0
hari ketiga setelah pemancangan

Sedikit sisa kayu dan batu masih tercecer di tepian Jalan Pahlawan. Makhluk bisu itu menjadi representasi hadirnya kemarahan dan intrik yang tertumpah. Mereka diam ketika menceritakan anarkisme yang telah lewat.

Serupa dengan sisa kayu dan batu yang menjadi saksi bisu, tenda di tengah boulevard semakin lesu lantaran separuh penghuninya dilarikan ke rumah sakit, sementara separuh lainnya kelelahan tak punya tenaga.  

Di sekeliling tenda pemogok makan, para mahasiswa semakin berjubel. Mereka berkerumun di banyak tempat di sekitar gerbang Keprabuan. Kali ini jumlah mahasiswa sedemikian banyak hingga tumpah ruah kemana-mana. Mereka yang kemarin tak turut melakukan aksi perlawanan, kali ini mulai turun ke jalan. Beberapa dari mereka tertarik setelah mendengar “aksi heroik” dari kawan-kawannya.  Ya, cerita pertarungan melawan preman-preman beredar cepat dari mulut ke mulut. 

Bagaikan mendapat serangan dari luar, seluruh elemen civitas akademika semakin kompak. Para rektor gencar melempar tuduhan jikalau aksi anarkisme semata-mata dipicu aksi provokasi yang teroganisir. Tak mungkin aksi anarkis terjadi seandainya tak ada pemicunya. Serentetan peristiwa yang terjadi selama ini telah membuktikan tuduhan itu. Mulai dari pemukulan aktivis di depan gedung Dewan Legislasi hingga aksi saling lempar dua hari yang lalu, bahwa pasti ada otak intelektual dibalik semua peristiwa yang terjadi. Tapi entahlah, hingga saat ini pihak berwajib belum mampu mengungkap dalang semua peristiwa.

Sejak bentrokan terjadi, mahasiswa mulai menggalang kekuatan penuh. Mereka bertekad melawan kekurangajaran yang direpresentasikan oleh barisan preman, centeng-centeng para pemodal. Bahkan beberapa mahasiswa malah sudah menyimpan segudang rencana di otak mereka.

“tanganku sudah gatal,” beberapa mahasiswa terbangkitkan emosinya. Kebanyakan dari mereka sudah diliputi dendam sejak datang ke kampus. Padahal aksi penolakan Bentos baru mereka ikuti hari ini. Mereka seolah menjadi pahlawan yang dalam setiap lakon pastilah turun belakangan.
“kabarnya kemarin petugas sampai kuwalahan,”
“ya. Pasti seru. Kita harus lebih merangsek ke depan. Strategi damai sudah tak bisa dipakai lagi”.


Sementara kemacetan total tak bisa dihindarkan. Petugas keamanan menutup semua akses yang menuju Jalan Pahlawan sejak jam 7 pagi. Massa mahasiswa yang tumpah ruah tak menyisakan sisa lajur kendaraan. Mereka berkumpul, bergerombol, dan wajah-wajah mereka nampak tegang. Hanya beberapa wartawan media yang masih terlihat santai menanti. Ya. mereka menanti peristiwa besar yang dipastikan menjadi berita keesokan hari.

“kawan-kawan ! kita akan menyatukan seluruh elemen untuk melawan kekuatan Pemodal yang dikawal anjing-anjing bayaran !”

Persis 10 meter di samping tenda, salah seorang pentolan mahasiswa berusaha menyatukan emosi. Tiap kata-kata mereka tak lagi meneriakkan kegeraman, namun lebih banyak berupa kalimat kutukan. Kata-kata itu terdengar kasar membangkitkan emosi. Mereka mengutuk aksi premanisme yang selama ini diterapkan untuk membungkam perlawanan aktivis lingkungan.

Tak semua massakini berkerumun di sekitar tenda. Beberapa orang malah nongkrong menggerombol di depan gerbang. Mereka tak lagi menyimak orasi di depan tenda. Mereka sudah jenuh dengan teriakan perlawanan. Mereka ingin sesuatu yang lain. Dan sesuatu yang lain harus berupa sesuatu yang kongkrit tanpa banyak kata.

