0


Pondok Pendaki Ranupane, 2000 m DPL
15 Agustus
07.00 PM

Berpuluh tenda pendaki tersebar di banyak tempat. Dan nyala lentera serupa kunang-kunang yang diam tak bergerak. Statis, tenang, sementara suara-suara gurauan terdengar sayup-sayup tertiup angin gunung.

Hingga pukul tujuh malam, mobil hardtop terus berdatangan mengangkut para pendaki. Mereka terus berdatangan dari tiga pintu pendakian. Dari Tumpang-Malang, dari arah Probolinggo-Pasuruan yang melewati Jemplang, serta dari jalur Senduro-Lumajang. Mayoritas pendaki yang baru tiba memilih bermalam di Ranupane, namun ada pula yang langsung berangkat mendaki walau kepekatan malam menyembunyikan jalur pendakian.

Zweta memutuskan bermalam di Pondok Pendaki, sebuah bangunan semi permanen yang diperuntukkan bagi pendaki yang bermalam di Ranupane. Letaknya sekitar 200 meter dari pos Balai dan berada di tanah lapang yang cukup tinggi. Mereka bisa memandangi Danau Ranupane dan juga bukit yang mengitari desa. Setiba di Ranupane, Rania, Audrey, dan Emma mulai merasakan dinginnya hawa Ranupane. Apalagi ternyata dinginnya air di Ranupane sedingin es yang baru saja mencapai titik cair. Dingin, beku, terasa menyengat jari jemari.

Kini tubuh mereka terbungkus rapat jaket gunung dan peralatan anti dingin lainnya. Sarung tangan, kaos kaki, topi rajutan, dan juga balaclava. Emma dan Zweta berada di dalam pondok, sedangkan Audrey dan Rania menyiapkan makan malam di pelataran.

“rrramai di luar, Ta ?” Emma bergetaran menahan dingin. Sleeping bag menyelimuti tubuhnya rapat-rapat,  ia merebahkan diri di atas matras. Tas ransel yang berukuran besar menopang kepalanya.

“ramai, banyak yang mangkal di warung Pak Gareng. Adajuga yang jual kue gorengan. Mau kubelikan ?”
“nggak usah, Ta. Perutku tak enak,” wajah Emma sedikit pucat.
“pusing juga ?”
“sedikit sih, perutku juga mual,”
“nggak demam, kan ?” Zweta menyentuhkan punggung tangannya di dahi Emma.

“istirahat saja dulu. Kamu kena gejala mountain sickness. Butuh aklimatisasi,”
“tapi nggak pa-pa kan, Ta ?” Wajah Emma khawatir.
“nggak pa-pa, tenang saja  . . bentar lagi juga hilang. Kuambilkan minuman hangat,“ Zweta perlahan bangkit dan berjalan keluar pondok.

Kepala Emma sedikit pening, demikian juga dengan perutnya yang mual ingin muntah. Hal ini biasa terjadi bagi pendaki yang baru pertama kali naik gunung. Ia butuh beradaptasi dengan lingkungan yang berubah ekstrim.


Sementara bibir Audrey bergetar kedinginan, demikian juga dengan Rania. Mereka melawan dingin sambil menyeduh minuman penghangat, kopi-susu. 

“Ran, Emma bikinkan susu. Dia pusing dan mual,” 

“Emma kenapa, Ta ?” Audrey bertanya memastikan.
“gejala mountain sickness. Dia butuh beradaptasi,”
“kebetulan susunya baru siap. Dan sebentar lagi kita makan malam,” Rania sekilas menatap Zweta. Tangannya membuka tutup nesting yang telah dipenuhi uap kondensasi.

“syukurlah kalau begitu,“

Di puncak bebukitan, angin gunung terus berhembus. Menggoyang pelan pinus-cemara dan kemudian menuruni lereng-lereng lembah yang tak curam. Nampaklah dari cahaya bulan yang berpendaran menerangi permukaan danau Ranupane, jamahan lembut sang angin melinangkan riak-riak kecil yang bergerak anggun ketepian. Begitu indah, begitu eksotik. Apalagi ketika bayangan rembulan yang jatuh di atas danau bergoyang anggun menasbihkan keindahan. Ah, malam di Ranupane adalah malam yang tak biasa.

Ranupane di bulan agustus adalah kampung yang tak pernah tertidur, terlebih menjelang hari-hari peringatan kemerdekaan. Hingga malam ini, puluhan pendaki terus berdatangan ke Ranupane. Mereka yang baru saja tiba segera menurunkan ransel yang masih terikat di atas kap hardtop. 

***

Sosok perempuan muda berjalan mendekat. Ia mengenakan jaket tebal, tangannya pun terbungkus rapat sarung tangan. Melihat kedatangan perempuan itu, Zweta tersenyum menyambutnya.

“hai,”
senyum perempuan itu mengembang, bola matanya berbinar. Audrey dan Rania yang sedang menyiapkan makan malam tersita perhatiannya.

“kenalin, aku Fona.” perempuan itu mengulurkan tangan.
“Zweta, dan ini rombonganku, Rania dan Audrey,”
 “Rania”, “Fona”
“Audrey”, “Fona”
Bergantian mereka bersalaman. 

“rombongan dari mana ?” Zweta bertanya ramah.
“dari Jogja,” perempuan itu tersenyum manis. Ia ternyata seumuran Karin.
“wah jauh juga dari Jogja, berapa orang ?” Rania menimpali

“cuman berdua sama Kakak. Tapi Ayah berencana menyusul kemari. Mungkin besok baru sampai,” lagi-lagi Fona tersenyum ramah.


“Tenda kamu yang mana, Fon ?” Audrey mengakrabkan diri.
“tuh di samping, yang warna merah,” Fona menunjuk tenda dome di ujung pelataran. Di depannya duduk seorang lelaki seumuran Zweta. Ia terlihat memasak sesuatu.

Akhirnya Fona bergabung dan duduk mendekap kaki di samping Zweta. 

“kalian cuma bertiga ?”
“kita berempat, Fon. Cuma Emma, kawan kita satunya sedang nggak enak badan. Dia di dalam pondok,” Rania menjelaskan.
“sakit ?”
“sedikit pening dan mual, proses adaptasi,” jawab Zweta singkat.
 “Teh hangat, Fon” potong Audrey sambil mengulurkan secangkir teh yang baru dibuatnya
“wah, kok jadi ngrepotin gini, terima kasih banget ..” Fona tertawa kecil sambil menyambut uluran tangan Audrey.

