0
sumber gambar : fotografer.net

Tiga puluh menit berselang, amukan badai belum reda, meskipun ledakan-ledakan guntur mulai berkurang. Bunyi angin yang menerobos ceruk-ceruk lembah, jurang, dan tebing –terdengar bergemuruh seperti deru kereta api. Beberapa pinus purba roboh terhempas. Pinus raksasa itu tumbang dan terperosok ke dalam jurang –tak jauh dari tempat Dita yang tengah terkulai menangis. Rekahan tebing amblas ke dasar jurang. Dita ngeri menyaksikan sisa retakan-retakan tanah yang menjalar kemana-mana. Tetapi, ah, kengerian itu tak lagi berarti bagi dirinya yang tengah terjebak antara hidup dan mati.
Rambut yang basah kusut lunglai di bahu Dita. Parasnya pucat. Tangan dan kakinya menggigil tak terkontrol. Tiba-tiba Dita bangkit dan berteriak sekencang-kencangnya. Dia serasa menantang amukan badai. Rongga dada Dita dipenuhi perlawanan. Gadis itu bertekad bertahan dan menyelamatkan Rheno.
Dita melepas simpul tali di batang perdu, dan mengikatkannya di batang pinus berdiamater 40 sentimeter –sejarak sepuluh meter di sisi kanan. Gadis itu berniat mengambil ranselnya yang tersangkut di segerombol perdu. Di dalam ransel itu terdapat tali yang akan digunakannya mengevakuasi Rheno.
Dita bergerak pelan, teramat hati-hati. Dita menuruni tali serupa laba-laba terluka. Setelah merayap, berayun, Dita berhasil mengambil ransel miliknya. Rasa sakit luar biasa membuat gadis itu mengerih menahan sakit. Sambil menggantung di tali, Dita mengambil tali di ransel dan menyambung ujung tali di kakinya hingga terjulur lebih panjang.
Di langit, gelayut mendung berangsur-angsur menyingkir. Guyuran hujan tak sederas sebelumnya. Bahkan di langit barat, sinar matahari menerobos mendung menyorotkan sinar lembut.
Melihat langit barat yang bermatahari, perasaan Dita campur aduk. Antara kesedihan dan nyaris putus asa, gadis itu menemukan secercah harapan atas redanya amukan badai. Tetapi, dirinya takut terlambat menyelamatkan Rheno. Tak lama lagi senja berganti malam.
“Tuhan, sekali ini kuminta padaMu, selamatkan Rheno .. kumohon. Kalau tidak ..” Dita berbisik dengan suara serak. Dadanya sesak. Tatap matanya memandang ke langit barat, ke arah senja.
“kalau tidak .. kalau tidak .. biarkan aku turut mati. Karena kalau pun harus mati di tempat ini, aku ikhlas, Tuhan,” Dita berucap dengan kelopak mata menghangat.          
Dita bergerak menuruni tali. Namun sesampainya di ujung tali terbawah,
“Tuhan, aku telah pasrah padaMu,” bisik Dita saat kedalaman jurang tak terjangkau juluran tali.   
“Rheno !! Rheno !!!” Dita berteriak kencang. Suaranya serak. Dita berteriak berkali-kali. Semakin Rheno tak menyahut, semakin kencang Dita berteriak.
“Rhen, aku datang, Sayang. Bertahanlah,” teriakan Dita berkali-kali memantul gema di dinding jurang. Dita berpikir keras tindakan yang akan dilakukannya.
Gugusan awan hitam perlahan-lahan berubah menjadi kelabu. Deraian hujan berubah rintik-rintik. Amukan badai telah berlalu. Kini tiba hawa dingin mencekat menyelimuti dataran tinggi sekitaran puncak Welirang.
Angin dingin yang menerpa tubuh Dita membuat sekujur tubuh serasa terendam cairan es. Sambil menggantung di tali, Dita melongok ke dasar jurang. Nampaklah warna gelap samar-samar. Dita berdoa semoga itulah dasar jurang yang akan dituju, di kisaran sepuluh meter di bawah posisinya yang menggantung. Dita mencoba berayun dengan harapan tubuhnya menempel erat di dinding jurang.  Dita mencari pegangan di batang-batang perdu yang banyak tumbuh di dinding jurang.
Dita kemudian bergeser posisi, mencari pegangan perdu yang dirasa kuat menahan berat tubuhnya. Tapi, batang-batang perdu di dinding jurang rata-rata hanya seukuran lengan tangan. Dita tak punya pilihan. Gadis itu cepat-cepat berpegangan di batang perdu dan melepas ikatan tali di tubuhnya.
Dita bergerak cepat menggeser pegangannya dari batang perdu  ke perdu lainnya.  Jemarinya sekuat mungkin mencengkeram –lantaran kulit perdu terasa licin akibat terbasahi air hujan. Batang-batang perdu itu bergemeretak dan melengkung menahan berat tubuh Dita. Tetapi –
