0
© Stephen Gjertson, The Cafe Singer

Café Umbrella 23.50 wib.

Duduk serius di sofa cafe, sosok lelaki coklat berkaca mata terlihat tegang menahan nafas. Kode-kode digital dimasukkannya melalui tiap abjad keyboard, jari jemarinya sedemikian lincah menari. Gurat wajah lelaki itu menyirat kalau dirinya sedang berpikir keras, seluruh indranya berkonsentrasi memecahkan kepelikan yang terpampang di layar monitor, sambil tatap matanya tertuju dan bergerak pelan mengikuti nalar otak yang terus berproses. Lelaki coklat itu semakin tak menunjukkan ekpresi, bahkan berkedip pun  mengambil jeda waktu yang cukup lama.

Lalu lalang pengunjung cafe tak mampu membuat dirinya membedakan sepi dan ramai, termasuk suara tawa bercampur umpatan yang datang dari kiri-kanan. Ia semakin larut dengan kode dan syntaxbahasa pemrograman yang mengalir sesuai isi kepala. Berkali-kali terdengar tekanan jari di atas keyboard mengeluarkan bunyi ritmis, bunyi itu terdengar bagai dentik hujan yang jatuh cepat di genting-genting.

Sedari pukul 20.00, ia duduk tenang di atas sofa cafe Umbrella. Selama itu pula dirinya larut memasuki suasana yang diciptakannya sendiri. Kalaupun bangkit dari tempat duduk, ia hanya beranjak ke kamar kecil ataupun memesan softdrink untuk membasahi tenggorakannya yang mengering. Sementara alunan musik jazz slow yang lembut memanja tak kuasa mempengaruhi bilik nada hatinya.

“ups !” sesekali suara lirihnya mengeluarkan ekspresi terkejut. Jari-jarinya semakin cepat mengetik seakan diburu waktu.
pstt !! access denied !” ia mengusap wajahnya seperti yang sudah-sudah. Kacamata yang terasa berat digesernya sesekali sehingga tumpuan di hidung terasa lebih nyaman.
“ini yang terakhir,”  ia bergeram dalam hati. Telah ratusan cara ia coba, namun kode-kode yang disusun otaknya tak mampu mengikuti kata hatinya.
“sialaaaan, gagal lagi”, ia seakan bicara dengan dirinya yang berkepribadian ganda. Ketika umpatan terlontar, seketika kesepuluh jarinya menari lincah di atas keyboard. Ya. lelaki coklat itu semakin larut dalam emosi bercampur penasaran. Wajahnya berpikir kuat, serupa manusia letih yang dipaksa mencari jarum di antara tumpukan jerami.

catch you !!! yes ! gol !” ia menekan papan keyboard lebih keras hingga terdengar bunyi gemeletak. Tangannya terkepal dan membumbung tinggi persis seperti jawara meraih kemenangan.  “Aaahhh Yessss ..,” Damar berseloroh lirih.

Senyum natural Damar seketika tersungging. Ditenggaknya softdrinkyang tinggal setengah, dan ia pun menarik nafas dengan lega. Telah habis 8 botol softdrink malam ini, namun sunggingan senyum yang ia tunggu telah datang. Inilah senyum kemenangan yang dirasanya bagai senyum sang jenderal ketika menaklukkan medanpertempuran.


Messenger yang sedari tadi berderet di taskbar masih menyala kekuningan dan berkedip pelan, dicarinya identitas “Paman Gembul”, sosok yang selama ini menjadi kawan akrab di dunia maya, dan ia cukup kesulitan mencari karena di depan layar monitor terpampang cascadebanyak program yang masih berjalan. Sementara Damar terus mengekalkan senyum kemenangan. Ya. Senyum sang jenderal penakluk kala menapakkan kaki di daerah bekas kekuasaan musuh.