Sambil sesekali menyeduh teh hangat, mereka kemudian bercengkrama dibawah keremangan cahaya lampu minyak. Ternyata Fona dan kakaknya baru pertama kali mendaki Mahameru.

 Tak lama kemudian makan malam telah siap. Rania memisahkan roti-keju dan coklat susu untuk Emma. Ia juga menyiapkan nasi liwet dengan lauk corned dicampur mie instan.

“Fon, makan malam bareng kita ya ..” Rania menawarkan. 
“terima kasih, Ran. Tapi Kakak sepertinya sudah menyiapkan makan malam juga . .  ntar malah sayang kalo nggak dimakan,“ Fona tersenyum simpul.

Tak lama kemudian, Fona pun undur diri setelah terdengar suara lelaki memanggil namanya. Ia balik ke tenda setelah menghabiskan segelas teh hangat bikinan Audrey. 


Setelah makan malam, Emma langsung tertidur. Kepala yang pening ditambah hawa yang dingin membuat Emma sedikit tersiksa. Untunglah kehangatan coklat-susu dan roti keju membuatnya kenyang. Ia telah terbang ke alam mimpi.  Dan setelahnya,  Zweta, Rania, dan Audrey duduk melingkar mengitari kompor parafin. Mereka berupaya menghangatkan diri sambil membuka telapak tangan meregangkan jari-jemari.  

Sementara malam makin hening. Angin gunung bertiup pelan. Sesekali terdengar lolongan anjing gunung cuon alpinus meliuk panjang.  Suaranya terdengar menyayat dari rimba belantara Mahameru. Di ujung yang tak jauh masih terdengar sayup-sayup suara gurauan pendaki gunung. Mereka tertawa, terkikik, dan menghabiskan malam yang tak biasa. Menikmati saat-saat paling eksotis, bercengkrama di alam bebas sambil menikmati sinar rembulan dan kelip indah bintang-gemintang. 

“Ran, Drey, kalian beristirahatlah dulu. Besok kita menempuh perjalanan panjang,”
“kamu nggak istirahat juga ?”, Rania menimpali sambil bersiap bangkit, sementara Audrey memang kelelahan setelah seharian menempuh perjalanan.

“sebentar lagi aku menyusul kalian,” tatap mata Zweta bertemu tatap mata Rania. Dan tak lama kemudian Audrey dan Rania memasuki pondok pendaki.

Zweta masih bersila menghadap api. Jari jemarinya terbuka menangkap radiasi, sementara tatap matanya jauh menyentuhi rasi bintang Orion di ekuator langit. Sejenak ia tersenyum saat memandang cahaya masing-masing bintang.

“Bellatrix, Betelgeuse, Rigel,“ Zweta lamat-lamat terpukau memandang masing-masing bintang yang seolah menyapanya. Dan seketika ia teringat saat kecil dulu, saat Mamanya seringkali mengajaknya mengenali bintang dan rasi-rasinya yang tertebar di langit malam.

Sesaat setelah Orion membuka kenangannya, perlahan-lahan Zweta mulai terseret memasuki masa lalu yang lebih jauh. Ia teringat saat Ranupane memukau dirinya pertama kali, ia teringat saat memandangi linang Danau Ranupane di kala senja, dan ia mengingat ketika dirinya menggelayut erat di punggung Papanya. Tak terasa kejadian itu hampir lima belas tahun yang lalu. Ia dituntun manja saat melintas di depan pos pendakian. Dan ia pun teringat ketika menari centil di depan pos pendakian sehingga para polisi hutan tertawa gemas. Ia tersenyum haru mengingat semuanya.

Tetapi saat ini Zweta lebih tenang. Kegelisahan yang dulu ada kini telah mengendap. Baginya yang tersisa hanyalah kenangan indah. Dan ia menggeleng pelan ketika bola matanya mulai berkaca-kaca.

“Tuhaaaan,” Zweta berseloroh panjang. Hatinya berdesir lembut.
“terima kasih,”

Sementara malam makin dingin. Kabut-kabut turun di Ranupane, bayangan rembulan menari pelan di linang-linang permukaan Danau.


***
Ranupane 2000 M dpl
15 Agustus,
05.18

Langit sangat cerah. Disisi selatan, nampak puncak putih Mahameru mengepulkan debu-debu vulkanik. Debu-debu Mahameru terkepul membentuk cendawan kecil yang perlahan-lahan membumbung makin tinggi. Dan beberapa saat kemudian debu-debu itu memencar tersapu angin.

Hari masih pagi, aroma kesegaran Causarina Junghunia, sang cemara gunung mulai tercium. Namun sang matahari masih belum menampakkan wajahnya walau seluruh cakupan lazuardi telah terang benderang. Ranupane pagi ini masih sepi. Kebanyakan para pendaki masih lelap terbuai dingin. Hanya terlihat beberapa pendaki tengah bersibuk mengepak tenda dan perlengkapan. Mereka memilih berangkat pagi-pagi mumpung jalur pendakian masih sepi.

Emma sudah terbangun, dan ia pun telah pulih setelah mengalami gejala mountain sickness. Kiniperempuan itu berdiri di luar pondok pendaki menikmati kesegaran alam Ranupane. Segarnya aroma yang ditabur pepohonan cemara membuatnya bergairah. Apalagi ketika dilihatnya Rania, Audrey, dan Zweta sedang duduk-duduk sambil menyeduh teh hangat.. 

“teh kamu, Em” 
“duuhh .. dingiin banngeet sih, Raaan, “ tubuh Emma bergetar saat tangannya meraih segelas teh hangat yang diulurkan Rania.
“sebentar lagi sunrise, Em” Zweta meregangkan jemari tangan.
“wahhhh... Ranupane makiin cantiiik yaa,” hati Emma bernyanyi melihat keindahan Ranupane di kala pagi. Ia menghirup udara dalam-dalam.

Tak lama kemudian sang matahari terbit tepat di atas bukit yang melingkupi Danau Ranupane. Sinarnya yang lembut seakan memiliki tangan-tangan panjang yang membelai bebukitan dan pepohonan, kemudian belai cahaya itu pun terpantul memerah di atas linang air yang tenang. Begitu damai, begitu indah, begitu eksotik. Sinar matahari yang menghangatkan Ranupane kemudian menemani mereka berkemas. Ya, setelah menyeduh teh hangat dan sarapan ringan, mereka bersiap melanjutkan perjalanan.

