair. 

“rock kanan ! rock kanan !” tiba-tiba terdengar teriakan dari atas. Dan pendaki yang berada di bawahnya berteriak pula seperti reaksi berantai. Teriakan itu seketika membuat semuanya sigap. Beberapa pendaki yang berada di bawahnya menghindar dengan keluar dari jalur pendakian  dan melompat ke kiri. Sebuah bolder berdiameter limapuluh centimeter menggelinding cepat di sisi kanan. 

“Ya Tuhan . . sampai kapan, Em.” Audrey yang masih terkejut seolah tak tahan. Langkahnya semakin berat. Ia menjatuhkan tubuh di tepi jalur pendakian.

“Zweta dan Rania belum menyusul kita, Drey ?” Emma terengah-engah sambil memandang jalur pendakian di bawahnya.
“entahlah,” Audrey pasrah, untuk menjawab pertanyaan Emma ia harus mengumpulkan tenaga.
“masih lama, Drey ?”,
“aku nggak ngerti, Em” Audrey menjawab sekenanya.
“Drey . . kamu ke atas saja dulu ..   aku sudah tak tahan,” mata Emma terlihat redup. Ia terserang kelelahan yang luar biasa.
“nggak mungkin aku meninggalkan kamu, Em.” Audrey menyeka wajahnya yang dipenuhi debu. Sementara beberapa pendaki terus melintas mendahului mereka.

“istirahatlah sebentar, Em” Audrey pasrah menyaksikan kelopak mata Emma terkatup. Tipisnya oksigen serta terpaan angin dingin menangkupkan kesadaran setelah melawan keganasan medan.   

Hingga perlahan-lahan mata Audrey turut mengatup. Ia tak mampu menghadang kantuk.

Fajar di ufuk timur kian menampakkan cerat merah. Zweta dan Rania terus melesat menaklukkan medan dan rintangan alam yang menghadang. Ceruk-ceruk dangkal mereka lintasi, dan beberapa pendaki yang tercecer masih merebahkan diri di tepi jalur pendakian. Mental mereka retak, fisik mereka terkuras habis, dan kini jiwa mereka sepenuhnya dikuasai keganasan puncak Mahameru yang membekukan tubuh.

“Ran, sebentar lagi,” Zweta mengerih lelah. Kekuatannya tinggal sisa-sisa.
“kamu tak apa-apa, Ta ?” Rania menyeka peluh. Dilihatnya wajah Zweta memucat.
“tak apa-apa, Ran. Cuma kelelahan,”
“beristirahatlah dulu ..  jangan dipaksa,” paras Rania terlihat cemas.

Kini seperempat pendaki menjejakkan kaki di puncak Mahameru, sedangkan sisanya masih berjuang keras menaklukkan ganasnya rintangan yang menghadang. Kelopak mata Emma masih terkatup, Audrey pun masih terbang ke alam mimpi. Dan,

“Ya Tuhan .. Emma dan Audrey, Ta,“ Rania terpekik pelan saat menyaksikan Emma dan Audrey tertidur di tepi jalur pendakian, mereka berdua tercecer. 

“mereka terlampau letih, Ta” suara Rania sedikit serak.

“Emma . .  Audrey . . “ Rania menyentuh pelan membangunkan.
“mmmmhhh,” Emma perlahan tersadar, sedang Audrey tergagap.
“kenapa aku bisa tertidur, “ Audrey tak percaya. Bola matanya terbelalak. 

“kalian kelelehan,” Zweta menjawab lirih. Sementara Emma berusaha menggerakkan tangan dan kaki yang membeku kaku. Sekujur sendi tubuh terasa ngilu.

“Ta, aku sampai disini saja ya,” tubuh Emma sesekali bergetar menahan dingin. Wajahnya pucat kelelahan.

“dua ratus meter lagi kita sampai di puncak .. tak lebih dari limaratus langkah,” Zweta tersenyum lelah sambil menatap Emma.
“beneran ?” tatap mata Emma meminta kejujuran
“ya,”
“nggak ada acara bohong-bohongan lagi kan ?”, lagi-lagi Emma memastikan
“lihatlah,” Zweta menunjukkan peta posisi mereka di GPS trekking. Dan mata Emma seketika berbinar.
“lihatlah ke atas. Sinar senter itu menghilang setelah melewati gerbang batu. Itulah puncak Mahameru,” Zweta menambahkan.

“mau bergabung, Drey”  Rania mengerling nakal. Namun Audrey lebih memilih berhenti daripada melanjutkan pendakian.

“pantang bagi mushashi untuk mundur,” Rania kembali lagi mengerling nakal. Dan kini kata-kata Rania mampu menghimpun sisa-sisa semangat Audrey.
“Kamu benar, Ran. Pantang bagi seorang mushashi mundur, pantang  pula bagi Audrey untuk mundur,” Audrey mengucap bersemangat.

Dan ketika sang fajar hampir merekah, sebagian besar pendaki berhasil menjejakkan kaki di Puncak Mahameru. Namun keempat pendaki perempuan masih berjuang keras menapaki sisa keterjalan Jalan menuju Surga. Langkah mereka tertatih, sisa-sisa tenaga terkumpul menyisir jalur pendakian yang tak lagi panjang. Sementara langit pagi tersibak perlahan-lahan, lautan awan samar-samar mulai terlihat. Dan di ketinggian 3670 meter di atas permukaan air laut, mereka terus kukuh menapakkan pijak kaki. Hingga setelah dua belas kali kaki melangkah,

“ya, Tuhan ... terima kasih,” Rania menjatuhkan lutut. Emma dan Audrey menghempaskan tubuh. Mereka telah berhasil menjejakkan kaki di titik tertinggi. Puncak Mahameru.

“Ferischa Rania Putri,  Emma Destyarini, Ardinia Audrey Alisyahbani.. selamat !!“
Zweta menjabat tangan dan memeluk erat sahabatnya satu persatu. Dan kemudian mereka saling berpelukan satu sama lain. Entah kenapa buncahan emosi seketika menggelora. Kelopak mata Emma berembun.

“terima kasih Tuhan, terima kasih,“ mata Audrey berkaca-kaca. Ia tak kuat lagi menyembunyikan emosi. Seluruh kekuatannya sirna seketika. Dan matanya terpaku memandangi fajar merah yang menyibak kegelapan langit di Puncak Mahameru.


***

Posting Komentar

 
Top