Mercusuar                               : Gimana, Man.udah gol ?
Paman gembul                        : gua lagi buntu nih ! back-nya lumayan kuat.
Mercusuar                               : lu coba masuk lewat kloning kode yang gua bikin. Gua barusan berhasil.
Paman gembul                        :yahhh elu  .. ngapain nggak dari tadi ...   Cepetan lu kirim!!!.
Mercusuar                               : hahaha !! oke .. oke ...confirmed.

Ia klik lagi program yang sedari tadi terbuka. Senyumnya terus tersungging persis orang kerasukan. Jari-jarinya mengetik semakin cepat, bahkan nyaris tanpa kesalahan. Dari seluruh kode yang diketiknya tadi, ia copy-kan ke dalam file dan kemudian di-attach lewat messenger.
todaycracker.txt
1 file sent to Paman Gembul

Ah, malam yang makin larut mulai menasbihkan lelah di tubuh Damar, sang lelaki coklat. Rasa puas yang membuncah seakan telah terpenuh, dan kini ia merasakan antiklimaks dari seluruh pertarungan yang dilakukannya. Ia menyandarkan kepala di sandaran sofa yang empuk. Angannya  terbang, namun ia masih tak sadar jika gelapnya malam telah mengganti hari. Hingga kemudian ketika musik Jazz slow berhenti, lelaki coklat itu mulai menarikan jari sambil sorot matanya menyirat kelelahan. Dicarinya tab kuning dengan ID Paman Gembul
Mercusuar                               : Man ! gua off dulu. Cukup sudah bekal buat minggu ini.
Paman gembul                        : oke deh. Ilmu teluh gua juga sudah mulai jalan. Backnya sudah tak berkutik, sebentar lagi pertahanan mereka pasti persis ayam sakit. Kayaknya benar kalo tuh gawang butuh lu kencingin dulu, maklum banyak kemenyan dan jampi-jampi. Thanks file nya
Mercusuar                               : wakakakak. Dasar gembul ! masih percaya klenik !
Paman Gembul                       : eh beneran ! thanks. Besok gua udah bisa bobo pulas !
Mercusuar                               : oke deh, gut lak, en selamat molor. Jangan lupa bagi-bagi sama anak yatim plus fakir miskin !
Paman gembul                        : bisa aja lu !!!  sejak kapan lu jadi persis Robinhood ?
Mercusuar                               : Yahh telaat ! gua anak ideologisnya.  Udah deh ! Gua  out dulu !!
Paman gembul                        : Yoai! dipersilahken ...

00.35 AM.
Mercusuar has signed out

Lelaki coklat seketika menenggak softdrinkyang masih tersisa. Ia merasakan adrenalin dalam komposisi tertentu telah membawanya kukuh mencapai sesuatu. Dilihatnya jam digital di layar laptop telah menunjuk pukul 00.36. Ia matikan semua program yang sedari tadi melarutkan perasaan dan menghanyutkan pikirannya.

Hiruk pikuk manusia dan laptop yang terpejam perlahan-lahan mengeluarkannya dari sangkar dunia maya. Kode-kode dan bahasa perangkat lunak ia tinggalkan tidur di dalam laptop, dan kini ia berusaha menanggalkan alam maya yang masih meninggalkan sisa suasana. Damar menoleh kiri-kanan tanpa maksud. Dicarinya suasana khas manusia yang sedari tadi menguap sejak ia duduk di sofa cafe. Sementara laptop berlogo “buah apel tergigit” itu ia rapikan dan kemudian dimasukkannya ke dalam tas punggung.

Jam dinding cafe masih terus berdetak, musik jazz tergantikan live akustik. Petikan gitar yang menyentuh mampu mengembalikan Damar sepenuhnya. Dan penyanyi perempuan yang berada di atas stage, menggerakkan kepalanya perlahan, ya -penyanyi itu mengikuti petikan gitarnya yang sempurna. Lagu Leaving on the Jetplane  merdu terdengar dari penyanyi cafe yang bersuara mirip Chantal Kreviazuk. Dan Damar mengikuti lirik lagu dengan lirih.
im leaving on the jetplane . . . don’t know when i’ll be back again. O Babe, I hate to go”,  ia lamat-lamat mengikuti reffrain lagu itu.