“nggak ada yang ketinggalan ?”
“sudah semua, Ta”,” sudah lengkap,” Rania dan Audrey menjawab hampir bersamaan.
“oke deh .. kita berdoa,”

Tangan –tangan mereka kemudian berikatan tertumpu di tengah membentuk lingkaran.

“berdoa mulai,”
Kali ini wajah mereka khusuk tertunduk. Mereka berdoa memanjatkan pengharapan agar keselamatan dan rahmat Tuhan menaungi dari awal hingga akhir perjalanan. Berdoa agar sepanjang perjalanan mereka mendapatkan makna dan pemahaman yang dicari. 

“selesai,” Zweta lembut mengakhiri
“amin”, “amin” Rania dan Emma berbisik nyaris bersamaan.


“Em, kamu berada di tengah, Rania biar di depan,” Zweta mencoba mengatur pergerakan. 
“persediaan air sudah cukup, Ta ?” Audrey memotong seakan khawatir.
“Kita cuma berjalan empat jam untuk sampai di sumber air terdekat, Drey. Jadi tenang saja,” jawab Zweta singkat.
“yuk ! jalan !” Rania bersiap melangkah setelah ranselnya menggelayut di punggung. 
“Fona belum berangkat ?” tanya Audrey keheranan ketika melintasi pelataran pondok pendaki
“mungkin siang dikit, Drey”  Rania menimpali singkat

Dengan ransel yang nampak penuh mereka berjalan beriringan satu sama lain. Menyusuri jalanan  memanjang di ujung desa Ranupane, melewati beberapa pendaki yang diantaranya sedang sibuk berkemas. Semakin bergerak menjauhi kampung, semakin terlihat hamparan kebun-kebun sayuran. Kebun-kebun itu menghampar di tengah lembah landai yang dilingkari jajaran bukit, sedangkan beberapa gubug beratap ilalang berdiri menyembul di antara jajaran tanaman sayur yang berbaris lurus sempurna. Menyaksikan keeksotisan Ranupane semakin menambah kedamaian di hati para pendaki. Suasana tenteram, sejahtera, teduh, dan juga sederhana apa adanya.

Mereka terus melangkah hingga kemudian jalan setapak berangsur membelok ke kanan. Jalur pendakian itu mulai menyisir lereng kecil namun masih landai tak terjal. Tak lama kemudian, mereka mulai memasuki kawasan hutan yang tak rapat, melewati setapak jalan yang di kanan kiri dipenuhi sesemakan dan perdu-perdu, hingga kemudian kebun-kebun sayuran penduduk Ranupane lenyap menghilang tertutupi kerimbunan.

Sementara sinar matahari yang jatuh terhalang pepohonan. Keteduhan dan kerindangan hutan melindungi mereka dari terik yang menyengat. 

Beban ransel membuat nafas terengah-engah. Beberapa kali mereka beristirahat menghela nafas. Ada kalanya beberapa rombongan pendaki melintas mendahului mereka sambil melontarkan sapaan ramah. Namun suatu ketika, mereka pun mendahului rombongan pendaki yang sedang beristirahat melepas letih.

Setelah 45 menit menyusuri jalan setapak, mereka mulai memasuki kawasan bernama Landengan Dowo.

“huhhhh .. berhenti dulu !” Emma terengah-engah dan kemudian duduk di atas batu berukuran cukup besar. Beban berat di punggungnya seakan sengaja dilemparkan. Wajah Emma memerah kegerahan. 
“jalurnya lurus, Em. Tak menanjak,” Audrey juga kegerahan, tapi masih cukup kuat melanjutkan.
“tak peduli, pokoknya aku pengen istirahat,” Emma menyeka peluh di kening. 
“oke deh, istirahat dulu, jangan dipaksa,” Rania menengahi. Akhirnya mereka sepakat beristirahat.
“gimana, Em ?” Zweta tersenyum simpul menyaksikan Emma dikuasai keletihan.
“capek, Ta. Masih lama nyampe puncak ?”
“yee, belum juga separuh, Neng” Audrey menimpali.
“yaaahhh, masih lama dong,” Emma mengeluh panjang
“sudahlah .. yang penting kita berjalan terus, ntar juga pasti nyampe”
“yup !” Rania cepat-cepat mengomentari kalimat Zweta.
“nggak ada ojek kah ?”
“ ada”
“nah ! naik itu aja !” Emma berbinar menimpali sahutan Audrey
“tapi yang nyetir monyet ! mau ?”
“aaahhh, bercanda terus sih kamu Drey, nggak lihat orang kesel apa !”
“yang bercanda itu kamu, Em. Lagian di gunung mana ada ojek,”
“ya sapa tahu aja ada orang yang jeli melihat peluang pasar .. kan pendakinya rame juga, jalannya juga cukup lebar,” Emma membela diri sambil wajahnya menyeringai menahan capek.
“udah cukup istirahatnya ? yuk jalan lagi !”
“lima menit lagi deh, Ran  ..” Emma menawar.
“oke-oke lima menit lagi,” Rania tersenyum manis sambil memandangi hamparan hutan di bukit seberang.

Lima menit kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Menyusuri Landengan Dowo yang merupakan jalan setapak landai namun memanjang seakan tak berujung. Ada kalanya jalur pendakian memanjang lurus, namun ada kalanya berkelok-kelok mengitari bebukitan yang dipenuhi pepohonan. Dengan rimbunnya pepohonan yang teduh menaung sepanjang jalan, terik mentari seakan tertepis, para pendaki pun terlindung. Di ujung jauh sisi kiri jalur pendakian, nampaklah gugusan bukit-bukit yang tertutupi belantara lebat. Gugusan bukit-bukit itu terpisah oleh jurang yang lebar dan dalam, membentuk gundukan-gundukan raksasa yang acapkali mengeluarkan suara eksotik penghuninya. Ya. suara gaduh monyet sesekali terdengar berkeriak, belum lagi kicau dan koak burung yang terus menerus hingar bersahut-sahutan. Ah, belantara Taman Nasional Bromo Tengger Semeru menasbihkan pengaguman. Mata mereka kagum menyaksikan pepohonan yang saling berlomba-lomba meninggikan pucuknya. Di dahan-dahan tertinggi, menyebar tetumbuhan anggrek liat yang menjulur berurai-urai, sementara tumbuhan lumut dan paku menyelendangi kulit pepohonan hingga turut menambah kepekatan rimba belantara.