Seno kini berjaga-jaga di sekitar tenda. Demikian juga dengan Anggun, ia berdiri di samping Seno. Mereka berdua terlihat tenang sambil sesekali melihat perkembangan keadaan. Sementara koordinator yang lain hilir mudik mengukur keadaan.

Dari arah gerbang Keprabuan, Zweta berjalan bersama Audrey. Kedua mahasiswa itu menyeberang jalan dan menuju di pusat massa di sekitar tenda.  

“Rame banget”
“iya, Ta. Kawan-kawan turun total,” Audrey menyahuti kata-kata Audrey.
“koordinator lapangan pasti kerepotan mengendalikan aksi kalau mereka tak seide,” Zweta sedikit khawatir
“maksudmu ?”
“semoga mereka tak datang lantaran tertarik aksi anarkis kemarin. Kalau kekacauan terjadi lagi, hal itu akan menjadi kontraproduktif bagi perjuangan kita”
“ya, Ta. Kalau kerusuhan terjadi, opini publik tak akan berpihak kepada kita”
“betul Drey, sepertinya itu yang ingin dicapai dalang kerusuhan selama ini”  

***

Sementara di tempat yang lain, Rania pagi-pagi sudah datang ke rumah sakit walau langkahnya tertatih-tatih. Ia diantar Granada yang sekaligus menjenguk perkembangan para aktivis pemogok makan. Pergelangan kaki Rania yang cidera membuat dia urung bergabung dengan Zweta dan Audrey. Dan lagi pula Rania masih menyimpan sedikit trauma. Ia lebih memilih menemani Karin yang terus saja memaksa berada di sisi Emma. Tapi syukurlah, hari ini raut wajah Karin sedikit cerah setelah dokter menyatakan Emma terlepas dari masa kritis. Perawatan yang diberikan dokter terasa optimal setelah Emma dipindahkan ke ruang kelas satu. Dan menurut dokter, Ia masih harus dirawat di rumah sakit untuk waktu yang tak singkat.

Zweta dan Audrey kemudian berjalan mendekati Anggun. Wajah Anggun sumringah saat melihat Zweta telah berdiri di sampingnya. Sementara Seno pamit berkeliling meninjau keadaan.
“Kakak besok kanujian  ..kenapa masih turun ke jalan,”
“apa beda ujian dengan kuliah sehari-hari, Ta” Anggun menjawab santun.
“Kakak sudah siap ?” Audrey menambahkan
“Insya Allah lebih dari siap, Drey” Anggun tersenyum anggun. Terlihat sekali perempuan itu sangat optimis menjalani hidup. Zweta salut, Audrey pun kagum.   

Pandangan Zweta kini menyapu banyak tempat. Ia bisa melihat para pemogok makan yang tersisa. Tubuhnya bergeletakan, wajah-wajah lelah menengadah pasrah. Sementara terik mentari yang jatuh di atas tenda tertahan kain spanduk berukuran besar.

ALIANSI MAHASISWA PEDULI LINGKUNGAN (AMPLING)
TOLAK PERUSAKAN TATA KOTA!!! TOLAK REVISI PERDA RT/RW !!!
TOLAK AKSI PREMANISME !!! BUBARKAN BENTOS !!!

***

Ketika para mahasiswa mulai berjalan menuju Bentos, petugas keamanan semakin memperkokoh barikade. Derap langkah tegap bersuara. Mereka kini tak mau kecolongan seperti sebelumnya. Dan di sepanjang jalan Pahlawan beberapa petugas keamanan memperketat penjagaan, termasuk di depan gang-gang kecil yang dalam aksi kemarin menjadi akses para provokator memicu kerusuhan.

“BUBARKAN BENTOS !!!”
“BEBASKAN KOTA DARI PREMAN BAYARAN !” teriakan kemarahan menggema seiring kepalan tangan naik turun.

Hampir dipastikan seluruh jalan Pahlawan dipenuhi mahasiswa. Mereka terbagi menjadi dua kelompok. Adayang memilih berorasi di depan tenda, sedangkan sebagian besar berjalan menuju Bentos.