Chantal,” bisik Damar dalam hati. Ia kemudian menyandarkan kepala melepas lelah. Ia terhanyut dalam suasana yang membuatnya rileks, dan  ia kagum dengan suara penyanyi yang sedemikian pas menirukan aksen penyanyi Chantal Kreviazuk.

Tiba-tiba terbit ketertarikan yang membimbingnya mencari pemilik suara indah itu, namun dari tempat duduknya, ia tak punya akses pandang yang bagus ke arah stage. Ia pun mengurungkan niat.

Suasana café masih tetap ramai walau detak waktu mengganti hari. Dan Damar bersiap angkat kaki setelah lagu ini selesai, begitu niatnya dalam hati. Lagu yang didengarnya serasa membuat hidupnya lebih hidup, dan ia pun menikmati sepenuhnya suara merdu yang menuntun batinnya kembali ke alam nyata. Dengan suara serak parau tak indah, Ia masih lamat-lamat mengikuti lirik lagu.

“now the time has come to leave you ...  one more time then let me kiss you ..and close your eyes and i’ll be on my way ..  ” suara penyanyi dan suara Damar berhimpitan ketika ditangkap telinganya. Dan ia terus mengikuti lirik lagu hingga selesai.

Dan setelah terdengar tepuk tangan yang tak riuh dari pengunjung cafe, ia pun meraih tas punggung dan segera bangkit dari sofa.

“terima kasih,” lembut kata-kata penyanyi itu mengakhiri performanya. Dan ia pun beranjak dari tempatnya menyanyi,

Kembali kesadaran ganjil menuntun ketertarikan Damar mengetahui pemilik suara yang mirip Chantal itu. Namun ia hanya mampu menangkap sosok tubuh yang terpotret matanya dari belakang. Dilihatnya sang penyanyi memakai blus putih berpadu warna biru. Ia pun mengurungkan niat.

“sepertinya gua kenal,” Damar berusaha mengingat, namun kelelahan yang menderanya seakan tak ingin berkompromi. Hingga akhirnya ia memilih beranjak menuju wastavel dan membasuh muka terlebih dulu sebelum meninggalkan cafe Umbrella
***

“Damar,”  panggilan perempuan yang berdiri di depan Damar membangkitkan kesadaran.
“Emma,” Damar berusaha menyembunyikan keterkejutan.
“sudah lama disini ?”
“baru 4 jam lebih sedikit”, Damar nyengir sambil menggaruk kepalanya yang berambut tipis.
“gila.  empat jam ??!!! dari tadi aku nggak ngeliat kamu. Udah mau balik ?“ Emma bertanya antusias. Mata perempuan itu masih bersinar dan jauh dari kantuk.
“Ya Em, gua capek banget,“ Damar kembali tertawa kecil. Sirat wajahnya menampakkan lelah yang sangat.
“Kamu sering kemari ?”
“Sesekali doang. Memanfaakan koneksi internet gratis, hehehe.“ lelaki coklat itu terkekeh.
“lu udah lama disini ?” Damar bertanya cepat
“baru juga setengah jam,” Emma menjawab santai
“iya tapi udah malem, Em. Nggak baik buat cewek,” Damar tersenyum ringan  
“wah jender amat kalimat kamu”,
“aku kansama kawan-kawan. Tuh,“ Emma menunjuk gerombolan kawannya yang tak satupun dikenal Damar.
“oke deh kalau gitu, gua cabut dulu,”
“nggak gabung ?” Emma menawari Damar sambil menggerakkan alisnya
“lain kali aja. Gua lagi capek,” Damar menjawab sambil tersenyum
“oke  deh kalo gitu” Emma menanggapinya ramah.