“Drey, jangan cepat-cepat !!!” teriak Emma yang berjarak 15 meter di belakang Audrey.

Namun  Audrey malah melangkah semakin cepat. Teriak Emma hanya disahuti gemerasak ransel ketika bergesekan dengan perdu-perdu di tepi kanan jalan setapak.

“duhh, gimana sih ..” Emma protes
“biarin aja, Em. Sebentar lagi juga berhenti,” Zweta menimpali. Sementara Rania tak peduli, ia kegerahan dan menyeka kening berkali-kali.

 “YA TUHAN !!!!”
Audrey mendadak berhenti dan memekik keras.

“kenapa, Drey !!” Emma pucat seketika, ia segera berlari menyusul Audrey.

“kita hampir sampai di Waturejeng, Ran. Audrey mungkin melihat tebingnya,” Zweta memilih beristirahat dan menyandarkan punggung di batang pohon.
“Danau yang kamu ceritakan masih jauh, Ta” Rania bertanya sambil mengatur nafas.
“Ntar juga nyampe,”

Keindahan Waturejeng benar-benar mengagumkan. Sebuah tebing batu tegak menjulang dan membentuk sudut 90 derajat. Terlihat warna asli batu tanpa tertutupi tumbuhan. Tebing itu melebar sebagai sisi bukit yang lain. Tebing batu itu mengesankan kalau bukit itu sengaja dibelah.

Dari tempat Audrey terpaku menyaksikan keindahan Waturejeng, jalur pendakian terlihat memutar menyisiri punggung bukit di sisi kanan sementara gigiran jurang menganga di sisi kiri. Jalur pendakian terlihat memanjang, namun kemudian menghilang di kelebatan hutan yang tumbuh lebat di kaki tebing. Nampak beberapa pendaki berjuang keras meniti jalur sambil memanggul ransel di punggung, sementara beberapa porter bergerak lincah menyusulnya padahal mereka membawa beban yang teramat berat untuk ukuran pendaki normal. 

Audrey, Emma, Rania, dan Zweta berhenti sebentar saja di tempat itu. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan meniti jalur yang menyisiri punggung bukit di depannya.  Kaki-kaki terayun lincah, namun mereka harus berhati-hati menjaga keseimbangan. Mereka terus berjalan hingga nyaris sampai di kaki tebing, tepatnya di sebuah jembatan kayu yang menghubungkan jalur terputus akibat longsoran sisi bukit sebelah kanan. Hingga tak lama kemudian, mereka pun sampai di kaki Waturejeng yang ternaungi kelebatan dedaunan dan dahan-dahan pepohonan. 

“kalian mau lanjut atau beristirahat ?” Zweta meneriaki Audrey dan Emma yang mendahului lima belas meter di depan.
“lanjut, Ta !” Audrey menyahut. Sementara Emma tak peduli.

Namun tiba-tiba,

Krrsskkk !

“minggir, Em !” Rania setengah berteriak.

“ya Tuhan !” Emma memalingkan muka dan memejam mata. Ia tak percaya. Demikian juga dengan Audrey yang berada paling depan, tapi Audrey segera menyingkir ke tepi jalur.

Emma seketika shock. Mata Emma menangkap pemandangan yang mengerikan. Serombongan tandu SAR mengusung sosok pendaki yang terbungkus rapat sleeping bag. Sosok itu diam tak bergerak. Pendaki itu digotong menggunakan bambu, sedangkan tubuhnya di selongsongkan ke dalam sarung yang berfungsi sebagai alat penandu pula.

“Emma !” Rania setengah berlari sambil memanggil Emma yang masih dibayangi kengerian. Zweta pun bergegas menyusul.

Setiba di samping Emma, Rania segera menarik minggir Emma sambil memeluknya. Mereka memberi jalan iringan tandu dengan menyingkir ke tepi jalur pendakian.

Beberapa anggota tim SAR dan penandu melintasi mereka. Dan selanjutnya muncul pula tiga kawan pendaki  yang bergegas menyusul. Wajah mereka menegang. langkah mereka seperti dikejar setan.

“dia kenapa, Mas ?” Zweta bertanya singkat. Wajahnya berduka.
“hypothermia,” lelaki itu memperlambat jalan sambil memandang Zweta seksama. Dan selanjutnya ia pun mengejar iringan tandu yang mengusung kawannya.

Tebakan Zweta benar. Telah terjadi kecelakaan gunung yang bisa berakibat fatal. Dan kini ia berjalan mendekati Emma yang masih memejamkan mata di pelukan Rania.

“Emma,“ Zweta menyentuh pelan lengan Emma.
“pendaki itu masih tertolong, Em” Rania menambahkan dan berusaha menenangkan Emma.
“aku takuut . . Raan,“ Emma mulai membuka matanya.
“Insya Allah takkan terjadi apa-apa, Em.” Rania kembali menenangkan.
“Emma, ayo . . “ Audrey yang sudah berada di depan kembali menghampiri Emma. 
“kita semua pasti saling menjaga,” Zweta tersenyum teduh.
“yuk,” Audrey mencoba meyakinkan.

Pemandangan tadi sempat membuat Emma shock. Namun kini Emma berusaha tegar, dan senyumnya tersungging lagi penuh gairah. Apalagi ketika diceritakan kalau mereka tak lama lagi akan sampai pos pendakian selanjutnya.

***

“Drey, hajar tanjakannya !” Zweta tertawa kecil melihat Audrey ternganga melihat tanjakan yang berdiri angkuh di depannya.
“gila !” Audrey menggeleng.

Memang benar, Audrey tak percaya melihat track terjal dengan kemiringan 45 derajat. Dan bukan cuma itu, sepanjang jalur dipenuhi debu yang pasti terkepul kalau terinjak kaki.

“pake masker dulu, Em !” Audrey setengah berteriak ketika Emma menyusulnya sekitar tujuh meter di belakang.
“apa, Drey ? maskara ?!! yang bener !!” Emma terkejut. Kedua alisnya bertemu
“masker hidung, Non. Memangnya mau kondangan !” Audrey tertawa lepas. 
“O . . masker, bilang dong !  kirain maskara,” Emma tergelak setelah menyadari dirinya kehilangan kontrol pendengaran.