Anggun ternyata berada di barisan terdepan massa. Tangannya terus mengepal ke angkasa. Ketika aksi massaberjarak 100 meter dari lokasi proyek, mereka terhenti karena petugas keamanan menghadang mereka. Dan akhirnya mereka memilih berorasi di depan barikade petugas keamanan.

“kawan-kawan ! Ideologi profitopolis dari kotakita telah menempatkan kepentingan ekonomi di atas segalanya termasuk keseimbangan tata lingkungan dan tata kota. Dengan alasan pembangunan, Penguasa Kota menipu kita dengan menggadaikan taman-taman kota kepada pemodal. Hutan kotadi buldoser, lahan ruang terbuka hijau menjelma menjadi mall-mall dan pusat pertokoan. Dan lihatlah, setiap kali Penguasa Kota membangun, semakin pula kita disuguhi kebijakan goblok yang membuntungi aset publik”,

Crtt ! crrt ! crrt ! crrt !
Beberapa wartawan menghujani Anggun dengan jepretan foto.

“dan jangan heran. Jika kita tidak terus melawan, Penguasa Kota akan terus menginjak-injak hak-hak rakyat. Kita akan terus melawan ! Hidup Rakyat ! Hidup Mahasiswa !”

“hidup Rakyat ! hidup Mahasiswa !”,

Suara Anggun yang tenang kala berteriak di ujung mikrofon mampu menyatukan emosi. Perpaduan antara teriakan kemarahan dan kelembutan menjadikan gaya orasinya menjadi eksotik, lain dari yang lain.

***
Di Depan Lokasi Proyek,
09.15

“maju ! ayo maju ! bubarkan Bentos !”

Dorongan terasa semakin keras. massamahasiswa merangsek maju. Kini mereka berhadapan langsung dengan pihak keamanan.

“robohkan pagar Bentos ! robohkan simbol perusakan lingkungan !”
Teriakan keras makin bercampur amarah. Dorongan semakin kuat. Pihak keamanan berusaha menghadang massayang terus merangsek menekan.

“rekan-rekan mahasiswa ! saya harap aksi ini berjalan kondusif ! tolong-tolong  !! hindari anarkisme !!” petugas keamanan berteriak kencang lewat mikrofon. Namun massa semakin beringas. Teriakan itu terasa sepi di telinga para mahasiswa. Dan ternyata kini massa semakin mendorong petugas keamanan. Dorongan terasa semakin kuat. Mahasiswi yang berada di barisan depan mulai berusaha menyingkir. Tumpukan tubuh manusia yang saling beradu menyisakan muka-muka yang menegang.

“ayo ! majuu ! robohkan pagar Bentossss  !”

Nampak Kompar berada di barisan terdepan. Dado pun demikian. Ternyata Dado kali ini turun ke jalan setelah sekian lama berdiam diri di gazebo. Beberapa mahasiswa penghuni Gazebo juga berada di barisan terdepan. Terlihat Seno, Andro, dan beberapa koordinator aksi sedikit kuwalahan memegang kendali massa.

“kendali ! kendali ! kawan-kawan ! kendali !”

Namun suara keras mereka tertelan kemarahan yang telah berada di ujung kepala. Beberapa mahasiswa semakin beringas. Aksi dorongan semakin kuat. Mereka menyeruak hingga barikade petugas keamanan hampir terbelah. Beberapa mahasiswa terhimpit, sementara beberapa petugas keamanan mulai terjengkang. Petugas keamanan mulai kehilangan kesabaran.

Bendera-spanduk terayun-ayun. Muka-muka semakin menegang. Teriakan demi teriakan tak lagi bisa terdengar. Serasa ada labirin yang muncul ketika kemarahan berada di puncak kesadaran.

“majuuuuu teruuusss !!! robohkan pagar Bentosssss !!! ” teriakan provokatif berkali-kali datang dari belakang. Bagaikan sebuah mantra gaib. Kata-kata itu seketika diamini. Tubuh mahasiswa di barisan depan semakin condong ke depan. Gigi geraham mereka bertautan mengumpulkan tenaga. Semuanya tegang, yang tak tegang hanya para pemburu berita yang sabar menanti laksana heyna menunggu mangsa.