Damar kemudian berlalu, namun tatap mata Emma terus mengantar lelaki tinggi dan berkulit coklat itu meninggalkan cafe. Sementara kawan-kawan yang sedari tadi ditinggalkan memanggil namanya sambil melambaikan tangan.

Tit tiiitt  Tit tiit.
Emma meraih ponsel dari saku celana.
1 message in inbox

Dipencetnya tombol OK dan seketika senyum Emma mengembang.

Sorry lupa. Gua cm mau nanya, sjk kpn Chantal Kreviazuk nyanyi di Cafe ? he 7x. Btw, suara lu indah, Em. Tq.
***

Setiba di kamar kost, Damar dihinggapi kegelisahan. Ia terus mencoba memejamkan mata, namun raganya tak bersedia mengikuti kehendak otaknya.

“ada apa gerangan,” Damar mencoba menerka sambil memandangi langit-langit kamar.
“ah, mungkin gua terlalu banyak pikiran,“ Ia menjawab sendiri kegelisahannya

Ruangan kamar seluas 4 x 4 m2 terasa cukup longgar untuk seorang Damar. Dibiarkannya dinding kamar bersih tanpa poster dan gambar, sementara penghias tembok hanyalah kalender universitas yang tergantung sedikit miring. Sejak pertama kali menempati kamar ini, tak banyak peralatan yang ia bawa, dan ia memang merasa tak memerlukan banyak peralatan. Ia hanya butuh kawan dekat yang selalu jujur dan tak banyak tingkah, dan si laptop telah memenuhi semua hasratnya. Tak nampak gambaran seorang mahasiswa di tempat ini –seandainya saja meja belajar yang berdiri kesepian di pojok kamar tak menumpu buku-bukunya.   

“ah, rasa-rasanya ada yang salah,” Damar mencoba menelisik akar kegundahannya. Tangannya kemudian bergerak dan memutar tombol tuning hingga ia menemukan frekuensi radio yang memutar tembang lawas tak bersemangat. Terdengar suara penyiar radio mengatakan jam menunjuk pukul 01.30. Suara penyiar itu terdengar mirip penderita sakit pilek menahun.

Akhirnya setelah mendengar beberapa tembang lawas di radio, mata yang sedari tadi tak mau berkompromi perlahan-lahan mulai mengatup. Damar tak menunggu lama terbang ke alam mimpi yang luas tak berbatas. Seluruh memori tergambar dan tersambung berikatan. Dan begitulah dalam mimpi, gambar yang didapat tak mesti logis dan wajib benar.

Benak paling dalam menyambung ingatan film ARMAGEDDON, sebuah film yang menceritakan jaman nyaris kiamat yang pernah ia tonton bersama kakaknya semasa SMP. Ya. Kiamat yang tak jadi akibat keberanian para “tukang bor minyak” lepas pantai. Mereka mendapat misi kemanusiaan untuk menanam bom nuklir tepat di tengah asteroid yang memilliki garis edar berhimpit bumi, dan kemudian meledakkannya dengan kalkulasi numerik superteliti.Atau kalau tidak, seluruh kehidupan di muka bumi hancur lebur dan musnah seketika lantaran tertabrak asteroid.

Alam mimpi menjadikan Damar salah seorang pahlawan yang berangkat menjalankan misi kemanusiaan. Namun anehnya, salah satu kru kunci alias Ben Affleck kala itu dinyatakan gagal dan tak memenuhi persyaratan karena didiagnosa menderita diare akut setelah mencret-mencret semalaman. Bruce Willis yang sejak awal menaruh rasa tak suka kepada si Ben akhirnya menjadikan Damar andalan utama dalam misi. Dan Damar kini memegang posisi teramat vital, ia didapuk sebagai ahli numerik yang mampu merumuskan kode dan mengontrol seluruh perangkat komputer di pesawat space shuttle berjuluk Endeavor.