Terkecuali Zweta, seluruhnya telah memakai masker penutup. Dan kini Audrey serta Emma mulai menapak pelan di punggung terjal. Selangkah dua langkah, nafas mereka terdengus. Ransel yang cukup berat menekan punggung sehingga nafas terasa sesak. Debu-debu terkepul, mata mereka memicing sipit.

“separuh nyawaaa !!! “ Audrey mengeluh dan merebahkan diri di sesemakan. Nafasnya terdengus cepat, ia tak kuat lagi. Hanya lima belas langkah yang mampu ia langkahkan. Selebihnya ia butuh mengatur nafas ulang dan merebahkan punggung di tepi jalur.

10 meter di bawah Audrey, Emma juga demikian. Matanya menyirat kelelahan dan keletihan. Tetapi pengalaman yang dijalaninya kali ini hampir pasti tak akan dilupakannya sepanjang hidup. Ia merayap, ia berpegangan dengan semak-semak yang merimbun di sekitar jalur pendakian. Dan Emma mulai menikmati perjalanannya sebagai pendaki gunung.

Rania masih berdiri di kaki tanjakan. Ia menunggu debu-debu mengendap lagi setelah terkepul oleh pijak kaki Emma.

“Cuma lima belas menit, Ran. Nggak lama,” Zweta memberi semangat. Sementara senyum Rania tersembunyi di dalam masker.

Rania perlahan-lahan mulai menapakkan kaki. Pelan namun pasti, langkah kakinya berjuang menjajal keterjalan tanjakan penuh debu. Tarikan nafasnya cepat, sesekali tubuhnya limbung menahan beban ransel. Ia berpegangan di rimbun perdu dan sesemakan.


Zweta yang masih berdiri di kaki tanjakan tersenyum penuh menyaksikan Emma dan Audrey menghilang di balik rimbun sesemakan. Ia kemudian melepas triangular bandage yang sedari tadi dikalungkan di leher. Dan kini kain segitiga itu dipasangnya menutupi bagian wajah dari hidung hingga ke bawah.
 
“Tuhan, kuatkan aku . . “ hati Zweta berbisik ketika kaki pertamanya menapak tanjakan berdebu. Pijak kakinya kokoh, nafasnya terhembus pelan dan teratur. Beban berat yang menggantung di pundaknya tergoyang kanan-dan kiri. Dan ia terus menapak tak berhenti.

Seolah saja kaki Zweta makin ringan, ia melaju dan hampir menyusul Rania yang sedang berhenti mengatur nafas.

“ayo, Ran !!” terlihat di puncak tanjakan yang dirimbuni pepohonan tinggi, Audrey  berteriak memberi semangat. Sedang Emma di sampingnya kelelahan dan menyandarkan punggung di batang pohon, ia kehausan. Sebotol air mineral dikeluarkan. Emma tak peduli lagi dengan seluruh tata cara keanggunan. Ia menenggak air mineral dengan mengangkat botol tinggi-tinggi di atas bibirnya.

“Ran, ayo” Zweta mengulurkan tangan menarik Rania. Dan kemudian keduanya terus menapak hingga sampai di puncak.

“minum, Ran” Emma Emma menyodorkan air mineral ketika Rania telah sampai dan menyandarkan punggung di sampingnya.

“makasih, Em. Huhhh !! haus buanget  !!”

 “bagaimana, puas ?” Zweta melepas triangular bandage. Ia pun mengatur nafas. 
“puas ?!!! puas apanya ??!!! separuh nyawa, Ta !!!” Audrey tertawa kecil dan memandang rambut mayangnya yang dihinggapi banyak debu. Ia terkesiap sejenak.
“aduh-aduh,“ Audrey menggeleng tak percaya. Namun lagi-lagi ia tertawa menyaksikan pipi Rania dan kening Emma dihiasi debu. 

“Danaunya masih jauh, Ta ?” Emma serasa tak sabar.
“tiga jam lagi,” Zweta menjawab seenaknya tanpa memandang mereka.
“loh ! katanya bentar lagi !”
“iya bentar lagi ! tiga jam kan sebentar !!” suara Zweta ketus menanggapi.

“jangan bohong kamu, Ta ! kamu tadi bilangnya nggak sampe.. ”
“kalau bohong terus kenapa ?” potong Zweta
“protes ?!! tak terima ?!!” lanjut Zweta seenaknya.

 Emma tak percaya. Ingin rasanya ia balik pulang mendengar jawaban Zweta.

“Ta ! jangan main-main !” emosi Audrey mulai naik mendengar jawaban Zweta. 
“ya sudah ! dibilangi nggak percaya !! mau balik ?!!”
“kalau mau balik, balik saja sendiri !” lanjut Zweta menantang
 
“Ta, beneran masih tiga jam lagi ?” Rania memandang Zweta tulus. Ia ingin jawaban jujur.

“yaaa .. bisa tiga jam, bisa juga lebih. Kalau kalian jalannya merambat seperti keong kepanasan bisa-bisa kita kemaleman di jalan,” 


Emma heran, demikian juga dengan Audrey dan Rania. Tiba-tiba saja Zweta menjelma menjadi makhluk menyebalkan.

Emosi menyelimuti hati masing-masing. Perjalanan menjadi kaku tak menyenangkan.

“Em, kalau kamu memilih lanjut ! kamu di depan !”
Intonasi suara Zweta yang meninggi membuat Emma terperangah.

“aku masih capek, Ta” tukas Emma memelas. 
“ntar malah lebih cape kalaukamu banyak istirahat. Kamu mau kemaleman di jalan ?!!”, bantah Zweta hingga terdengar mirip bentakan.

“Ta,” Rania lembut memandang Zweta, tapi ia tak kuasa mengucap sesuatu. 

“menyebalkan,” umpat Emma sambil sambil mengangkat ransel. 

Zweta masih tak bereaksi. Ia sekilas saja menyongsong tatap mata Audrey yang menghakiminya. Sementara Rania membuang muka.

“buruan, Drey. Susul Emma ! ntar kamu yang tanggung jawab kalau ada apa-apa !” Zweta main perintah seenaknya.

Dengan perasaan jengkel Audrey bangkit menyusul Emma. Matanya menantang. Ia tak terima Zweta memperlakukan Emma seenaknya.

“kamu memang menyebalkan, Ta” Audrey cepat melangkah menyusul Emma.  Rania memandang Zweta tak mengerti.