Brag ! Brag ! Brag !

Lemparan bertubi-tubi dari barisan belakang menghantam pagar Bentos. Seng-seng gelombang berderak penyok dihantam  batu dan kayu. Mahasiswa semakin beringas. Petugas keamanan makin kewalahan.

“kendali kawan-kawan !! kendali !!” Seno terus berteriak, demikian juga dengan Anggun dan kawan-kawan koordinator.

***
Di Depan Tenda, Ujung Boulevard Jl. Pahlawan
09.20

Paras ayu Granadamemerah. Terik mentari terasa menyengat. Tangannya  yang cekatan menyiapkan semua yang dibutuhkan. Dan kini seluruh mahasiswa pemogok makan bersiap dirujuk ke rumah sakit. Beberapa dosen fakultas kedokteran yang menugaskan Granada dan kawan-kawan telah turun tangan. Mereka merekomendasikan untuk membawa seluruh pemogok makan ke Rumah Sakit.

“Bubarkan Bentos !”
“Bajingan Penguasa Kota !” teriakan massa di luar tenda semakin ricuh ketika tubuh rekan mereka diangkut menuju ambulan yang telah terparkir. Mereka melepas tubuh-tubuh lemas bak para pahlawan penumbuh semangat. Mereka terus berteriak memaki-maki, dan kini beberapa mahasiswa mulai membakar ban bekas di tengah jalan. Situasi semakin panas. Dan beberapa mahasiswa mulai memblokade jalan Gajahmada.

Petugas keamanan yang berusaha menghentikan aksi blokadee semakin kehilangan kewibawaan. Dan beberapa mahasiswa entah kenapa malah menganggap petugas keamanan adalah simbol dari kepanjangan tangan penguasa yang dirasa membiarkan aksi premanisme selama ini. Paramahasiswa itu melawan. Dan kali ini pihak keamanan masih belum berbuat apa-apa.

***
di depan areal Bentos, 09.25

Massa semakin merangsek. Barikade petugas keamanan dipastikan takkan mampu menahan laju para mahasiswa.
“amankan pimpinannya !!” pimpinan petugas berinisiatif menangkap pimpinan aksi. Sepuluh petugas bergegas menuju Seno, Andro, dan beberapa koordinator lain. Mereka perlahan menyisir di tepi jalan dan berusaha menyeret koordinator aksi.
“woi ! woi !” mahasiswa makin beringas melihat Seno dan beberapa koordinator aksi yang berusaha melawan. Sempat terjadi adu mulut dan perlawanan sehingga penangkapan urung dilaksanakan. Mahasiswa makin beringas dengan tindakan petugas.


***
di depan areal Bentos, 09.30

Brag ! brag ! brag !

Puluhan petugas keamanan rubuh terjengkang. Dorongan mahasiswa berhasil menerobos barikade petugas keamanan. Sementara lemparan batu semakin deras menghujani areal proyek yang cukup besar. Petugas keamanan tak tinggal diam. Mereka mulai bertindak keras dengan menghadang massa sebisanya.

“maju ! maju !” petugas keamanan berteriak memberikan komando agar seluruh anggotanya terus menghadang laju para mahasiswa yang makin tak terkendali.

Wussh Wusssh ! Thak ! Thak !
Pukulan rotan beberapa kali menghantam mahasiswa di garis depan. Wajah-wajah mereka menyeringai kesakitan, tapi mereka terus melawan serupa banteng kesakitan.

Para mahasiswa kini memenuhi jalur di seberang boulevard. Aksi massa yang menyemut tak bisa lagi dihadang petugas keamanan yang kuwalahan. Paramahasiswa mulai melawan para pengunjuk rasa di timur Bentos yang mereka anggap sebagai preman.


***

“Kang Degar !”
“sekarang saatnya ! maju kalian ! maju !” Degar berteriak-teriak memberi komando kepada anak buahnya di belakang.