Ya. Seluruh bangsa di dunia memasang mata dan mengelu-elukan para pahlawan yang berangkat menuju JFK Space Centerdi Cape Canaveral Pulau Merrit Florida. Baju-baju orange termasuk Damar, berjalan gagah namun santai serempak. Helm astronot ditentengnya persis pengendara motor terkena tilang namun tak bawa uang.

Sementara di ujung landasan, seketika Damar terhenyak melihat sosok perempuan di ujung yang tak jauh. Adaperempuan berbaju batik “motif mawar” mendiam tak bersuara. Bahasa yang mewakili perasaannya hanyalah air mata yang meleleh. Mata yang teduh, hidung yang indah, dan bibir merah yang mengatup tak penuh, alahmak ! cantiknya.
“My Liv,” Damar membatin dalam hati.
Ia pandangi perempuan itu tanpa berkedip. Segudang perasaan berkecamuk membuat dirinya enggan berpisah.

Damar perlahan mendekat dan meraih tangan Liv. Dengan gentle diusapnya lelehan air mata perempuan itu menggunakan punggung jemari, namun perempuan itu seakan larut bersedih hingga tak mampu bersuara. Liv kemudian meraih kedua telapak tangan Damar dan kemudian dilekatkannya ke pipi. Lelehan air mata perempuan itu semakin deras namun tak mengisak sedikitpun. Ia diamuk kesedihan yang memukul jiwanya.

Damar tertegun ketika keteduhan mata Liv menyapu wajahnya, dan tiba-tiba Damar ingat sesuatu. Ya, ia merogoh saku celana astronotnya yang sedikit kedodoran, ia ingin mengambil sesuatu. Benda yang kini dipegangnya adalah “Saputangan bapuncu ampat” yang ia beli di Pasar Senen sebelum masuk kuliah. Ya –ia  ingat itu. Memang itulah nama saputangan yang diteriakkan pedagang Pasar Senen sehingga ia tertarik membelinya.

“Liv,  jangan menangis”,  Damar berkata sambil memberikan saputangan kesayangannya.
“tidak Bang, Liv hanya sedih. Berjanjilah untuk kembali ke bumi,” mata perempuan itu masih mengalirkan air mata.
“gua pasti kembali, Liv. Dan gua berjanji untuk itu. Sekembalinya nanti dari langit, kita beli kerak telor kesukaanmu di Pekan Raya Jakarta,”  begitulah suara Damar lirih berbicara. Kata-kata terakhir yang semestinya akan ia sesali setelah berada di dalam space shuttle. Kata-kata kacangan tak bermutu, dan memang seharusnya ada kalimat paling romantis yang keluar dari bibirnya. Namun mendengar kata-kata perpisahan Damar yang apa adanya, Liv seketika menguntai senyum, manis sekali. Matanya berbinar berkilau sinar.

“Woi ! cabut ! dasar kebelet kawin !” Bruce Willis berteriak sambil mengangkat lengan kanannya. Ia memberi kode untuk segera berangkat.
“dasar kampretttt  ! ngrusak suasana aje !”, umpat Damar dalam hati. Anehnya Liv tak mempedulikan Bruce Willis, perempuan itu tak ingin melewatkan detik-detik terakhir keberangkatan pujaan hatinya.  

Bibir Damar kini terasa nyinyir dan kering. Liv seharusnya sudah menyodorkan bibir-merahnya. Namun saat yang ia tunggu tak kunjung datang.
“Woi buluk ! dasar akal bulus ! Ayo buruaaan berangkat !!!!”, kawan-kawan Astronotnya yang lain berteriak  tak sabar.
“tuh  ..tuh .. siap-siap nyosor .. tuh,”
“masih perjaka thing-thong Bos ! belum siap utuk mati !” yang lain ikutan nimbrung sambil cengar-cengir melihat kelakuan Damar. Beberapa dari mereka mulai menyanyikan lagu leaving on the jetplane.