“sekarang kamu, Ran” Zweta berkata sambil menenggak air mineral. Ia sengaja tak memandang Rania.
“Ta, kamu kenapa ?” Rania bertanya lembut.
“buruan susul Audrey. Aku lagi pengen sendiri,” suara Zweta mulai melembut.
“Ta,”
“buruan Ran !” suara Zweta meninggi lagi

Bibir Rania terkatup, ia ingin mengucap sesuatu namun urung mengucapkannya. Rania langsung bangkit dan bergegas menyusul Audrey. Ia menduga Zweta sedang dalam masalah.

Sambil berjalan cepat, Emma setengah mati menahan jengkel. Wajahnya memerah, tangannya sesekali merampas daun perdu di pinggir jalan. Sementara ketika menoleh ke belakang, Audrey tepat lima meter menyusulnya. Jalur yang panjang dan datar membuat kaki mereka berjalan makin cepat. mereka menyisiri bukit dan mulai menemui vegetasi ilalang setinggi dada. Namun sesekali mereka pun harus melompati tumbangan kayu yang merintangi jalan.

Mereka terus melangkah cepat. Tangan-tangan mereka menyentuhi ilalang, dan tak lama kemudian jalan setapak berangsur membelok ke kanan, sementara di ujung kiri mulai nampak gugusan bukit yang tak jauh.

“YA AMPUUUUUN, DREEEEY !!“ teriak Emma dengan suara bergetar. Ia berdiri di tengah jalan dan memutar tubuhnya ke belakang. 
“Zweta, Drey !! Zweta !!” emosi Emma tak lagi terbendung. 
“kenapa, Em ??!!” Audrey bergegas menyusul hingga ranselnya berlompatan. Dan setiba di samping Emma,

“Danau itu, Drey ! Danau itu !!“ Emma menunjuk cekungan besar di depannya.
 “Zweta benar-benar minta dihajar, Em”

Audrey terpana, Emma terpana, mereka saling berpandangan. Sementara Rania yang baru tiba nampak kaget, wajah ayunya berseri. Ia kemudian menggeleng pelan mengingat kelakuan Zweta barusan.

Perasaan pun berkecamuk tak berbentuk. Marah, sedih, takjub, jengkel dan kekaguman bercampur berpilinan satu sama lain. Audrey kemudian melangkah. Sedang Rania memegang lengan Emma dan menariknya untuk terus maju. Mereka terpana. Mereka takjub. Dan mereka pun akhirnya jatuh terduduk di tepi jalur pendakian untuk mengendapkan emosinya masing-masing.

Sementara kabut-kabut tercerai berai dihempas angin. Memencar-mencar, terurai seperti anyaman kapas yang dirobek-robek lalu dihamburkan ke segala arah.

Perjalanan panjang yang mereka lalui seketika terangkum indah. Terguncang-guncang di atas hardtop, kecantikan linang danau Ranupane, Landengan Dowo, hingga tebing tegak Waturejeng. Namun sepertinya mereka lebih terpukau menyaksikan semua yang kini terbentang di depannya. Hingga tak lama kemudian, muncullah sosok perempuan yang menyungging senyum nakal luar biasa.

“hai kalian ! kenapa masih disini ?!! lelah ???!! mending pulang dan tidur daripada kelayapan di hutan belantara !!!” Zweta dengan kurang ajarnya berteriak galak. Ia selanjutnya tertawa puas tak terkira.

Namun Emma dan Audrey masih jengkel dengan ulah Zweta. Mereka pun mematung.

“duuhhh . .  anak manis . . ayo ! mau berpetualang lagi nggak ?” Zweta mencubit pipi Audrey.

Seketika Emma tersenyum lepas, demikian pula dengan Audrey yang matanya berbinar bahagia.

“sekali lagi berulah .. kuhajar kamu, Ta” Audrey mengeluarkan ancamannya. Namun entah mengapa senyum Zweta kian lebar mendengarnya.
“atau ...”
“atau apa ?” tantang Zweta ketus
“adakah yang lebih indah dari ini semua, Ta ? kamu harus mengajakku kesana,”
“pasti, Drey. pasti.” Zweta mengangguk dan tersenyum penuh.

“Ran,” Zweta kemudian mengulurkan tangan membantu Rania bangkit.
“terima kasih, Ta” Rania seketika bangkit setelah menaut tangan Zweta.
“untuk ?”
 “untuk Ranukumbolo,” jawab  Rania sambil tersenyum manis.


Emma, Audrey, dan Rania mempercepat langkah. Mereka terus menapak menyusuri jalur pendakian yang mulai menurun ke arah danau.

Di belakang mereka, Zweta berdiri sambil memejam mata, kedua tangannya terbentang lebar-lebar. Ia merasakan angin gunung berhembus pelan membelai helai rambutnya, menyentuhi tangan dan menciumi wajahnya. Telinga Zweta berusaha menangkap berisiknya tarian ilalang ketika terusik angin, mendengar nyanyian merdu pucuk-pucuk cemara di punggung bukit. Ah, suara-suara itu bagai sebuah adagio harmoni yang melantunkan puji-pujian keindahan. Zweta rindu semua ini, dan ia mereguk hawa kebebasan saat menatap Danau Ranukumbolo beserta gugusan bukit yang mengelilinginya.

Danau Ranukumbolo semakin dekat. Dua pohon cemara-gunung di sisi kiri jalur pendakian telah terlewati. Dan di depan mereka, sebatang Edelweiss Anaphalis longifolia merekahkan bunganya. 

Serupa surga yang dihamparkan di atas bumi, begitulah para pendaki menyebut Ranukumbolo. Danau yang melinang tenang dikelilingi gugusan bukit, kabut-kabut yang berjalan rendah, pepohonan tua yang tumbang dan menjorok ke tengah danau, padang rumput yang menghampar di tengah himpitan bukit. Ah, inilah yang menyebabkan   Emma kemudian berlari hingga ranselnya berguncangan. Ia ingin menyentuh air dengan tangannya,  menciduknya, membasuh wajahnya. Ia sedemikian gembira.

Pepohonan cemara tertebar mengelilingi danau. Dahan-dahannya yang tinggi menjadi sanggahan “anggrek galur murni” menggapai sinar matahari. Diantara anggrek galur murni yang berukuran cukup besar, nampak pula anggrek mini berwarna merah terang yang sedang merekahkan bunganya. Eksotis sekali.


Zweta perlahan menuruni jalan setapak. Dilihatnya dari kejauhan, Audrey, Rania, dan Emma tertawa riang setiba di tepi danau. 