Kini barisan preman mulai maju menghadang mahasiswa. Mereka bertemu di boulevard dan saling beradu fisik. Nampak lelaki “crisye” kawan Andro berada di garis depan. Lelaki itu dan beberapa kawannya sempat menghajar preman yang kuwalahan karena kalah jumlah. Mahasiswa semakin tak bisa dibendung. Sementara para koordinator aksi hampir tak bisa berbuat apa-apa.

Zweta dan Audrey berlari menjauh. Mereka menepi dan berlindung. Sementara aksi semakin beringas tak terkendali. Wajah Zweta terlihat bingung. Sementara Audrey masih terlihat tenang.

“aksi yang kita takutkan terjadi, Drey”
“ya Ta ! kenapa kita harus melawan petugas keamanan ! aku tak habis pikir !”
“entahlah ! semuanya kehilangan kendali !”

Zweta memicing matanya. Dari kejauhan terlihat ayunan rotan petugas menghantam berkali-kali. Sementara ia kebingungan mencari sosok Andro.

“Kak Anggun !” Audrey berteriak saat melihat Anggun berjalan dengan wajah kelelahan.

“kak Anggun lihak Kakakku ?”, Zweta bertanya khawatir.
“dia berusaha mengendalikan barisan bersama Seno,” wajah Anggun terlihat lemas.

Sementara di depan tenda aksi massamulai beringas. Jalan Gajahmada yang merupakan  jalur sentral pertigaan telah berhasil diblokade para mahasiswa. Mereka membakar ban-ban bekas sambil berorasi di tengah jalan. Granada kebingungan, ia bergegas lari menjauh. Petugas keamanan yang bernegosiasi entah kenapa tiba-tiba berlari kencang ke arah timur. Tak terhitung kekacauan aksi yang berlangsung di depan Bentos dan di ujung Boulevard. Pengayuh becak bergeram karena lalu lintas makin kacau, pedangan es kolang-kaling tertegun namun dagangannya makin laris. Dan yang paling jengkel adalah sopir angkutan bertrayek jalan Gajahmada yang terhenti kendaraannya. Mereka memaki-maki tak karuan.   

Rupanya aksi di depan Bentos telah kacau total. Beberapa koordinator satu persatu dicokok petugas. Andro menghindar, demikian juga dengan Seno. Massa mahasiswa berusaha menghadang pergerakan petugas dengan bergandengan tangan. Andro berontak ketika lengannya mulai diseret dua petugas, sementara Seno masih dijaga rapat massa pengunjuk rasa.

“itu Kakakmu, Ta.” Anggun berteriak kencang sambil menunjuk kerumunan massa.
“ya Tuhan” Zweta terpekik melihat Kakaknya berusaha berontak ketika lengannya dicekal dua petugas keamanan.

Aksi di depan Bentos terus kacau hingga gerombolan Degar lari tunggang langgang diserbu Mahasiswa. Beberapa pemuda Pengging juga demikian, mereka lari memasuki lorong-lorong kecil di sekitar kampungnya. Sementara petugas keamanan yang berlari dari barat telah melintas di depan Zweta.

Andro sedikit berontak tatkala digelandang tiga petugas yang mencekalnya, namun tatap matanya berusaha mengukur keadaan. Andro diseret menuju mobil hitam yang terparkir sejak pagi.

Namun tiba-tiba beberapa mahasiswa terlibat bentrok dengan sisa gerombolan preman. Jaraknya tak jauh, hanya terpaut lima belas meter darinya.  

“woi –woi  woi !”  beberapa mahasiswa berhasil meringkus preman. Dan salah satu dari mereka adalah kawan Andro di Pustaka Rakyat.
“bangsat !! centeng-centeng bajingan !! kau yang kemarin melempari kami !!” beberapa kali tendangan mendarat di tubuh preman yang mengaduh kesakitan.


“hoi !! hentikan hoi !! hentikan !!”  salah satu petugas keamanan yang menyeret Andro berteriak keras melihat dua preman babak belur dihajar massa. Pegangan tangannya di lengan Andro terlihat longgar. Ia mulai berlari mengamankan.