Mendengar lagu itu, Damar semakin tak ingin kehilangan momen. Kini seluruh penjuru dunia menyorotkan kamera kepadanya, ia pandangi wajah cantik Liv dan berinisiatif menyodorkan bibirnya persis tapir kehausan.

“jangan Bang, bukan muhrimnya, ntar abah Stephen di rumah marah. Beliau kan nongkrong di depan televisi juga,” kata kata lembut Liv mengalir dari bibirnya yang mengatup tak penuh .

“ah iya. Maaf Liv,” Damar secara tak sadar mengiyakan alasan Liv. Bibirnya yang terlanjur memanjang ditariknya kembali. Alasan yang terasa aneh namun sangat logis di dalam mimpi. 

Damar pun akhirnya melangkah diiringi derai tangis perempuan berbaju batik “motif mawar”. Rambut hitam perempuan itu tergerai memanjang, binar matanya terlihat berkilauan.
binar mata itulah yang membuat gua berat hati,”  Damar mulai berpuisi. Perempuan cantik itu melambaikan tangan dan memberikan cium jauh. Dengan perpisahan agung ini, Damar balik membalasnya dengan kecup jauh yang romantis, seluruh dunia bersorak sorai dan melambaikan tangan kepadanya.

Dan saat melangkah menyusul Bruce, Damar tiba-tiba melihat Ben Affleck hadir diantara jutaan manusia yang mengantar kepergiannya. Lelaki gagah itu terbaring lemas di atas ranjang dorong rumah sakit, sementara di sampingnya berdiri tegak tiang infus beserta buahnya yang menjulurkan selang kecil. Damar sedikit tak percaya kalau Ben ternyata turut melepasnya. Damar merasa haru dengan ketulusan hati Ben.

“cepat sembuh kawan ! lu jangan goda gadis gua,” Damar berpesan sambil berteriak kencang. Dikedipkannya mata kiri dan dikepalkannya lengan kanan ke angkasa.
 Ben Affleck tersenyum lemah sambil mengacungkan jempol kanan.
“Kalau diare, minum Oralit. Di kampung gua manjur banget !” Damar kembali berteriak ke arah Ben. Sementara Liv hanya menatap dari kejauhan sambil terus menyeka lelehan air mata.
“Sorry Mar. Dokter kemarin salah diagnosa ! ternyata Gua Muntaber !” mata Ben Affleck terlihat cekung menyiratkan penderitaan manusia muntah-berak stadium tiga.

“gila ! dasar bule cupu !, bagaimana bisa dia kejangkit penyakit dunia ketiga,” heran Damar dalam hati. Ia menghembuskan nafas dalam-dalam sambil menundukkan kepala tak percaya.  

Sementara sorak sorai manusia terdengar gegap gempita. Semakin ramai dan semakin ramai,
BRAK !! BRAKK ! BRAK !! BRAKK ! BRAK !!
mendadak semua sepi dan seluruh gambarannya pucat memudar.  
“MAR ! MAR ! KULIAH MAR ! MOLOR AJE LU !!!”
Damar terkejut gelagapan mendengar teriakan dan gebrakan kawannya di pintu kamar. Seketika ia menutup mulutnya yang setengah terbuka dan kemudian mengusap muka berkali-kali. Ditatapnya jam sudah menunjuk angka 9.13.

“Siaaal ! nih pasti gara-gara si Chantal cafe itu,” Damar mengumpat seakan mencari kambing hitam. Ia sendiri tak percaya dengan mimpinya yang teramat katro. Matanya masih kabur dan sesekali menguap. Ia bangkit dari tempat tidur dan mengucek matanya yang kemerahan. Diraihnya kacamata di atas meja.

“ah, bagaimana bisa gua mimpi kaya tadi,” Damar tersenyum kecil saat mengingat mimpinya yang teramat katro.
***


Posting Komentar

 
Top