Tuhan, terima kasih,
 Zweta terharu menyaksikannya.

Sementara angin gunung bertiup lirih dari padang Pangonan Alit, sebuah padang yang dikelilingi lembah dan tebing-tebing tinggi di sisi barat Ranukumbolo. 

Terima kasih Tuhan, Kau berikan aku karunia melihat keindahanMu,
hati Rania bergetar pelan.

Banyak sudah pendaki tiba di Ranukumbolo. Dome dan tenda berjajar-jajar beraneka warna, membentuk puluhan cungkup serupa payung cendawan yang tertebar indah di tepi danau.

Beberapa pendaki memilih merebahkan diri di atas matras, ada pula yang duduk-duduk di atas tumbangan pohon sambil menyeruput kopi, banyak pula yang bersila di atas tanah sambil bertelekan dedaunan cemara kering. Mereka tak jemu memandangi Ranukumbolo, serupa sang pecinta yang terpesona ketika pertama kali jatuh cinta.

Selanjutnya mereka menyisir jalan setapak di tepi danau. Hingga limabelas menit kemudian, sampailah mereka di tanah lapang yang berjarak 100 meter dari shelter Ranukumbolo, sebuah bangunan semi permanen yang merupakan satu-satunya pondok pendaki di kawasan ini. 

Zweta melepas ransel. Ia duduk di atas pohon tumbang dan mengeluarkan perbekalan.

“Hai setan gunung !! ketemu lagi ! hehehehehe ”
Suara tawa terkekeh mirip orang bengek mengantar Zweta menilik sosok tubuh yang tiba-tiba berdiri di sebelahnya.
“eh siapa ya . .”, Zweta terheran. Ia mencoba mengingat.
“masa lupa,“ lelaki itu tersenyum lebar. Namun Zweta masih mengernyit.
“kita ketemuan di Panderman,”
“Oh. aku ingat. Tanjakan Setan ! ” Zweta mulai menemukan serpih ingatan
“siippp ...”
“rombongannya masih lengkap ?” Zweta  bertanya
“masih”
“si ceking ngikut ?”
“ngikut . . “
“hahahaha .. nggak kapok dia ?” Zweta tertawa keras hingga air matanya nyaris keluar.

Sementara Zweta berbincang dengan kawan pendakinya, Emma membuka matras dan kemudian duduk meluruskan kaki. Tatap matanya menyapu lembut linang-linang tenang Ranukumbolo.

“kita masak apa, Drey ?” Rania menawari Audrey yang sedang duduk di atas tumbangan pohon. Namun sepertinya Audrey tak fokus dengan pertanyaan Rania. Konsentrasinya teralihkan benda mungil berwarna coklat yang mengapung di tengah danau.

“apaan sih, Drey ?” Rania penasaran dengan sesuatu yang menarik perhatian Audrey. Ia pun ingin tahu.
“ada bebek kecil, Ran. Tuh,” Audrey menjawab cepat. Ia menunjuk gerombolan binatang serupa bebek kecil yang berenang santai di tengah danau. Burung belibis-anas superciliosa. Burung-burung belibis itu seakan berdiam tenang di tengah danau. Mereka bermain.


“Drey, aku masak seperti kemarin,” Rania meminta pertimbangan.
“terserah kamu, aku ngikut,” Audrey menjawab tak peduli. Ia masih terpesona menyaksikan sekawanan belibis yang mengibaskan bulunya cepat-cepat setelah mencelupkan kepalanya ke dalam air.

“Ta, kita membuka tenda disini  ?” Audrey menoleh sambil berteriak.
“nggak, Drey. Kita berangkat sekitar pukul satu seperempat,”  Zweta membalas teriakan Audrey.
“duh . . kita kan baru nyampe. Mending bermalam saja, Ta” Emma bangkit dari matras. Ia sayang melepaskan suasana eksotis yang kini memanja dirinya.

“tenang Em, nanti setelah turun, kita habiskan satu malam di Ranukumbolo. Perjalanan kita masih panjang, masih banyak yang harus dijelajahi,” 
“beneran ?”
“tentu,” Zweta menjawab dengan anggukan.

Sementara nampak dari kejauhan beberapa pendaki mulai berangkat menapaki bukit terjal. 

“tanjakan cinta itu mana, Ta ?” Rania bertanya penasaran
“tanjakan cinta ?” Emma malah baru pertama kali mendengar kata-kata itu. Tatap matanya meminta penjelasan.

“itu tuh yang namanya Tanjakan Cinta,“ Zweta menunjuk jalur setapak yang perlahan-lahan menanjak dan berujung di puncak bukit. Terlihat beberapa pendaki terengah-engah menapaki punggungnya. Sedangkan dari arah berlawanan, nampak pula serombongan pendaki yang turun gunung.

“kenapa dinamakan tanjakan cinta ?” Emma penasaran.
“entahlah, Em. Aku sendiri tak faham. Cuma ada mitos yang berkembang di kalangan pendaki gunung, kalau kamu bisa menapaki Tanjakan Cinta tanpa berhenti di tengahnya, cintamu akan abadi,”
“kamu percaya ?” Emma bertanya antusias.
“nggak, Em. Aku memilih nggak percaya,” Zweta tersenyum nakal. Sementara Emma mencerna korelasi logis antara cinta dan sebuah tanjakan.
“tapi logis juga kalau mengandaikan cinta itu sebuah tanjakan, Em. Siapa yang kukuh memperjuangkan cinta, dia pasti menaklukkannya,” Zweta melanjutkan sambil memandang keterjalan tanjakan.

Emma memandang kagum para pendaki yang bertemu di tengah tanjakan. Mereka bertemu dan bersalaman satu sama lain, perbincangan mereka nampak seru. 

Sementara kabut yang turun rendah tercerai berai di atas Bukit Kumbolo, yaitu jajaran bukit yang mengelilingi Danau Ranukumbolo.

“Ran, kau lihat Pak Tua itu ?” Zweta menunjuk sosok lelaki berambut putih yang sedang termenung di depan tenda. Raut wajahnya tegas, tubuhnya terlihat masih kokoh dan tegap untuk  ukuran lelaki seusianya.
“siapa dia, Ta ?”
“dia lelaki yang kuceritakan di atas hardtop kemarin. Mungkin dia sedang berniat menuntaskan pendakiannya yang ke limapuluh satu,” Zweta tersenyum ketika menjelaskan.
“lima puluh satu ??!!” Emma terhenyak.
“iya. Yang ke-limapuluh satu,”
 “gila !” Emma tak percaya mendengar penjelasan Zweta tentang lelaki tua itu. Lagipula, tak pernah terbersik dalam pikirannya ada manusia se-edan itu. Mendaki sebuah gunung hingga mencapai repetisi sebanyak limapuluh kali. 