“Ting !!” Andro berteriak kencang memanggil julukan kawannya. Dan setelah lelaki “kriting semrawut” yang dipanggilnya menoleh, Andro seketika memberontak cepat-cepat. Dua petugas yang mengamankan Andro tak siap dengan gerakan yang teramat tiba-tiba. Pegangan mereka lepas, dan Andro seketika menghambur memasuki kerumunan kawan-kawannya.

Dua petugas keamanan yang merasa kecolongan berlari kencang mengejar Andro. Namun lelaki kriting semrawut yang dipanggil “Crisye” oleh Audrey tiba-tiba menghadang laju petugas dengan membuka kedua tangan.  

“Pak, tolong saya, Pak “ lelaki kriting menghadang petugas dengan tubuhnya. Ia pura-pura tersangkut perkara pelik. Wajahnya memelas persis lelaki patah cinta yang baru membuat keputusan bunuh diri.

“aaahhhh minggir !!  ada apa !!”  petugas yang terhalang si Crisye meradang.
“Pak, tolong Pak, tolong saya ....  plisssss ...” wajahnya makin memelas sambil tangannya mengait-ngait
“ada apa ! hah ?!!” wajah petugas terlihat tak sabar saat melihat buruannya makin menjauh, sementara kawannya yang mengejar Andro juga mengalami masalah yang sama, yakni  dihadang mahasiswa yang tiba-tiba bersikap butuh bantuan.
“beg .. beg .. begini , Pak  .. ” si Crisye pura-pura tergagap persis pak RT kepergok korupsi dana pembangunan jamban umum.
“kenapa hoi !! cacingan kau ini !! bicara saja bag beg bag beg tak becus !” petugas keamanan mulai habis kesabaran. Ketika bergerak menghindar, seketika tubuh si Crisye bergeser menghadang.
“saya .. saya.. diusir ibu kos, Pak !” ia bergerak-gerak ke kiri kanan mengulur waktu
“sialaaann kau ini !!  mau mempermainkan petugas hah !!” petugas itu merasa dipermainkan. Ia jengkel dan mendorong kepala si Crisye dengan tangannya.
“sontoloyo !” petugas memaki-maki lantaran tak mampu menemukan sosok Andro.
“Pak ! Pak ! pinjam duitnya, Pak ! bisa-bisa nanti malam saya tidur di kolong jembatan, Pak ! saya cicil deh mbayarnya ...” si Crisye berteriak sambil tertawa dalam hati.
“persetan !! mau tidur di kuburan monyet pun aku tak peduli ! rupanya kau kawan si gondrong itu hah !” petugas keamanan memaki-maki sambil berlalu.  

***

Andro melesat meninggalkan kerumunan massa yang tak terkendali. Beberapa pimpinan aktivis mulai diangkut menggunakan mobil hitam, termasuk Seno. Mereka diseret dengan paksa lantaran dianggap sebagai aktor kerusuhan. Namun yang menggelikan adalah Dado. Lelaki berwajah malaise itu ikut-ikutan dicokok petugas. Memang sedari awal berunjuk rasa, Dado terlihat paling bersemangat. Ia berteriak memberi instruksi laksana koordinator paling jempolan. Saat merangsek ke depan,  ia pun berada di barisan terdepan sekaligus mengobarkan semangat. Bersuit-suit, bertepuk tangan, lagak persis pengadu merpati pun tak ia tanggalkan. Namun kini Dado tertunduk lesu. Di atas mobil hitam wajah melasnya seakan mencapai titik kulminasi. Dado ingin menangis. Ah –rupa seperti apa yang ditampakkan Dado kala menangis padahal wajah normalnya saja mampu membuat iba penatapnya. Dado hampir menangis tatkala mengingat emak di kampung. Ia membayangkan dipenjara berbulan-bulan. Makan terlantar, hidup terlantar, buang hajat pun  musti disaksikan kawan satu sel.
“Maaakkk !!“ Dado mengiba perlahan. Beberapa petugas nampak heran dan bertanya-tanya apakah benar sosok yang dicokoknya merupakan pentolan aktivis.
“hei !! kamu pentolan mahasiswa ??”
“heh ! jawab !!”
“buk .. bukan Paaak, saya bukan pentolan .. saya cuma pentil, Pak. Yang kecil,” wajah Dado menyirat ribuan jenis penderitaan di muka bumi. Ia menjawab sambil menyodorkan kelingking saat berkata “pentil”.
“yang bener ?? jangan mungkir .. ” nada seorang petugas seperti mengancam.
“Swwuummmpaah, Pak ! disumpah pocong pun saya berani,” Dado teramat meyakinkan kala berucap.