‘Zrrrt ! ‘, “ AAHH !!”
‘BRRLL .. BRRGGH ! “
“Akhhh !”
Jemari Dita mencengkeram batang perdu yang dipenuhi lumut kayu. Dita meluncur jatuh setelah menghantam sangkutan-sangkutan perdu di bawahnya. Warna gelap samar-samar yang dilihatnya saat berayun di ujung tali adalah benar-benar dasar jurang. Dita terjatuh dari ketinggian 6 meter –dengan posisi ransel melindungi punggungnya dari hantaman.
Dada Dita berasa sempit sesak. Gadis itu mengerih-ngerih kesakitan. Selang dua puluh menit terlentang kehilangan tenaga, Dita akhirnya mampu menggerakkan tubuhnya dan berguling, merayap ke sisi dasar jurang yang lebih terbuka.
Dita menyandarkan punggung pada sebongkah batu besar, mengatur nafas. Tatap matanya menyapu sekeliling, mencari posisi Rheno. Tiba-tiba Dita melihat jaket warna merah teronggok 7 meter dari posisinya.
“Rhen .. Rheno .. aku datang, Sayang”
Tangis Dita pecah menyaksikan tubuhh kekasihnya terlentang di atas paparan tanah berbatu..
Dita merangkak mendekati Rheno. Menahan sakit luar biasa di punggungnya. Setiba di samping Rheno, tangis Dita kian menjadi. Diciuminya wajah Rheno, jemari Dita menyeka wajah Rheno dari gangguan hujan dan lentingan butiran pasir. Wajah Rheno pucat. Bibirnya bergetaran menahan sakit. Bahkan untuk sekedar berkata-kata, tenaga Rheno sepertinya tak ada. Lelehan air mata Rheno melukis ribuan emosi yang tertahan.
“aku .. aku akan menyelamatkanmu, Sayang,” Dita berbisik sambil mengusap air mata Rheno. “bertahanlah, kumohon, kita akan keluar dari tempat ini, segera,” Dita sesekali menyeka air mata di kelopak matanya.
Sementara terpaan udara dingin memenuhi ceruk-ceruk jurang. Cekungan-cekungan tebing serupa saluran angin yang mengalirkan hawa beku. Dita menggigil kedinginan. Rheno mengeluarkan rintihan panjang menyayat hati.
Dita menepis rasa sakit. Dia berupaya bangkit. Gadis itu berniat mencari jalan untuk mengevakuasi kekasihnya.
Dengan langkah tertatih-tatih Dita menyusuri jurang yang berbentuk memanjang. Dia berharap menemukan jalan pintas, ataupun jalan lingkar yang menghubungkannya dengan jalur resmi pendakian. Selang empat-puluh menit lamanya Dita berupaya menyusuri dasar jurang, tetapi upayanya kandas setelah menemukan ujung jurang berupa dinding tebing yang tegak vertikal.
Dita melangkah balik. Dia mencari jalan di sisi jurang lain. Namun, upaya yang dilakukannya lagi-lagi membentur dinding tebing yang tak mungkin dilewatinya menggunakan langkah kaki biasa. Jurang tempatnya terjebak nyata-nyata berbentuk ceruk, dan ceruk itu cukup dalam untuk menahan sinar matahari jatuh di dasar jurang. Dengan perasaan hancur, Dita kembali ke posisi Rheno. Jalan satu-satunya mengevakuasi Rheno adalah melalui jalur vertikal menggunakan tali, namun tali itu nyata-nyata tak tersedia.
Setelah gagal menemukan jalan mengevakuasi Rheno, Dita sadar jika tak ada yang bisa dilakukannya selain menemani Rheno –sambil berharap datangnya pertolongan. Berhadapan dengan ketidakberdayaan semacam ini membuat batin Dita terserpih-serpih.
“aku akan menemanimu .. aku akan menemanimu ..” jemari tangan Dita membelai lembut paras Rheno. Dikecupnya kening Rheno penuh cinta.
Kabut-kabut putih melayang rendah, seakan larut dalam duka. Sesekali ledakan guntur menggema dipantul tebing. Tiba-tiba hujan yang sebelumnya reda muncul kembali. Angin mengamuk. Kelopak bunga cantigi yang masih muda jatuh berguguran.
Dita mendongak ke langit, menaksir cuaca. Sesaat kemudian Dita membuat shelter flying-sheet di atas tubuh Rheno. Dasar jurang, angin, badai, dan hujan –tak lagi menggentarkan Dita, gadis itu bertekad tak akan meninggalkan Rheno, apapun yang terjadi.

Deraian hujan semakin deras. Guntur meledak berkali-kali. Cepat atau lambat cuaca semakin buruk. Memilih bertahan di tempat ini sama halnya menanti mati. Dita memilih berbaring di sisi Rheno. Memeluk dan membelai paras kekasihnya yang diganggu percikan hujan.

Posting Komentar

 
Top