 “Ta, sebenarnya apa sih yang ada di pikiran orang-orang seperti itu ? aku tak habis pikir,” Rania bertanya keheranan. Tatap matanya masih memandang sosok pendaki tua yang kini tersenyum ke arah mereka.

“aku juga nggak ngerti, Ran”
“yang jelas setiap bulan agustus, di tempat ini kamu bisa menemui petualang eksentrik sekaligus manusia yang sedikit bergeser dari sumbu porosnya, lain dari yang lain.” lanjut Zweta sambil membalas senyuman lelaki tua itu. Mereka berdua nampak telah mengenal satu sama lain.

“aku sempat menjumpai dua pendaki tua yang nekat merayap di tepi jurang karena jalur pendakian terputus longsor, padahal kamu tahu Ran, di bawah mereka menganga jurang ratusan meter dalamnya. Saat itu tali temali tak berfungsi karena tak ada pohon ataupun media pengait di areal pasir vulkanik,” Zweta melanjutkan cerita

 
“kenapa sampe sebegitunya, Ta”
“entahlah, mungkin adrenalin yang menuntunnya,”  Zweta menjawab sambil tertawa kecil.

“di bulan agustus di tahun 2005, aku malah menjumpai pendaki termuda yang menjejakkan kaki di Mahameru, dia masih berumur 7 tahun.”

Emma dan Rania terus menyimak cerita Zweta, sementara Audrey masih asik menikmati keeksotisan Ranukumbolo. Rupa-rupanya sekawanan belibis di tengah danau membangkitkan kepukauannya.

“ketika lelaki kecil bersama Papanya berjuang menapaki keangkuhan puncak pasir vulkanik, ratusan pendaki lain termasuk aku sedang menuruni puncak. Jadilah kami berpapasan di jalur pendakian,”
“Akhirnya kami yang memang berderet memanjang menariknya bergantian sehingga pendaki kecil itu melesat meninggalkan Papanya yang masih terengah-engah menghadapi medan pendakian,” bola mata Zweta berbinar ketika bercerita. Ada pantik kecil yang menghubungkan kenangan itu dengan Papanya.  

“dan kamu tahu Em, hal yang paling mengharukan ?” Zweta bertanya seakan membuat penasaran.
“ratusan pendaki gunung yang menuruni puncak memberikan aplaus penghormatan, mereka bertepuk tangan.”

“keren, Ta” Rania berkomentar.  Emma pun mengangguk.

“lain kali, aku sempat berbarengan dengan suami-istri pendaki dari Perancis. Mereka kemari membawa serta kedua putrinya. Yang tertua berumur 12 tahun, satunya lagi berumur 9 tahun. Mereka mendaki dipimpin seorang guide taman nasional, sedangkan di belakang mereka dua orang porter bergerak cepat memanggul logistik pendakian,”

“ketika mereka sampai di sini, di Ranukumbolo, ternyata pendaki perancis itu sempat mengenali Pak Tua itu. Kalian tahu mereka pernah ketemu dimana ?” lagi-lagi Zweta melempar pertanyaan sambil tersenyum.

“i met him when climbing Uhuru ten tears ago, Pendaki Perancis  bilang begitu kepadaku,”
Uhuru ? “ ,“Uhuru dimana, Ta ?” pertanyaan Emma dan Rania nyaris bersamaan.
Uhuru itu puncak Kilimanjaro di Tanzania, titik tertinggi di benua Afrika,”
“hahh ?! “, “gila !!!”
Spontan Emma menoleh lagi ke arah lelaki tua itu. Ia pun tak habis pikir.

“mendaki bersama pendaki perancis sangat mengesankan bagiku, Ran. Ternyata mereka berdua vulkanolog yang memang hobi mendaki. Hampir lima benua telah mereka jelajahi, dan ketika datang ke Mahameru, mereka mengajak kedua putrinya untuk mengenalkan keeksotikan gunung berapi di jajaran ring of firekepulauan Indonesia, ”

“tujuan pertama mereka melakukan observasi gunung Anak Krakatau, kemudian ke gunung Merapi sebagai salah satu gunung berapi teraktif di dunia. Setelah dari Merapi mereka ke Mahameru, dan setelah dari sini, mereka melanjutkan perjalanan ke Gunung Rinjani dan Tambora di pulau Bima. Kalian tahu kan, Tambora pernah menggegerkan dunia dengan letusannya yang mahadahsyat hingga mengubur tiga kerajaan dan sekaligus menciptakan tahun tanpa musim panas.”
“Gunung yang semula diperkirakan setinggi 4300 meter meledak hingga menciptakan kaldera berdiameter 6 kilometer dengan kedalaman satu kilometer lebih, setelah letusan itu, tinggi Tambora menjadi 2850 meter di atas permukaan air laut. Bayangkan, berapa juta kubik material berdentaman melompat-lompat ke angkasa,”

“mungkin vulkanolog Perancis itu tertarik dengannya, Ta.” 
“ya, pasti, tapi di samping itu, mereka memang orang-orang eksentrik,” Zweta tersenyum menandaskan.

“kapan pertama kali kamu kemari, Ta ?” tiba-tiba Emma terusik penasaran

Namun pertanyaan itu tak seketika dijawab Zweta. Perempuan itu sesaat tersita masa lalu. “pertama kali kulihat danau ini limabelas tahun lalu, Em, saat berumur empat tahun. Kami sekeluarga bertenda disana,” suara Zweta seakan tercekat. Matanya kemudian menerawang jauh sambil menunjuk tanah lapang di tepi danau yang ternaungi kerindangan cemara-gunung.
“kalau menjejakkan kaki di puncak Mahameru ...  itu saat umurku 13 tahun. Aku kemari bersama Kakak,”

“Papa dan Mamanu salah satu dari mereka yang eksentrik, Ta” celetuk Rania spontan.

Namun Zweta tak menimpali komentar Rania, ia hanya sekilas saja memandang Rania sambil tersenyum sedih.

Zweta pun kemudian berjalan menemui pendaki tua itu.


***

Posting Komentar

 
Top