“halaaahhh  ... salah tangkep deh kita, Pak. Lepasin aja dari pada pangkat kita mlorot !! ini sih dagelan kaki lima !!“

***

Andro berlari melewati jalan tembusan dan memasuki gerbang kampus. Sementara massadi sekitar tenda terlibat bentrok dengan petugas keamanan. Beberapa diantara mereka juga dicokok petugas lantaran membakari ban-ban bekas di jalan Gajahmada.

“hei ! jangan lari !!!” seorang petugas berpakaian preman memergoki Andro yang sedari kemarin menjadi target petugas.  
“hei ! berhenti ! ”  
Petugas keamanan kewalahan mengejar Andro yang berlari cepat seperti kijang. Mahasiswa gondrong itu lebih mengenal kampus Keprabuan dibanding dirinya. Tiba-tiba sosok buruannya lenyap di hutan kampus.

Andro mengendap-endap sambil bersembunyi. Hutan kampus yang cukup lebat menyembunyikan sosoknya di sesemakan. Rupanya petugas berpakaian preman mulai menyerah setelah tak menemukan sosok buruannya. Dan Andro memang bersembunyi di semak-semak yang terlindung.

Tangan Andro kemudian bergerak meraih ponsel. Ia menelepon mencari bantuan.

“Ta !! Zweta !! kamu dimana ?” suara Andro setengah berbisik
[ hallo.... kamu nyari siapa ? Zweta ?]
“loh !! ini siapa !!” Andro terkejut dengan suara merdu nan lembut
[aku Granada. Kamu salah sambung  ..]
“eh ! sorry deh ..lagi kejepit soalnya. Aku diburu petugas !!”
[beneran ?? kamu dimana sekarang ?]
“aku sembunyi di hutan kampus deket kampusmu !”
[duhhh ..  .. kasihan .. aku juga lagi di kampus kedokteran. Kujemput pake mobil.. ntar kamu sembunyi disana]
“wah .. hutang budi nih ceritanya ..thanks berat ”

Andro masih bersembunyi di semak-semak. Sementara beberapa kali burung pipit buang kotoran di atas kepalanya.

“sialan, mencret di atas kepala !!” Andro mengumpat dalam hati. Matanya memandang ke atas mencari-cari.
Crettt !!
“brengsekkk !!” Andro mengumpat makin keras ketika tahi burung malah jatuh di atas dahi.

Hingga mobil Granadaakhirnya berhenti di tepi hutan kampus, Andro bergegas bangkit dan mendekati mobil terrano hitam yang mesinnya masih menyala. Beberapa helai daun digunakan Andro membersihkan dahi.

“buruan masuk ! “  Granada tersenyum manis.
“anterin aku ke fakultas hukum..” Andro berkata sambil menutup pintu mobil
“kok malah kesana .. mau ngapain ?” Granada menatap sekilas terheran
“ambil carrier, aku mau ke Sempu”
“Sempu ? apaan ?”, Granadabertanya sambil menekan gas mobil.
“pulau di pantai selatan .. mau ikut ?” Andro berujar sekenanya.
“mmm .. bagus nggak ?” Granadaberkata lembut, namun hidungnya menangkap bau aneh.
“laguna, cagar alam, sekalian bersembunyi daripada nginep di hotel prodeo.”
“mau ikut ? aku membawa peralatan lengkap. Sudah kupersiapkan sejak seminggu lalu,” Andro berkata basa-basi
“Cuma berdua ?” Granadasesekali menoleh ke arah Andro.
“sepertinya begitu ... ”
“mmmm .. kita ke Pinggir Kali dulu ! ijin Papa ! sekalian bawa ini mobil !”
“beneran ??”, Andro malah terkaget. Ia  tak percaya dengan jawaban Granada.


***

Posting Komentar

 
Top